DEMOCRAZY.ID - Hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Bandung Eman Sulaeman mengabulkan gugatan praperadilan Pegi Setiawan, tersangka kasus pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon pada 2016.
Oleh karenanya, terhadap Pegi Setiawan dinyatakan harus bebaskan dari penahanan sebab penetapan tersangkanya oleh Polda Jawa Barat (Jabar) dinyatakan tidak sah.
Menanggapi putusan bebas terhadap Pegi Setiawan, pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel mengatakan bahwa korban salah tangkap biasanya mendapatkan ganti rugi.
"Korban salah tangkap mendapat ganti rugi. Demikian praktik di banyak negara,” kata Reza melalui keterangan tertulis, Senin (8/7/2024).
Namun, menurut dia, institusi kepolisian biasanya melakukan penyelesaian secara kekeluargaan dengan memberikan kompensasi ketimbang menempuh proses hukum seperti sidang praperadilan.
"Ketimbang melalui mekanisme hukum yang bersifat memaksa bahkan mempermalukan, institusi kepolisian biasanya memilih penyelesaian secara kekeluargaan guna memberikan kompensasi itu,” ujarnya.
Hanya saja, dalam gugatan praperadilan Pegi Setiawan diketahui tidak mencantumkan petitum mengenai ganti kerugian tersebut. Melainkan, hanya menyebut soal biaya perkara yang diminta dibebankan kepada termohon yakni Polda Jabar.
Kemudian, meminta agar kedudukan dan harkat, serta martabat Pegi Setiawan selaku pemohon dikembalikan.
Oleh karenanya, dalam putusannya, hakim Eman Sulaeman juga tidak mencantumkan perihal ganti rugi tersebut.
Berikut 9 poin putusan praperadilan Pegi Setiawan yang dibacakan dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jabar pada Senin, 8 Juli 2024:
- Mengabulkan permohonan praperadian termohon untuk seluruhnya;
- Menyatakan proses penangkapan Pegi Setiawan beserta semua yang berkaitan lainnya dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum;
- Menyatakan tindakan pemohon menetapkan termohon sebagai tersangka pembunuhan Vina dan Eky dinyatakan tidak sah;
- Menyatakan surat penetapan tersangka Pegi Setiawan batal demi hukum;
- Menyatakan tidak sah segala keputusan dan penetapan yang dilakukan lebih lanjut oleh termohon yang dikenakan dengan penetapan tersangka atas diri termohon pada pemohon.
- Memerintahkan termohon menghentikan penyidikan terhadap termohon;
- Memerintahkan pada termohon untuk melepaskan pemohon dari tahanan;
- Memulihkan hak pemohon dalam kemampuan kedudukan dan harkat serta martabatnya seperti sedia kala;
- Membebankan biaya perkara pada negara.
Kemudian, berikut 9 poin petitum yang dibacakan kuasa hukum Pegi Setiawan dalam sidang di PN Bandung, Jawa Barat pada Senin, 1 Juli 2024:
- Mengabulkan permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya;
- Menyatakan proses penetapan tersangka terhadap pemohon tanggal 21 Mei 2024 atas nama Pegi Setiawan beserta seluruh yang berkaitan lainnya dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum;
- Menyatakan tindakan termohon menetapkan pemohon sebagai tersangka dugaan tindak pidana perlindungan anak dan/atau pembunuhan berencana dan/atau pembunuhan adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum
- Menetapan surat ketetapan tersangka tanggal 21 Mei 2024 batal demi hukum;
- Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh termohon yang bekenaan penetapan tersangka atas diri pemohon oleh termohon;
- Memerintahkan kepada termohon untuk menghentikan perintah penyidikan terhadap pemohon;
- Memerintahkan termohon untuk melepaskan pemohon;
- Memulihkan hak pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya seperti sedia kala;
- Membebankan biaya yang timbul dalam perkara ini menurut hukum kepada termohon.
Minta ganti rugi Rp 175 juta
Namun, ditemui usai sidang pembacaan putusan praperadian, tim kuasa hukum Pegi Setiawan mengatakan, bakal menuntut ganti rugi senilai Rp 175 juta kepada Polda Jabar.
"Kurang lebih Rp175 juta dari dua sepeda motor yang ditahan Polda Jabar dengan ditambah penghasilan setiap bulan Rp 5 juta sebagai kuli bangunan yang terhenti selama tiga bulan,” kata Kuasa hukum Pegi Setiawan, Toni RM di Bandung, dikutip dari Antaranews, Senin.
Toni mengatakan, Pegi Setiawan telah kehilangan penghasilan dan pekerjaan selama ditahan. Padahal, dia selama ini menjadi tumpuan hidup keluarganya.
Sebagai kuli bangunan, menurut dia, penghasilan kliennya itu cukup membantu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikan kedua adiknya.
“Sehingga ketika ditahan, Pegi kehilangan penghasilan. Maka kami nanti berdiskusi dengan tim penasihat hukum berencana akan mengajukan gugatan ganti kerugian,” ujar Toni.
Selain itu, dia menuntut agar Polda Jabar segera mengumumkan bahwa Pegi Setiawan bukan lagi tersangka. Sebagaimana bunyi amar putusan hakim PN Bandung, yakni "memulihkan hak pemohon dalam kemampuan kedudukan dan harkat serta martabatnya seperti sedia kala”.
Aturan ganti Rugi
Diberitakan Kompas.com sebelumnya, dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memang diatur mengenai rehabilitasi, ganti rugi hingga pemulihan nama baik korban salah tangkap oleh Kepolisian.
Hanya saja terdapat beberapa aturan yang mengikuti, seperti hanya bisa diajukan oleh seseorang yang berstatus tersangka, terdakwa atau terpidana.
Kemudian, dapat diterapkan apabila keputusan pengadilan telah berkuatan hukum tetap. Dengan kata lain, bisa saja sudah diputus oleh Mahkamah Agung (MA) atau tidak diajukannya banding.
Hak ganti kerugian bagi korban salah tangkap dituangkan dalam Pasal 95 Ayat (1) KUHAP yang berbunyi, “Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan”.
Tuntutan ganti kerugian juga dapat diajukan oleh ahli waris yang bersangkutan kepada pengadilan yang berwenang mengadili, sebagaimana termaktub dalam Pasal 95 Ayat (2).
Kemudian, dalam ayat (3) sampai (5) pasal yang sama mengatur perihal pengajuan dan pemeriksaan permintaan ganti rugi bisa diajukan melalui praperadilan.
Besaran ganti kerugian yang akan didapat oleh korban salah tangkap adalah minimal Rp 500.000 dan paling banyak Rp 100 juta.
Angka ini sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.
Namun, jika kekeliruan atau kesalahan penangkapan atau penahanan yang dialaminya mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya ganti kerugian yang diterima adalah Rp 25 juta-Rp 300 juta.
Sementara itu, jika penangkapan atau penahanan yang dialami mengakibatkan kematian, maka besarnya ganti kerugian yang diberikan sesuai aturan adalah Rp 50 juta-Rp 600 juta.
Kemudian, diatur juga bahwa tuntutan ganti kerugian dapat diajukan paling lama tiga bulan sejak tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima, sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 Ayat (1) PP Nomor 92 Tahun 2015.
Dalam hal perkara yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan, ganti kerugian diajukan paling lambat tiga bulan sejak tanggal pemberitahuan penetapan praperadilan. Demikian diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) PP Nomor 92 Tahun 2015.
Kemudian, terkait pemohonan rehabilitasi, seseorang bisa mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang, atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan
Pasal 97 Ayat 1 KUHAP berbunyi, “Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap”.
Sementara itu, permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus oleh hakim praperadilan.
Sumber: Kompas