'Di Balik Rencana Pembatasan BBM Subsidi'
OLEH: AGUSTINUS EDY KRISTIANTO
Pemerintah akan membatasi pembelian BBM bersubsidi pada 17 Agustus 2024, kata Menko Marives. Alasannya klasik: agar subsidi tepat sasaran (orang kaya vs orang miskin) dan menghemat anggaran.
Lalu para petinggi negeri saling-silang pendapat: Menko Perekonomian, Menteri BUMN.
Sementara itu dua BUMN gede, Pertamina dan Telkom, keluarkan senjata andalan: digitalisasi SPBU adalah solusi.
Tapi masihkah Anda percaya begitu saja kata mereka-mereka itu? Jangan-jangan mereka cuma bersandiwara? Jangan-jangan semua itu demi rebutan citra, pangkat, anggaran dan komisi semata?
Siapa tahu.
Pada September 2022, saya mengunggah pendapat dan analisis tentang subsidi BBM:
https://www.facebook.com/share/p/dQDGbH3BMg6epphG/?mibextid=xfxF2i
https://www.facebook.com/share/p/sRCVZb8pk9tzyZLA/?mibextid=oFDknk
Saya katakan, masalah subsidi BBM itu ada di pemerintah, bukan masyarakat. Uraian detail saya ungkapkan di status itu.
👉Kasarnya, saya berkesimpulan, masalah subsidi dan kompensasi energi cuma bungkus yang menyelimuti praktik utak-atik anggaran yang tidak transparan, tidak efisien, dan cenderung menggemukkan dompet pejabat pemerintah dan BUMN.
Justru masyarakatlah yang selama ini menanggung biaya mahal birokrasi beserta seluk-beluk potensi KKN-nya tanpa pernah kita lihat sedikit pun 'pengorbanan' sebagai wujud keprihatinan akan penderitaan rakyat dari para pejabat.
Misalnya: tak pernah kita lihat ada pejabat pemerintah/BUMN yang menolak gaji, fasilitas, bonus, dan tantiem jumbonya itu, mau berapa saja harga BBM, sesusah apapun kehidupan masyarakat.
Per 31 Desember 2023, total bonus, tantiem, dan insentif di Pertamina sebesar US$1,03 miiar (Rp16,6 triliun, kurs Rp16 ribu), naik dari tahun sebelumnya yang US$998 ribu. (LK Pertamina, 2023 Audited).
Kompensasi buat para komisaris malah naik dari US$46,8 juta (Rp749 miliar, kurs Rp16 ribu) pada 2022 ke US$51,2 juta (Rp820 miliar) pada 2023. Jumlah komisaris adalah enam/tujuh orang, silakan hitung sendiri berapa terimanya masing-masing.
Lantas, apa soal pentingnya?
Pada September 2022, terjadi gap yang membuat harga Singapore Mogas 92 (yang dijadikan acuan harga minyak mentah/ICP Indonesia) anjlok ke US$93. Dari September 2022 sampai sekarang harga cenderung datar (sideways). Pekan lalu harga ditutup US$92.
Di sisi lain, masyarakat perlu tahu, ternyata pada 13 Maret 2024, pemerintah sudah bayar dana kompensasi BBM ke Pertamina sebesar Rp82,7 triliun.
Kekurangannya masih Rp43,5 triliun, yang mana "pembayaran akan dilakukan apabila sudah dianggarkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) terkait penyelesaian piutang dimaksud." (LK Pertamina (audited) 2023).
Mengenai perhitungan dana subsidi dan kompensasi BBM, mau dilihat dari bukit manapun pakai alat apapun, Pertamina pasti untung.
Sebab sudah dianggarkan komponen margin Pertamina (10% dari harga dasar), tambahan penugasan untuk JBKP (2% dari harga dasar), alpha pengadaan, biaya distribusi, biaya penyimpanan dst.
Mau pengiriman ke bulan sekalipun, biaya distribusinya diklaim dalam kompensasi. Bahkan, saya lihat, untuk kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri pun, ada fee-nya (DMO Fees).
Sementara soal digitalisasi SPBU yang dibanggakan Pertamina dan Telkom yang katanya untuk mengontrol penyaluran BBM bersubsidi, bagi saya, justru perlu dipertanyakan ada-tidaknya potensi penyalahgunaan anggaran mengingat nilai proyek itu besar sekali: Rp3,6 triliun, berakhir pada 2020 (5000 SPBU) dan berlanjut sampai sekarang dengan anggaran baru lagi.
Menurut informasi yang saya dengar, BPH Migas sudah menyurati KPK tentang dugaan kejanggalan proyek itu dan KPK tengah memulai penyelidikan kasus tersebut dengan memanggil sejumlah orang Pertamina dan Telkom.
Logikanya, jika digitalisasi SPBU bertriliun-triliun rupiah itu adalah kunci solusi, ngapain saat ini masih pada koar-koar soal BBM tidak tepat sasaran.
Buat apa ada proyek itu!
Jadi, sesungguhnya, masalah BBM bersubsidi itu bukan cuma soal naik-turunnya harga minyak dunia di chart, tepat-tidaknya sasaran dan digitalisasi tapi masalah mental pejabat, good governance, dan penegakan hukum buat para pejabat-maling.
Saya duga ada potensi kartel dan korupsi jumbo di balik ribut-ribut BBM bersubsidi selama ini.
Sebab, di balik upaya mengegolkan anggaran kompensasi dalam DIPA, pelaksanaan proyek digitalisasi, pengadaan alat, penyediaan ruang pemyimpanan, penyusunan audit laporan keuangan, penempatan direksi dan komisaris, hingga antisipasi perkara hukum dan pembentukan isu positif di media massa adalah justru alasan utama mengapa tak ada yang baru dari isu BBM bagi rakyat negara ini yang mayoritasnya tetap hidup susah, selain ujung-ujungnya menguntungkan mereka yang berkuasa saja.
Salam.