POLITIK

Dewan ‘Pendukung’ Agung, Barisan Nasional ‘Rasa’ Lokal

DEMOCRAZY.ID
Juli 28, 2024
0 Komentar
Beranda
POLITIK
Dewan ‘Pendukung’ Agung, Barisan Nasional ‘Rasa’ Lokal



DEMOCRAZY.ID - Akhir-akhir ini muncul gagasan pembentukan kembali Dewan Pertimbangan Agung (DPA). 


Lembaga  yang dibubarkan lewat Keputusan Presiden Nomor 135/M/2003 era Presiden Megawati Soekarnoputri, kini ingin dikembalikan lagi di akhir era Presiden Joko Widodo.


Kalau tak ada hambatan, UU mengenai DPA tersebut akan ditandatangani Presiden Jokowi sebelum lengser. Kalau tidak, akan ditandatangani Presiden Prabowo setelah dilantik, Oktober 2024.


Gagasan ini berawal dari wacana pembentukan Presidensial Club, wadah berkumpulnya para mantan presiden dan wakil presiden, yang fungsinya memberi pertimbangan atau masukan kepada presiden.


Gagasan buat mengubah penamaan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA), dianggap merupakan wujud upaya Presiden terpilih Prabowo Subianto mendapatkan dukungan politik sebesar-besarnya buat pemerintahannya kelak.


Kebetulan pula Prabowo punya historis dengan DPA. Selain ia pernah hidup saat lembaga ini eksis di orde baru. 


Lembaga yang dibentuk pada September 1945 ini, kebetulan juga di Ketuai pertama kali oleh kakeknya, R. Margono Djojohadikusumo. Orangtua dari begawan ekonomi Prof Soemitro Djojohadikoesoemo. 


Dewan ‘Pendukung’ Agung


Sebelum adanya ide Presidensial Club, dedengkot Partai Solidaritas Indonesia Jeffrie Geovanie sudah lebih dahulu memunculkan ide membentuk koalisi permanen, seperti "Barisan Nasional" atau "Barisan Rakyat" meniru apa yang dilakukan Malaysia. 


Barisan Nasional (BN), yang secara harfiah diterjemahkan sebagai “Front Nasional”, adalah koalisi politik yang berpengaruh di Malaysia. 


Sejak pendiriannya pada tahun 1973, BN telah memainkan peran utama dalam politik Malaysia, menjadi pilar politik yang dominan selama beberapa dekade.


Barisan Nasional terdiri dari beberapa partai politik yang mewakili berbagai kelompok etnis dan kepentingan di Malaysia. 


Partai utama dalam koalisi ini termasuk UMNO, MCA, dan MIC, yang mewakili etnis Melayu, Tionghoa, dan India, secara berturut-turut.


Pemimpin utama BN adalah Presiden UMNO, yang secara tradisional juga menjabat sebagai Perdana Menteri Malaysia. 


Di bawah Presiden UMNO, ada Dewan Pimpinan Tertinggi (Supreme Council) yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan penting dalam koalisi. 


Antara BN, Presidensial Club dan kini DPA sama-sama meletakan stabilitas politik, pembangunan ekonomi, dan penguatan identitas nasional sebagai tujuannya.


Pun soal keanggotan, yang tidak terbatas hanya pada mantan Presiden, namun juga para Ketua Partai Politik. Hal ini sebagaimana tertuang dalam draf revisi Undang-Undang DPA yang memperbolehkan anggota partai politik untuk menjadi anggota.


Kesepakatan soal menghilangkan pasal yang melarang pimpinan partai politik dihilangkan sesuai kesepakatan Badan Legislasi (Baleg) pada 9 Juli 2024.


“Itu disepakati kemarin untuk tidak ada lagi larangan. Jadi bukan hanya untuk anggota partai politik, tetapi juga semua yang duduk sebagai pimpinan ormas juga boleh (menjadi anggota),” ujar Ketua Badan Legislasi DPR RI, Supratman Andi Agtas, 10 Juli 2024.


Konon katanya ide “Barisan Nasional” yang kini bertransformasi menjadi DPA merupakan konsep Prabowo sendiri. Ide itu sempat dibahas Prabowo dalam koalisi besar yang dihadiri para ketum partai. Namun hal ini dibantuh Supratman.


Terlepas dari itu, konsep menyatukan para tokoh nasional dalam wujud Watimpres dan kini DPA, sejatinya mirip dengan tradisi di Indonesia. Coba saja tengok di beberapa daerah, selain adanya Kepala Desa, Lurah dan sebagainya, juga dikenal istilah para tetua adat. ‘lembaga’ yang berisi tokoh-tokoh yang sangat dihormati dan didengar nasihat dan pendapatnya. Levelnya semacam ‘dewa’. 


Simbol Kekuataan Politik 


Pengamat politik Jannus TH Siahaan dalam sebuah artikel, menyebut keberadaan DPA dibutuhkan Prabowo sebagai bentuk simbolisasi politik untuk mengesankan pemerintahannya mendatang kuat secara politik.


Simbol kekuatan itu akan menjadi opera besar yang akan ditonton publik bahwa pemerintahan mendatang didukung oleh koalisi besar, termasuk menghadapi resistensi dari oposisi. 


"Secara teknis, Prabowo membutuhkan 'dukungan keroyokan' dari SBY dan Jokowi untuk menghadapi kemungkinan resistensi keras dari oposisi,” kata Jannus.


Tak jauh berbeda, Direktur Trias Politika Strategis Agung Baskoro ketika berbincang dengan Inilah.com, juga menyatakan hal yang sama. Menurutnya, DPA merupakan wujud upaya Presiden terpilih Prabowo Subianto mendapatkan dukungan politik sebesar-besarnya buat pemerintahannya kelak. 


"Secara personal, revisi aturan ini mengafirmasi gaya politik Presiden terpilih Prabowo, yang ingin merangkul dan memberi ruang yang pas bagi semua,” kata dia.


Apa yang dikatakan Agung Baskoro, sempat diutarakan sendiri oleh Prabowo saat berpidato dalam Milad ke-25 Partai Bulan Bintang (PBB) 30 Juli 2023. Ketika itu Prabowo bertekad jika terpilih menjadi pemenang dalam Pilpres 2024, akan mengajak semua kekuatan politik.


Sementara soal kekhawatiran bahwa nantinya Prabowo akan ‘disetir’ Jokowi yang digadang-gadang akan menjadi pimpinan, menjadi terabaikan. Sebab menurut Agung, undang-undang menjelaskan kalau DPA berada dibawah presiden.


“Sehingga dengan undang-undang semacam itu ya Pak Jokowi mau tidak mau ya dibawahnya Pak Prabowo ketika nanti sudah tidak lagi menjabat,” kata Agung.


Pernyataan Agung dikuatkan oleh pendapat Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis. Menurutnya perubahan Watimpres menjadi DPA hanya terletak pada nomenklatur saja. 


Sementara soal fungsi, DPA berdasarkan undang-undang hanya memberikan nasihat dan pertimbangan, begitu diminta presiden.


Fungsi itu juga yang kemudian membuat presiden bebas untuk menerima atau mengabaikan pendapat yang diberikan DPA. 


“Tidak mengikat sama sekali. Pendapat dan pertimbangan mereka (DPA) itu sama sekali tidak mengikat. Kalau Presiden mengabaikan, sah,” kata Margarito kepada Inilah.com.


DPA Melanggar Konstitusi


Namun yang menjadi sandungan dari ide besar Prabowo ini yakni soal ‘ketegangan’ masa lalu antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Susilo Bambang Yudhyono dan kini dengan Presiden Joko Widodo. 


Bisakah ketiganya ‘dipertontonkan’ dalam lembaga yang sama? Belum menuju kesana, politisi senior PDIP mengingatkan bahwa pembentukan DPA melanggar UUD.


“Seingat saya salah satu amanat reformasi mengamandemen UUD menghapus lembaga DPA,” ujar Bendahara Umum DPP PDIP, Olly Dondokambey kepada Inilah.com.


Pernyatan Olly merujuk pada perubahan suasana pemerintahan dari Orde Baru menjadi Reformasi, gerakan kedaulatan rakyat mengevaluasi kembali sistem ketatanegaraan Indonesia, termasuk sistem kelembagaan negara dan kekuasaannya. 


Salah satu lembaga negara yang dievaluasi adalah DPA. Hasil evaluasi dituangkan ke dalam UUD 1945 perubahan. Salah satu perubahannya adalah aturan DPA dihapus dari ketentuan UUD 1945, yang berarti DPA dihapus dari sistem ketatanegaraan Indonesia. 


Penghapusan ini dilakukan secara resmi pada 31 Juli 2003, dengan Keputusan Presiden Nomor 135 Tahun 2003.


Catatan sejarah di atas mempertimbangkan DPA tidak diperlukan oleh pemerintahan era reformasi. Keberadaan DPA dianggap tidak mendukung pola efisiensi penyelenggaraan negara di reformasi. 


Karena itu, faktor historis ini perlu menjadi pertimbangan pembentukan kembali DPA agar tidak terjadi lagi inefisiensi pada penyelenggaraan Negara.


“Kita lihat ini kan melanggar konstitusi, melanggar tidak sesuai dengan Tap MPR dan amandemen soal pembubaran DPA sebagai lembaga tinggi negara,” ujar Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Hanteru Sitorus kepada Inilah.com.


Selain itu, ia pun menilai tak ada urgensi dari melahirkan kembali DPA. Hal ini, menurut Deddy, terlihat dari 10 tahun pemerintahan SBY dan Jokowi, dimana keduanya tak mempermasalahkan kehadiran Wantimpres.


Dari situ kemudian Deddy melihat adanya kepentingan pragmatis dari dibentuknya DPA yang diusulkan menjelang lengsernya Presiden Jokowi.


“Kenapa diujung masa jabatan tiba-tiba ada usulan itu tanpa melibatkan publik juga. Ini kan artinya ada penggunaan kekuasaan yang excessive, tidak melibatkan publik,” kata Deddy. 


Belum lagi soal penambahan anggaran dan kemungkinan konflik dalam pelaksanaan tugas karena menjadi lembaga tinggi negara. 


“Pengalaman kita selama Presiden Soeharto menggunakan DPA memangnya pernah dipakai kecuali tempat nyimpen "parkir" pejabat-pejabat tua,” kata dia.


Sumber: Inilah

Penulis blog