'Cak Imin Isyaratkan Jokowi Segera Tumbang?'
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Entah apakah ia membaca tanda-tanda alam, mendengar bisikan gaib, mendapat kabar dari ahli nujum, atau berdasarkan analisisnya sebagai politikus ulung, tiba-tiba Muhaimin Iskandar mengisyaratkan Presiden Joko Widodo segera tumbang. Benarkah?
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang akrab disapa Cak Imin itu menganalogikan Jokowi dengan penguasa rezim Orde Baru yang selama 32 tahun memimpin Indonesia, yakni Presiden Soeharto.
Meski posisi Soeharto saat itu sangat kuat, bahkan paling kuat di antara tokoh-tokoh lainnya di Indonesia, namun kata Cak Imin, “the smiling general” (jenderal murah senyum) itu bisa tumbang juga karena mengangkat putri sulungnya, Siti Hardijanti Indra Rukmana alias Mbak Tutut sebagai Menteri Sosial.
Sebaliknya, kata Cak Imin, Jokowi yang dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 lalu mendorong putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden bagi capres Prabowo Subianto dan terpilih, tetap aman-aman saja. Tak ada gejolak berarti meskipun terjadi sesuatu yang drastis pada Pilpres 2024.
“Dulu kita tidak pernah membayangkan Pak Harto yang sekuat itu saja, baru mengangkat Mbak Tutut jadi Mensos, sudah jatuh,” kata Cak Imin dalam acara Musyawarah Kerja Nasional PKB di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (23/7/2024), seperti dikutip sejumlah media.
“Hari ini, Pak Jokowi bisa menjadikan anaknya wakil presiden, (tapi) aman-aman saja,” lanjut Cak Imin yang juga Wakil Ketua DPR RI.
Ada makna implisit atau tersirat yang bisa ditangkap dari pernyataan mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi itu.
Pertama, ia mengisyaratkan bahwa Jokowi pun bisa tumbang seperti Pak Harto meskipun posisi politiknya saat ini sangat kuat dengan dukungan parpol-parpol di Koalisi Indonesia Maju.
Musababnya, karena ia mendorong Gibran menjadi cawapres, seperti Pak Harto mengangkat Mbak Tutut sebagai Mensos yang hanya seumur jagung lalu jenderal bintang lima itu lengser keprabon pada 21 Mei 1998.
Pak Harto yang saat itu sangat kuat, bahkan paling kuat di antara tokoh-tokoh lainnya, termasuk tokoh-tokoh oposisi, saja bisa tumbang apalagi Jokowi. Mungkin demikian yang berkecamuk dalam benak Cak Imin.
Kedua, barangkali Cak Imin mau menyatakan bahwa ternyata Jokowi lebih hebat daripada Pak Harto.
Sebab meskipun belum genap 10 tahun berkuasa, wong Solo itu mampu menjadikan putra sulungnya, Gibran sebagai Wapres.
Bandingkan dengan Pak Harto yang perlu waktu 31 tahun lebih untuk sekadar menjadikan putri sulungnya sebagai Mensos. Hanya Mensos. Ya, hanya Mensos, jauh dari Wapres apalagi Presiden.
Tidak itu saja. Hanya dalam waktu kurang dari 10 tahun, Jokowi juga mampu mengantarkan anak dan menantunya menjadi walikota.
Gibran menjadi Walikota Surakarta, Jawa Tengah, sang menantu Bobby Nasution menjadi Walikota Medan, Sumatera Utara.
Kini Bobby bahkan bersiap menjadi calon gubernur Sumut dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 pada 27 November mendatang.
Jokowi juga mampu mengantarkan putra bungsunya, Kaesang Pangarep menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Infonesia (PSI) yang kini sedang bersiap ikut Pilkada 2024 di Jakarta atau Jawa Tengah.
Dus, Jokowi begitu sempurna membangun dinasti politiknya meskipun baru berkuasa sembilan tahun lebih.
Bandingkan dengan Pak Harto yang meskipun berkuasa 32 tahun tapi anak-cucunya “cuma” jadi pengusaha, tidak ada yang duduk di pemerintahan.
Bahkan mendirikan parpol pun, seperti Tutut dan Tommy Soeharto, selalu gagal dan tak pernah berhasil mengantarkan mereka ke panggung kekuasaan.
Mengapa Cak Imin tiba-tiba membandingkan Jokowi dengan Soeharto?
Mungkin ia tak ingin melihat Jokowi kebablasan dalam membangun dinasti politik. Ia tak ingin melihat Jokowi terninabobokkan oleh kekuasaan yang membuatnya lupa daratan. Jika kebablasan, bisa jadi Jokowi akan tumbang seperti Soeharto.
Betapa perkasanya Soeharto saat itu. Bahkan ia baru saja diangkat menjadi Presiden untuk ketujuh kalinya dalam Sidang Umum MPR 1997. Hanya setahun kemudian ternyata ia harus tumbang.
Begitulah kalau rakyat sudah tidak menghendakinya. Para punggawa terdekatnya pun ramai-ramai mundur.
Mereka tiba-tiba menjelma menjadi Brutus yang berkhianat dan menikam Julius Caesar dari belakang.
Termasuk Harnoko yang dua periode menjadi Menteri Penerangan. Saat menjadi Ketua DPR/MPR, Harmoko yang meminta Soeharto maju lagi.
Tapi dia pula yang minta mentor politiknya itu mundur dengan dalih memenuhi tuntutan mahasiswa dan rakyat.
Memang, vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Jokowi pun diingatkan demikian. Jangan berlebihan. Jangan lupa daratan. ***