CATATAN POLITIK

'Dengan Soeharto Saja Berani, Apalagi Jokowi: Prabowo Jadi Brutus?'

DEMOCRAZY.ID
Juli 12, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
'Dengan Soeharto Saja Berani, Apalagi Jokowi: Prabowo Jadi Brutus?'


'Dengan Soeharto Saja Berani, Apalagi Jokowi: Prabowo Jadi Brutus?'


Presiden Joko Widodo, diakui atau tidak telah terbukti mendukung Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.


Segala daya dikerahkan, segala cara ditempuh Jokowi, termasuk membagikan bantuan sosial (bansos) secara masif yang anggarannya mencapai 450 triliunan rupiah, sehingga akhirnya Prabowo yang berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, sebagai calon presiden-wakil presiden terpilih dan berhasil mengalahkan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md.


Implikasinya, pemerintahan Prabowo-Gibran yang akan dilantik pada 20 Oktober nanti diasumsikan sebagai kelanjutan dari rezim Jokowi-Ma’ruf Amin.


Bahkan karena merasa berutang budi, Prabowo pun diprediksi akan menjadi “kacung” yang akan mengikuti apa pun kata Jokowi.


Bisa juga menjadi seperti Marcus Junius Brutus (85-42 SM) yang mengkhianati Kaisar Romawi Julius Caesar (100-44 SM). Benarkah?


Bisa benar bisa salah. Benar bila asumsinya demikian: Prabowo berutang budi kepada Jokowi, dan dalam kampanyenya ia berjanji akan melanjutkan program-program Jokowi, termasuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur, serta fakta bahwa Gibran adalah anak Jokowi.


Namun akan salah jika berkaca pada “track records” (rekam jejak) Prabowo, dan juga rekam jejak para pemimpin negeri ini yang suka berkhianat laiknya Brutus mengkhianati Julius Caesar yang telah menolong dan membesarkannya laiknya terhadap anak sendiri.


Pun, seperti Ken Arok (1182-1227) yang mengkhianati Tunggul Ametung, Akuwu Tumapel, Kediri, Jawa Timur, yang telah memberinya jabatan. 


Ken Arok bahkan bukan hanya membunuh Tunggul Ametung dengan Keris Mpu Gandring, namun juga merebut Ken Dedes, permaisuri Ametung, dan kemudian mendirikan Kerajaan Singasari di Malang, Jawa Timur.


Lalu, bagaimana rekam jejak Prabowo? Salah satunya adalah dia seorang pemberani. Bahkan dengan Soeharto yang saat itu menjabat Presiden RI pun Prabowo berani.


Selain orang terkuat di Indonesia, saat itu Soeharto adalah bapak mertua dari Prabowo, karena putrinya, Titiek Soeharto, dinikahi mantan Komandan Jenderal Kopassus itu.


Saat terjadi ontran-ontran Reformasi 1998, diisukan Prabowo berani menentang perintah Soeharto untuk meredam aksi-aksi demonstrasi mahasiswa.


Akhirnya penguasa rezim Orde Baru itu lengser keprabon pada 21 Mei 1998 dan digantikan Wakil Presiden BJ Habibie sebagai Presiden RI yang baru sesuai amanat konstitusi: UUD 1945.


Keberanian Prabowo melawan perintah Soeharto itulah yang kemudian diisukan sebagai penyebab perpisahahannya dengan Titiek Soeharto, karena di antara suami-istri itu tak ada masalah pribadi. Bahkan hingga saat ini.


Prabowo pun dituduh sebagai Brutus yang mengkhianati Kaisar Romawi, Julius Caesar karena berani melawan perintah Soeharto.


Jika dengan Soeharto saja berani, bagaimana mungkin Prabowo tidak akan berani dengan Jokowi? Itulah kekhawatiran yang ada di benak publik. Paling tidak penulis.


Jokowi pun bisa dikhianati oleh Prabowo, seperti Brutus mengkhianati Julius Caesar. Itu berdasarkan rekam jejak sosok yang saat ini menjabat Menteri Pertahanan itu.


Jika dilihat dari rekam jejak elite-elite pemimpin republik ini yang suka berkhianat, dugaan Jokowi bakal dikhianati Prabowo juga tak bisa dikesampingkan.


Elite-elite pemimpin Indonesia sudah karib dengan pengkhianatan ala Brutus kepada Julius Caesar atau Ken Arok kepada Tunggul Ametung.


Lihat saja. Soeharto mengkhianati Soekarno, Presiden RI pertama, yang memberinya jabatan di militer. Saat diberikan Surat Perintah 11 Maret 1966 untuk memulihkan kondisi keamanan dan ketertiban negara akibat Pemberontakan Gerakan 30 September 1965/Partai Komunis Indonesia (G 30 S/PKI), Soeharto justru menyalahgunakan surat yang populer dengan sebutan Super Semar itu untuk melucuti kekuasaan Bung Karno.


Soeharto bahkan sempat memenjarakan Bung Karno di Wisma Yaso yang saat ini menjadi Museum Satria Mandala dan Pusat Sejarah TNI di Jalan Jenderal Gatot Subroto, Kuningan, Jakarta Selatan.


Soeharto pun merasa dikhianati BJ Habibie, Presiden RI yang menggantikannya, dan juga Prabowo yang keduanya dinilai Pak Harto gagal menjaga dan melindungi kehormatannya. Sebab itulah, hingga akhir hayatnya Pak Harto menolak bertemu Habibie. Juga Prabowo.


Pak Harto juga merasa dikhianati oleh orang-orang terdekatnya yang justru pernah diberi jabatan empuk, namun kemudian mundur dari kabinet ketika Pak Harto dalam kondisi terdesak, seperti Akbar Tandjung dan Ginandjar Kartasasmita, dan juga Harnoko, Ketua DPR/MPR yang justru minta agar Pak Harto mundur dari jabatan Presiden RI.


Habibie kemudian digantikan KH Abdurrahman Wahid yang terpilih menjadi Presiden RI berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri yang terpilih sebagai Wakil Presiden RI dalam Sidang Umum MPR 1999.


Sebagai pemenang Pemilu 1998, Megawati yang merupakan Ketua Umum PDI Perjuangan semestinya menjadi Presiden. Tapi ia dikalahkan oleh Gus Dur yang didukung Poros Tengah yang dimotori Amien Rais.


Megawati yang merupakan tokoh deklarasi Ciganjur bersama Gus Dur dan Sri Sultan Hamengkubuwono X pun merasa dikhianati oleh mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) itu.


Gus Dur pun merasa dikhianati Megawati dan Amien Rais saat dilengserkan dalam Sidang Istimewa MPR, 23 Juli 2001. Bagaimana bisa Amien Rais yang menjadi Ketua MPR memotori para anggotanya agar melengserkan Gus Dur?


Bagaimana pula Megawati yang wakil presidennya setuju dengan pelengseran tersebut bahkan mau menggantikannya menjadi Presiden RI?


Megawati pun merasa dikhianati Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang terpilih menjadi Presiden RI pada Pilpres 2004 mengalahkan dirinya. Padahal saat menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, saat ditanya Megawati mau maju sebagai capres atau tidak, SBY konon tidak menjawab. 


Tapi di kantornya, diam-diam SBY menyusun kekuatan dan kemudian mendeklarasikan Partai Demokrat. Akibatnya, hingga kini hubungan Megawati-SBY belum benar-benar pulih.


Belakangan, Jokowi pun mengkhianati Megawati, mentor politiknya. Pasalnya, Jokowi yang merupakan kader PDIP justru mendukung Prabowo-Gibran melawan Ganjar-Mahfud yang diusung PDIP di Pilpres 2024.


Akankah Jokowi benar-benar dikhianati Prabowo? Kita tunggu saja tanggal mainnya.


Yang jelas, dalam politik tak ada kawan atau lawan abadi. Yang abadi adalah kepentingan. Kepentingan kekuasaan. ***

Penulis blog