DEMOCRAZY.ID - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri menyebut Prabowo Subianto adalah presiden terpilih paling sial.
Prabowo adalah presiden 2024-2029 yang akan menggantikan Jokowi setelah lengser dari jabatannya.
Pernyataan 'paling sial' itu disampaikan Faisal Basri lantaran Prabowo mendapatkan warisan utang negara dari Pemerintahan Jokowi sebesar Rp 800 Triliun.
Sebagai Presiden, Prabowo akan dihadapkan pada utang Rp 800 T yang segera jatuh tempo, seperti apa konsekuensinya?
"Pak Prabowo ini sebetulnya adalah presiden yang paling sial.
Kenapa sial? Karena dia diwariskan oleh beban yang sangat besar," kata Faisal dalam diskusi publik di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (26/6/2024).
Ia menerangkan, tahun depan utang jatuh tempo yang dibuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebesar Rp 800 triliun.
"Belum lagi kan segala macem. Akhirnya Pak Prabowo bilang ke Pak Jokowi 'sorry nih Pak Jokowi, Pak Jokowi menambah beban saya saja nih'," kata Faisal Basri.
Menurutnya, salah satu cara agar ada perubahan, Prabowo Subianto nantinya harus melepaskan ikatan dengan Jokowi.
"Jadi, yang memungkinkan adanya perubahan Pak Prabowo melepas ikatan dengan Pak Jokowi," lanjutnya.
"Karena kerusakan ini wariskan akan mendekatkan diri kita ke jurang. Kalau ini yang terjadi paling lama 2026 itu akan meledak," tegasnya seperti dikutip dari Tribunnews.com di artikel berjudul Faisal Basri Sebut Prabowo Presiden Paling Sial Diwarisi Utang sampai Rp 800 Triliun.
Konsekuensi jika tak Mampu Bayar Utang
Dalam kesempatan yang sama, Ekonom INDEF lainnya, ingatkan Prabowo Subanto agar tidak menghindari utang pemerintah RI yang jatuh tempo pada 2025 sebesar Rp 800 triliun.
Menurut data Kementerian Keuangan, per 30 April 2024, total utang jatuh tempo pemerintah di tahun 2025 saat Prabowo mulai berkuasa akan mencapai Rp 800,33 triliun.
Utang ini berasal dari surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 705,5 triliun dan utang pinjaman Rp 100,19 triliun.
Karena mayoritas utang tersebut berbentuk SBN, mau tidak mau harus dibayar tepat waktu saat jatuh tempo. Tidak ada ruang negosiasi untuk menunda pembayarannya.
Jika Pemerintahan Prabowo menghindari pembayaran utang ini, mereka harus siap jadi sasaran penghakiman pasar.
"Sebanyak 70 persen lebih utang ini adalah SBN. SBN ini enggak ada negosiasi kompromi gitu. Enggak bayar, ya kita hakimi. Kan ke pasar. Bukan kayak dulu. Jadi, harus siap kalau berhadapan dengan pasar. Kalau nggak komit, ya dihakimi," ujar Direktur Pengembangan Big Data INDEF Eko Listiyanto di acara diskusi bertajuk Warisan Utang Untuk Pemerintah Mendatang, dikutip Jumat (5/7/2024).
Direktur INDEF Eisha M Rachbini memandang utang jatuh tempo ini harus menjadi sesuatu yang diwaspadai oleh Pemerintahan Prabowo.
Pasalnya, Prabowo memiliki sejumlah program unggulan yang memiliki anggaran jumbo.
Sebut saja makan bergizi gratis yang pada tahun depan telah dianggarkan di APBN 2025 sebesar Rp 71 triliun.
"Ini sebenarnya perlu kewaspadaan di tengah-tengah program pemerintah yang fantastis, jumbo, menjalankan pembiayaan terhadap program itu ditambah dengan utang jatuh tempo," ujar Eisha seperti dikutip di artikel berjudul Ekonom INDEF Ingatkan Pemerintahan Prabowo, Harus Siap Dihakimi Pasar Jika 'Ngemplang' Bayar Utang.
Dalam menyikapi ini, Pemerintahan Prabowo dinilai harus menggenjot pendapatan negara agar meningkat, jangan sampai malah menurun.
Jika kelak pendapatan negara tidak naik atau bahkan menurun, defisit fiskal tentu akan kena dampaknya, yakni menjadi semakin lebar.
"Kalau pendapatannya tetap atau turun, justru jadinya defisitnya akan besar. Pembiayaan lewat mana? Ditutup lagi bisa jadi lewat utang baru lagi. Ini rasanya jadi kayak kita enggak bisa lepas dari utang," ujar Eisha.
Oleh karena itu, ia menekankan agar Pemerintahan Prabowo bisa waspada dan hati-hati untuk ke depannya.
"Jadi memang perlu kewaspadaan, kehati-hatian, bagaimana ke depan dengan program-program yang banyak dengan (utang) jatuh tempo di 2024, 2025, dan tahun-tahun berikutnya. Ini akan memberikan dampak terhadap keseimbangan fiskal kita," pungkas Eisha.
Tantangan Menkeu era Prabowo
Sosok Menteri Keuangan atau Menkeu di kabinet Prabowo-Gibran masih belum terungkap.
Namun Menkeu kabinet Prabowo-Gibran akan menghadapi sejumlah tantangan dengan gambaran APBN pertama Presiden terpilih Prabowo Subianto yang akan berhadapan dengan beban utang dan defisit anggaran.
Gambaran APBN pertama yang akan menjadi tantangan bagi Menkeu kabinet Prabowo-Gibran ini terungkap dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025 yang disiapkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam KEM-PPKF, APBN 2025 disiapkan dengan defisit mencapai kisaran 2,45 hingga 2,82 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Angka ini lebih besar dari defisit anggaran tahun ini yang dipatok di level 2,29 persen terhadap PDB.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, pelebaran defisit itu salah satunya disebabkan oleh beban utang pemerintah yang kian meningkat.
Berdasarkan data dokumen KEM-PPKF 2025, pembayaran beban utang pemerintah tercatat kian meningkat.
Pada 2024, pembayaran bunga utang ditargetkan mencapai Rp 497,3 triliun atau setara 2,18 persen terhadap PDB.
Nilai itu meningkat sekitar 13,06 persen dari tahun 2023, yang realisasinya mencapai Rp 439,9 triliun atau setara 2,11 persen terhadap PDB.
"Defisitnya ini kenapa 2,5-2,8 karena ada pembayaran bunga yang meningkat," kata Suharso saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (4/6/2024).
Oleh karenanya, Suharso menilai, pemerintah perlu menerapkan strategi baru dalam melakukan pembiayaan anggaran.
Menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk melakukan pembiayaan terhadap suatu proyek yang dapat menghasilkan keuntungan sehingga hasilnya bisa membayar sumber utang.
"Artinya, dia bisa secara self finance bisa membayar kembali utang-utang itu," ujarnya.
Selain beban utang yang meningkat, Suharso bilang, pelebaran defisit disebabkan oleh arah kebijakan Prabowo yang akan melanjutkan proyek-proyek era Jokowi.
Dengan demikian, meski belum terdapat Rencana Kerja Pemerintah (RKP) era Prabowo, pemerintah saat ini sudah menyiapkan defisit anggaran yang lebih besar.
"Presiden terpilih (Prabowo) mengusung tema keberlanjutan," kata Suharso.
Meskipun demikian, nantinya Prabowo masih dapat melakukan perubahan terhadap APBN yang disiapkan oleh pemerintah saat ini.
APBN bisa diubah oleh Prabowo jika memang terdapat penyesuaian program atau anggaran yang bakal dilakukan nantinya.
"Itu hak dari presiden yang akan datang. Kalau memang dirasa APBN-nya enggak cocok untuk pembangunan, silakan dilakukan APBN perubahan, enggak masalah," ucap Suharso.
Diprediksi Kesulitan Cari Menkeu
Jauh sebelum Prabowo Subianto ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2024, ia disebut bakal kesulitan mencari Menkeu sekaliber Sri Mulyani.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara memprediksi mencari sosok pengganti Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan adalah pekerjaan terberat Prabowo-Gibran ke depannya.
Menurutnya, hubungan antara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan Prabowo yang sebelumnya tidak terlalu bagus.
Kondisi tersebut akan menyebabkan Sri Mulyani sulit untuk bersedia bergabung di Kabinet Prabowo yang baru.
"Nah hubungan Sri Mulyani dengan prabowo juga kurang bagus ya sehingga sepertinya akan sulit bagi srimul untuk mau bergabung dengan kabinet prabowo yang baru," kata Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (18/2/2024 lalu).
Adapun beberapa rekam jejak yang menunjukkan hubungan keduanya kurang harmonis yakni kontras antara Sri Mulyani dan Prabowo mengenai Anggaran Kementerian Pertahanan soal belanja utama sistem pertahanan (alutsista).
Sri Mulyani membeberkan bahwa pengadaan alutsista telah menyebabkan melonjakan utang luar negeri pemerintah.
Diketahui, Pada tahun anggaran 2018–2021, realisasi anggaran fungsi pertahanan secara nominal mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 5,6 persen, yaitu dari Rp106,83 triliun pada tahun anggaran 2018 menjadi Rp125,79 triliun pada tahun anggaran 2021.
Anggaran fungsi pertahanan terus dikerek pada 2022 menjadi Rp133,3 triliun, dan lagi-lagi meningkat menjadi Rp134,3 triliun pada 2023.
"Jadi kemungkinan besar srimul tidak melanjutkan di posisi Menkeu gitu ya apalagi kan jika dilihat beberapa hal yang menjadi kontra Srimul dengan prabowo terkait dengan kemhan dan kewaspadaan bengkaknya hutang luar negeri untuk belanja alutsista," ungkapnya.
Untuk itu, mencari sosok sekaliber Sri Mulyani yang layak menjadi Menteri Keuangan merupakan pekerjaan rumah terberat bagi Prabowo.
Sri Mulyani sudah dinilai sebagai figur yang mampu memimpin Kementerian Keuangan dengan baik.
"Ini menjadi pekerjaan rumah berat bagi Prabowo untuk mencari pengganti sekaliber Srimul terutama untuk pos profesional di kemenkeu," sambungnya.
Pasalnya, Kementerian Keuangan merupakan kementerian yang paling vital dan penting terutama soal desain anggaran dan soal meyakinkan kepada investor agar terus membeli surat utang dari pemerintah Indonesia.
"Kemudian terutama Kemenkeu yang paling vital paling penting soal desaign anggaran soal meyakinkan kepada investor soal membeli surat utang dari pemerintah indonesia.
Kalau nantinya pengganti Srimul bukan sosok yang kredibel record international tidak memiliki banyak jaringan dengan lembaga keungan international ini akan merepotkan prabowo kedepannya," pungkasnya.
Sumber: Tribun