DEMOCRAZY.ID - Elektabilitas dua mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, menjadi tertinggi dalam survei Litbang Kompas bertajuk Elektabilitas Calon Gubernur Rujukan Publik Jakarta.
Survei dilakukan pada 15-20 Juni 2024 itu, menempatkan Anies berada di posisi teratas dengan raihan 29,8 persen dan disusul Ahok 20,0 persen.
Survei melibatkan 400 responden dipilih secara acak menggunakan metode pencupilkan sistematis bertingkat di Jakarta.
Margin of error survei ini kurang lebih 4,9 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana. Adapun tingkat kepercayaan survei sebesar 95 persen.
Jika melihat elektabilitas dari hasil survei tersebut, maka bukan tidak mungkin Pilgub Jakarta 2024 akan mengulang kembali atau rematch pertarungan antara Anies dan Ahok seperti pada Pilkada 2017.
Anies sendiri sudah mendapatkan tiket dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai calon gubernur di Jakarta sambil mencari koalisi lain.
Sementara PDIP masih menimbang-nimbang untuk mencalonkan Ahok sebagai calon gubernur DKI Jakarta.
“Kalau lihat hasil survei tersebut tentu kami akan melakukan simulasi bagaimana kemungkinan-kemungkinan dan bekerja sama dengan partai partai politik mana akan mengusung Pak Ahok,” ujar Juru Bicara Nasional Tim Pemenangan Pilkada DPP PDIP, Chico Hakim, kepada Tirto, Kamis (18/7/2024).
Namun sampai hari ini, kata Chico, PDIP belum bisa memutuskan apakah akan mengusung Ahok atau nama-nama lain dari internal partainya.
Terlebih ada nama-nama lain di luar Ahok yang juga tengah dipertimbangkan diantaranya adalah Djarot Saiful Hidayat, Andika Perkasa, dan Tri Rismaharini.
“[Tapi] kami bersyukur hasil survei Litbang Kompas tetap menaruh Pak Ahok di dua besar. Karena Pak Ahok adalah salah satu kader terbaik kami,” kata dia.
Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, mengatakan bahwa tidak menutup kemungkinan jika Ahok kembali dimajukan oleh PDIP akan mengulang kembali persaingan seperti di Pilgub Jakarta 2017 lalu.
Tapi, ini akan sangat tergantung dari sikap politik partai berlogo banteng moncong putih tersebut.
“Kalau misal poinnya Ahok yang muncul untuk mempertegas bahwa Ahok masih bersikeras melawan Anies itu memungkinkan jadi head to head antara Anies,” ujar dia kepada Tirto, Kamis (18/7/2023).
Namun, Arifki justru membacanya kepentingan PDIP saat ini berbeda dengan kondisi pada 2017.
PDIP justru punya kemungkinan akan berduet dengan Anies di Jakarta. Pasalnya, kepentingan PDIP kali ini adalah menjadi oposisi di pemerintahan Prabowo-Gibran.
“Saya rasa poin ini akan menyulitkan head to head-nya Anies vs Ahok ketika Ahok didukung oleh PDIP,” katanya.
Meski jika dilihat secara popularitas dan elektabilitas di lembaga survei Anies dan Ahok masih menonjol, tapi kalau kemudian Ahok masih menganggap lawannya adalah Anies, tentu saja ini akan menyulitkan dia untuk didukung PDIP.
Makanya, kata Arifki, tidak heran jika beberapa nama kader PDIP muncul di luar Ahok untuk dipertimbangkan maju di Pilgub Jakarta.
“Karena posisi politik PDIP hari ini mirip dengan Anies. Anies tidak berlawanan dengan PDIP, tapi PDIP dengan Anies hari ini melawan pemerintahan Prabowo-Gibran,” ujarnya.
Akankah Politik SARA Terulang?
Kendati belum ada keputusan dari PDIP untuk memajukan Ahok, namun ada spekulasi dan kekhawatiran jika eks Komisaris Utama Pertamina itu kembali melawan Anies di Pilkada 2024, akan menciptakan konflik Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) seperti yang terjadi di Pilgub DKI 2017 lalu.
Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Skala Data Indonesia, Arif Nurul Imam, melihat jika terjadi head-to-head Anies melawan Ahok di Pilkada Jakarta 2024, potensi politik identitas memang masih akan ada. Hanya saja apakah kemudian itu akan dikapitalisasi atau tidak.
"Saya kira soal identitas itu pasti ada. Ini masalah setiap orang punya identitas, misalnya Anies Islam , Ahok Tionghoa itu identitas," kata Arif saat dihubungi Tirto, Kamis (18/7/2024)
Menurut Arif, isu terhadap politik identitas ini akan sangat bergantung terhadap komitmen kandidat dan tim sukses masing-masing, apakah masih mau menggunakan identitas sebagai amunisi politik untuk mendapat dukungan publik atau tidak.
Di samping tentu masyarakat juga makin cedera, sehingga penggunaan eksploitasi identitas untuk kepentingan elektoral bisa jadi tidak begitu signifikan.
"Tentu kalau eksploitasi politik identitas banyak mudaratnya," kata dia.
Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, menilai kekhawatiran terhadap politik identitas atau isu SARA itu memang lumrah mengingat adanya trauma politik di Pilkada Jakarta 2017. Tapi, ia memperkirakan kemungkinannya tidak besar.
“Konflik SARA di 2017 adalah ekses atau akumulasi dari rangkaian peristiwa sebelumnya. Artinya ada pemantik di sana,” ujar Musfi kepada Tirto, Kamis (18/7/2024).
Sementara saat ini, kata dia, belum ada pemantik seperti itu. Di Pilpres 2024 misalnya, semua elite politik kompak tidak menggunakan politik SARA.
Padahal kesempatan itu terbuka lebar. Tapi yang terpenting, tokoh yang jadi simbol politik SARA tidak mendapat panggung politik seperti pada Pilkada 2017 ataupun Pemilu 2019.
“Ini menunjukkan kesadaran para elite politik. Yang artinya, trauma 2017 tidak hanya menghinggapi masyarakat tapi juga para elite,” katanya.
Menurutnya narasi yang dimainkan saat ini juga jauh lebih progresif. Membahas demokrasi, etika politik, kebijakan politik, hingga kualitas kandidat. Narasi-narasi itu jauh berbeda dari Pilkada 2017.
Kemudian, Ahok yang sekarang dinilainya bukan Ahok yang dulu. Di salah satu wawancara, bahkan Ahok terlihat mengambil hikmah atas apa yang terjadi di 2017. Katanya, kalau dulu dia menang, mungkin dia akan merasa selalu benar.
“Artinya, gaya komunikasi Ahok yang dulu saya kira tidak terulang. Jika nanti maju, Ahok akan menggunakan komunikasi politik yang lebih aman,” terang dia
Analis politik dari Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah, menambahkan pemilih Anies dan Ahok saat ini masih tetap, loyalis keduanya bertahan sejak Pilkada lalu.
Maka secara umum isu SARA seharusnya tidak lagi menguat, Ahok sendiri dimungkinkan akan lebih hati-hati.
“Pilkada lalu isu identitas muncul karena Ahok memantik dengan statemen kontroversialnya, sehingga memicu gelombang protes,” kata dia.
Artinya, ada atau tidaknya isu yang sama di Jakarta bergantung dari Ahok, apakah dia bisa mengendalikan emosinya atau tidak.
Di samping juga isu itu sebenarnya masih punya peluang muncul karena rival dipastikan akan mengungkit.
“Terlebih pemilih di Jakarta mayoritas masuk kelompok pemilih Islam politik, dan ini memang risiko jika Ahok kembali ditunjuk maju di Jakarta,” ujarnya.
Sejurus dengan itu, hasil survei yang dilakukan Litbang Kompas pada Juni 2024 merekam, faktor agama menjadi pertimbangan utama dalam memilih gubernur.
Tak kurang dari 75,3 persen responden mempertimbangkan bahwa pemimpin di Jakarta semestinya seagama dengannya.
Berselisih sedikit di bawah itu, faktor partai pengusung dipertimbangkan oleh 74,8 persen. Dari sini tampak soal agama dan partai politik pengusung menjadi unsur yang paling dominan dipertimbangkan oleh responden Jakarta dalam memilih kepala daerah
Tapi sebaliknya, dalam survei opini exit poll waktu Pilkada Jakarta 2017, sentimen agama tidak menjadi alasan mayoritas publik dalam menentukan pilihan.
"75 persen pemilih Anies di round kedua, berpindah dari Ahok pasca debat, artinya mereka memilih Anies murni karena dengan Anies debat, bukan gara-gara kasus Ahok,” pungkas dia.
Sementara itu, PDIP, kata Chico berharap konflik SARA tidak akan terjadi lagi sekalipun ada kemungkinan Anies akan melawan Ahok.
Tentunya, ini bukan menjadi harapan PDIP sendiri, melainkan harapan semua bagi masyarakat Jakarta khususnya.
“Dan harapan kami tentu masyarakat hari ini akan dewasa lagi untuk tetap menjaga kebersamaan kesatuan dan menjalani kontestasi politik. laiknya kontestasi lainnya perlu mengedepankan kompetensi rekam jejak dan visi misi dalam kampanye-kampanye dan jauhi hal-hal sifatnya SARA,” jelas dia.
Sumber: Tirto