'Kejanggalan Gelar Guru Besar Sufmi Dasco Ahmad'
Jabatan guru besar sejumlah pejabat publik diduga bermasalah. Hal ini terungkap bersamaan dengan penyelidikan yang dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi terkait dugaan pelanggaran akademik dalam pengajuan sebelas guru besar Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin.
Sejak Maret 2024, Tempo yang mendapat informasi mengenai penyelidikan itu turut memantau perkembangannya melalui sejumlah sumber di lingkungan Kementerian Pendidikan. Penelusuran meluas ke pengajuan guru besar oleh sejumlah pejabat publik dan politikus.
Salah satu pejabat publik yang jabatan guru besarnya diragukan adalah Sufmi Dasco Ahmad, yang dikukuhkan sebagai guru besar ilmu hukum Universitas Pakuan pada 1 Desember 2022.
Dalam bundel dokumen pengajuan guru besar milik Dasco yang ada di Kementerian Pendidikan, Tempo menemukan adanya dugaan kejanggalan jabatan guru besar yang diajukan Wakil Ketua DPR RI tersebut.
Penelusuran Tempo menemukan dugaan kejanggalan gelar akademik Dasco. Dokumen permohonan gelar guru besar di Kementerian Pendidikan mencatat Ketua Harian Partai Gerindra itu menjadi dosen sejak September 2010. Tempo membaca bocoran berkas tersebut.
Informasi riwayat mengajar Dasco berbeda dengan keterangan di situs Pangkalan Data Pendidikan Tinggi yang diakses pada pekan pertama Juni 2024.
Di situs itu Dasco tercatat baru mengajar di Universitas Azzahra pada 2016. Itu pun hanya empat semester. Dasco berhenti mengajar di Universitas Azzahra pada semester genap 2017.
Bersamaan dengan itu, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi menjatuhkan sanksi administrasi bagi kampus yang terletak di Jatinegara, Jakarta Timur, tersebut.
Dari Universitas Azzahra, Dasco pindah ke Universitas Pakuan. Pangkalan Data Pendidikan Tinggi mencatat Dasco baru mengajar di sana pada 2020 dan sempat vakum setahun pada 2021.
Dia kembali aktif pada 2022 dengan mengampu mata kuliah sejarah hukum dan hukum tata negara.
Artinya, bila dirunut dari awal, Dasco belum sampai lima tahun menjadi dosen ketika dikukuhkan sebagai guru besar.
Namun, ketika diakses pada 4 Juli 2024, format baru laman Pangkalan Data Pendidikan Tinggi menampilkan informasi berbeda. Di situ tertulis: Dasco memiliki riwayat mengajar dari semester ganjil 2010 sampai semester genap 2024.
Dikonfirmasi mengenai berbagai temuan tersebut, Dasco mengatakan gelar profesor yang ia terima ditempuh dengan melalui mekanisme yang sesuai.
“Saya melakukan pengajaran, penelitian, dan pengabdian,” kata dia dalam wawancara tertulis kepada Tempo, Jumat, 31 Mei 2024.
Dasco mengklaim kariernya sebagai dosen dimulai pada 2010 di Universitas Kebangsaan Republik Indonesia.
Dia kini menjabat rektor di kampus yang berada di Bandung itu. “Universitas Azzahra ada kemungkinan tak memperbarui data riwayat mengajar saya,” ujarnya.
Diduga Loncat Jabatan hingga Jurnal Discontinued
Pada lembar penilaian akademik, Dasco berstatus lektor ketika diusulkan sebagai guru besar. Di jalur reguler, dosen yang berstatus lektor harus melalui promosi dulu ke jabatan lektor kepala, baru ke guru besar. Artinya, Dasco loncat jabatan dari lektor ke guru besar.
Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit 2019 milik Kementerian Pendidikan memang membolehkan loncat jabatan. Tapi dosen harus menulis empat artikel di jurnal internasional bereputasi.
Dalam syarat ini, Tempo juga menemukan kejanggalan. Artikel Dasco sebagai syarat diduga bermasalah karena terbit di jurnal yang sudah discontinued sejak 2020, atau dua tahun sebelum dia memperoleh gelar profesor.
Dasco mengajukan delapan tulisan. Lima dari delapan artikel itu diberi label hijau dan dianggap layak menjadi syarat promosi.
Satu artikel lain, berjudul “Cybercrime in the Context of Criminal Defamation in Indonesia”, dilabeli merah karena terbit di jurnal Webology yang sudah tutup permanen alias discontinued.
Dua artikel lain Dasco, yang diklaim terbit di jurnal Ayer dan Linguistica Antverpiensia pun ditengarai bermasalah.
Dalam lembar penilaian, Dasco melampirkan sebuah artikel yang terbit pada 2020 di jurnal Ayer Volume 27 Nomor 4.
Di situs resmi Ayer, hanya ada empat edisi yang terbit pada 2020, yaitu Volume 117, 118, 119, dan 120. Tak ada Volume 27 Nomor 4 seperti milik Dasco.
Artikel Dasco yang diklaim terbit di Ayer berjudul “Legal Sanctions Against Contempt of Court Actors: Analysis Based on Criminal Law and Criminal Procedure Code”.
Dasco menulis artikel itu dengan bahasa Inggris. Sedangkan semua artikel di situs resmi Ayer ditulis dengan bahasa Spanyol.
Berkas yang diklaim sebagai bukti korespondensi antara Dasco dan penerbit Ayer mengungkap keanehan lain.
Dasco mengirimkan foto korespondensi itu kepada Tempo. Namun investigasi Tempo memperoleh salinan surat-menyurat antara Dasco dan Managing Editor Ayer.
Terdapat tautan ke situs Ayer di lembar korespondensi itu. Namun, setelah diklik, pencarian mengarah ke International Journal of Innovation, Creativity, and Change, bukan ke Ayer.
Begitu pula artikel yang terbit di jurnal Linguistica Antverpiensia. Tulisan Dasco berjudul “Indonesian Maritime Border Dispute Resolution: Overview from an International Legal Perspective” disebut terbit di Volume 2 Tahun 2021.
Namun di situs resmi jurnal yang dikelola Departemen Linguistik Terapan University of Antwerp, Belgia, tersebut hanya ada satu edisi yang terbit pada 2021, yaitu Volume 20.
Menanggapi kejanggalan dua artikel itu, Dasco meyakini artikelnya benar-benar terbit di Ayer dan Linguistica yang terindeks Scopus dan masuk kategori jurnal bereputasi. Dia menyebutkan jurnal itu dipakai oleh banyak penulis asal Indonesia.
Namun Dasco mengatakan terjadi kerusakan pada tautan artikelnya. “Link jurnal yang error di luar kendali karena sistemnya diatur penerbit,” tuturnya.
Penelusuran ini merupakan bagian dari investigasi Tempo terhadap dugaan kecurangan guru besar di sejumlah kampus.
Laporan mengenai dugaan pelanggaran akademik ini akan dimuat secara rinci dalam laporan Investigasi Tempo pada awal pekan depan.
Sumber: Tempo