'Dosa-Dosa Jokowi Selama Jabat Presiden RI 2 Periode'
Presiden Joko Widodo atau Jokowi akan segera lengser dari jabatannya sebagai kepala negara pada 20 Oktober 2024.
Jokowi akan digantikan oleh presiden terpilih Prabowo Subianto bersama wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Jokowi dan Iriana.
Jokowi adalah politikus Indonesia yang lahir di Surakarta, Jawa Tengah, pada 21 Juni 1961. Dia merupakan lulusan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Setelah lulus kuliah, Jokowi sempat bekerja di PT Kertas Kraft Aceh. Namun, dia memutuskan untuk kembali ke Solo dan memulai bisnis mebel lalu mendirikan CV Rakabu pada 1988.
Jokowi akhirnya terjun ke dunia politik pada 1998 dengan bergabung bersama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Karir Jokowi di pemerintahan dimulai sebagai Wali Kota Solo pada 28 Juli 2005 hingga 1 Oktober 2012.
Setelah itu, ia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 15 Oktober 2012 sebelum terpilih sebagai Presiden pada Pemilihan Presiden 2014 dengan dukungan utama dari PDIP. Pada periode pertama pemerintahannya, ia didampingi oleh Jusuf Kalla.
Dalam Pemilihan Presiden 2019, Jokowi terpilih kembali sebagai Presiden dengan Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Selama dua kampanye pemilihan presiden tersebut, Jokowi sering digambarkan sebagai politisi yang dekat dengan semua kalangan dan merakyat, melalui narasi “Jokowi adalah Kita” yang muncul pada 2014.
Selama periode pertama kepemimpinannya, pembangunan infrastruktur menjadi program prioritas pemerintahan Jokowi.
Saat itu, mantan Wali Kota Solo tersebut merumuskan sembilan agenda prioritas pemerintah yang dinamai dengan Nawacita atau sembilan janji politik.
Gagasan yang diusungnya saat itu adalah membereskan korupsi, membangun desa, hingga meningkatkan daya saing di pasar global.
Pada periode kedua, fokusnya beralih pada pembangunan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia Indonesia agar dapat bersaing dengan negara lain, meskipun pembangunan infrastruktur tetap dilanjutkan.
Selain itu, program bantuan sosial seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Program Keluarga Harapan (PKH) juga menjadi prioritas.
Menurut situs resmi Sekretariat Presiden, pada periode kedua, Jokowi juga mengupayakan reforma agraria, termasuk percepatan penerbitan sertifikat hak atas tanah untuk mengurangi sengketa lahan akibat ketiadaan sertifikat.
Dalam laporan khusus Majalah Tempo berjudul “18 Dosa Jokowi.” , alih-alih mewujudkan janji politiknya yang tertuang dalam Nawacita, Jokowi secara perlahan-lahan justru menghancurkan demokrasi melalui 18 dosa yang dibuatnya selama sepuluh tahun berkuasa.
Mulai dari pemberantasan korupsi yang jeblok karena adanya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga kemunduran demokrasi dengan dinasti politik yang diciptakannya.
18 DOSA JOKOWI
9 Dosa Presiden Jokowi yang Diadili di Mahkamah Rakyat
Mahkamah Rakyat Luar Biasa mengadili sembilan (9) dosa atau Nawadosa Presiden Joko Widodo di Wisma Makara Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat, 25 Juni 2024.
Sembilan dosa itu adalah perampasan ruang dan penyingkiran masyarakat; kekerasan, persekusi, kriminalisasi dan diskrminasi; lalu kejahatan kemanusiaan dan pelanggengan impunitas; komersialisasi dan penundukan sistem Pendidikan.
Kemudian ada perilaku KKN; eksploitasi sumber daya alam; sistem kerja yang menindas; pembajakan legislasi; hingga militerisme atau militerisasi. Menurut Mahkamah Rakyat, sembilan dosa itu dilakukan selama hampir genap sepuluh tahun Presiden Jokowi memimpin.
Mahkamah Rakyat Luar Biasa ialah peradilan alternatif yang dikenal di sistem demokrasi untuk menyelesaikan persoalan hukum. Ini adalah gerakan yang berasal dari ketidakpercayaan masyarakat sipil atas penegakan hukum dan kebijakan yang dilakukan negara.
Ada sepuluh penggugat, antara lain Bivitri Susanti, akademisi yang juga mewakili akademisi. Sedangkan pihak tergugat adalah Presiden RI Joko Widodo, Ketua DPR RI, Ketua DPR RI Puan Maharani, dan Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti, serta sembilan parpol parlemen. Gugatan dibacakan secara bergantian.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyebut, parahnya pembajakan legislasi di Indonesia. Menurutnya, para pembuat legislasi telah membajak banyak peraturan perundang-undangan.
"Tujuannya kita semua paham, pertama-tama adalah mematikan dulu lembaga-lembaga yang menyokong demokrasi kita. Karena seakan-akan hal-hal yang berguna bagi demokrasi tapi dimatikan, tapi karena dibentuk dalam bentuk undang-undang, maka seakan-akan kita dikecohkan, seakan-akan kita merasa bahwa yang dilakukan pembajak legislasi itu adalah kebenaran," ujar Bivitri di Jakarta, Selasa, (25/6).
Bivitri menjelaskan sejumlah lembaga sudah dilemahkan, dan seluruh kepentingan penguasa terakomodasi lewat pembajakan legislasi.
Tuntutan
Para penggugat memohon kepada Majelis Mahkamah Rakyat Luar Biasa menjatuhkan putusan dengan amar sebagai berikut, antara lain menyatakan tergugat telah melakukan secara sistematis memiskinkan hidup buruh dengan cara menghadirkan kebijakan praktik politik upah murah yang mengorbankan buruh.
Lalu, menyatakan tergugat telah melakukan kejahatan demokrasi dan konstitusi melalui pembajakan regulasi yang mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat dan negara hukum yang ditujukan untuk kepentingan kelompok dan kekuasaan.
Kemudian, menyatakan tergugat melakukan kejahatan demokrasi dengan cara menghidupkan kembali dwifungsi ABRI, melanggengkan impunitas, operasi militer ilegal.
Oligarki
Guru Besar Politik di University of Melbourne Australia Vedi R. Hadiz yang juga saksi ahli di Mahkamah Rakyat mengatakan, pemerintahan Presiden Jokowi dalam dua periode semakin menancapkan pola oligarki.
"Secara paling fundamental telah meneruskan dan bahkan semakin menancapkan suatu pola, di mana perangkat hukum dan kelembagaan negara di instrumentalisasikan untuk kepentingan segelintir kelompok, yang dapat kita sebut sebagai oligarki, bertentangan dengan kepentingan dari rakyat secara lebih umum," kata Vedi secara daring, Selasa, (25/6).
Guru Besar di University of Melbourne, Vedi R. Hadiz mengatakan, pola oligarki Jokowi sangat bertentangan dengan cita-cita reformasi yang berlandaskan asas-asas demokrasi dan HAM.
Padahal, Jokowi dipilih pada 2014 sebagai tokoh masa reformasi, dan menjadi satu-satunya presiden yang besar dari luar oligarki kala itu.
Respons PDI-P
PDI-Perjuangan sebagai partai awal Jokowi bernaung, menanggapi Mahkamah Rakyat Luar Biasa.
Juru bicara PDI-P Chico Hakim mengatakan, masyarakat berhak mengkritik dan mengoreksi kebijakan presiden yang dianggap tidak prorakyat.
"Kami menilai apa yang disampaikan Mahkamah Rakyat ini tidaklah salah. Apalagi yang terkait dengan upaya pembungkam terhadap anak-anak bangsa yang bersikap dan bersuara kritis dalam menyikapi perilaku dari orang-orang yang duduk dalam kekuasaan maupun aparat. Hari ini demokrasi kita tidak sedang baik-baik saja, kita harus mengaku itu. Banyak hukum yang diakali dengan hukum itu sendiri. Bahkan hukum maupun aparat hukum itu sendiri bukan lagi menjadi tempat untuk mencari keadilan," ujar Chico kepada KBR, Selasa, (25/6).
Istana Bereaksi
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ade Irfan Pulungan menilai pelaksanaan Mahkamah Rakyat Luar Biasa tidak mewakili sikap keseluruhan rakyat.
"Teman-teman ini kan kelompok, ya, kelompok masyarakat yang melakukan gugatan dan dilakukan Mahkamah Rakyat Luar Biasa. Apakah mereka semua ini bisa mengatasnamakan rakyat Indonesia 280 juta, atau hanya sebagian kelompok yang memang melakukan kritikan terhadap Pak Jokowi, apakah itu pemerintahannya, atau kritikan yang lainnya. Jadi, kan kita juga enggak bisa langsung menyatakan ini adalah semua kritikan rakyat Indonesia, digeneralisasi, enggak boleh dong," kata Irfan kepada KBR, Selasa, (25/6).
Tenaga Ahli KSP, Irfan Pulungan bahkan menganggap Mahkamah Rakyat menjadi anomali jika menilik tingkat kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi yang masih tinggi berdasarkan survei Litbang Kompas.
Sumber: TEMPO