DEMOCRAZY.ID - Mantan Menko Polhukam, Pakar hukum tata negara, Mahfud MD mwngekspresikan keprihatinan saat mengetahui Ketua KPU Hasyim Asy’ari dipecat karena perilaku asusila.
Menurut Mahfud ini bukan lagi masalah sederhana karena menyangkut perzinahan yang berkelanjutan dan berulang.
Apalagi, jika dilihat dari kasus ketua KPU sebelumnya bersama Wanita Emas, itu terjadi atau dilakukan Hasyim Asy’ari berkali-kali dan tidak bisa dibantah.
Mahfud menyindir Hasyim yang berani membohongi istri dan anakmembo
“Karena apa, kalau orang berani melanggar moral seperti itu, membohongi istrinya, membohongi anaknya, membohongi teman-teman kerjanya, pasti berani melakukan apa saja untuk membohongi rakyat Indonesia, pasti. Iya dong, pasti, kalau orang begitu sama istrinya, begitu sama anaknya, begitu sama teman-teman sekerjanya pasti berani membohongi rakyat Indonesia, itu keyakinan saya secara moral,” kata Mahfud dalam podcast Terus Terang Mahfud disimak pada Rabu (10/7/2024).
Mantan Menkopolhukam itu menuturkan, semua ini menjadi salah satu masalah yang muncul pada era Reformasi sebagai akibat dari demokratisasi.
Sebab, DPR kemudian memiliki peran yang sangat banyak karena pada era sebelumnya, Orde Baru, DPR hanya sebagai rubber stamp atau stempel karet mengesahkan kehendak pemerintah.
Kini, ia menekankan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi wadah bisa melakukan tawar-menawar dengan pemerintah.
Sebab, mulai dari pengangkatan Hakim Agung, 3 hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pengawas Keuangan (BPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komnas HAM sampai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semua harus lewat DPR.
Pada akhirnya, Mahfud menyampaikan tawar-menawar terjadi dengan partai politik dan siapa yang memiliki lobi-lobi khusus dengan partai politik akan menang.
Bahkan, terjadi trade off atau tukar-menukar jasa karena mereka bisa saja menjanjikan untuk memilih orang-orang yang mengisi deretan lembaga negara tersebut dengan perjanjian tertentu.
“Kamu akan saya pilih tapi besok kalau terpilih begini, kamu akan saya pilih tapi besok kalau kamu jadi hakim agung ini diamankan, kalau KPU harus gini dan seterusnya.
Di BPK kemudian koruptor, di MA juga hakim agung penerima suap, yang seperti itu merupakan akibat lain, konsekuensi baru dari demokrasi yang tidak terkendali,” ujar Mahfud.
Mahfud menekankan di MK ada Ketuanya yang dipecat karena melakukan pelanggaran etik. Lalu ada pula Ketua KPU yang dipecat karena pelanggaran tindakan asusila.
Meski begitu, Mahfud menegaskan, hasil dari yang sudah dikerjakan ketua lembaga negara itu suka tidak suka memang harus kita terima, meski legitimasinya diragukan
“Di MK ketua MK-nya pelanggaran etik, sekarang KPU dengan disclaimer, hasil yang sudah dia kerjakan harus kita terima, meskipun lahir dari orang tidak bermoral,” kata Mahfud.
Mahfud menegaskan lagi, kualitas orang tidak bermoral seperti itu yang dipilih untuk memimpin sebuah lembaga negara seperti KPU memang membuat orang jadi ragu atas apa yang sudah dikerjakan.
Sekalipun, lanjut Mahfud, apa yang sudah dikerjakan seperti pemilihan umum memang berjalan dengan relatif baik.
“Karena secara moral kalau orang seperti itu jangankan membohongi rakyat yang tidak melihat dia langsung, membohongi istrinya yang sehari hari dengan dia saja bisa, anaknya dipermalukan, istrinya dipermalukan, institusinya dipermalukan dan merasa tenang tenang saja tuh sudah begitu,” ujar Mahfud.
Sumber: Fusilat