'Analisis Sukses atau Tidaknya Pelantikan Presiden Prabowo-Gibran'
Oleh: Agusto Sulistio
Mantan Kepala Aksi Advokasi PIJAR era 90-an
Proses transisi kekuasaan adalah momen krusial dalam sebuah negara, termasuk Indonesia, yang baru saja menyelesaikan Pemilihan Presiden 2024.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang Pilpres dengan mayoritas suara.
Sesuai konstitusi, Prabowo-Gibran akan menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2024-2029.
Menjelang pelantikan yang dijadwalkan pada 20 Oktober 2024, muncul pertanyaan mengenai kesiapan transisi ini.
Masa transisi selama tujuh bulan, dari pengumuman hasil Pilpres pada 20 Maret 2024 hingga pelantikan, memerlukan koordinasi yang matang.
Transisi dari pemerintahan Jokowi-Ma’ruf ke Prabowo-Gibran membutuhkan perhatian terhadap berbagai peristiwa politik yang dapat mempengaruhi kesiapan pelantikan.
Stabilitas politik dan keamanan yang kondusif sangat penting dalam persiapan transisi kekuasaan. Kesiapan ini harus mendukung proses pelantikan agar berjalan aman, lancar, dan sesuai jadwal.
Berkaca Pada Kegagalan Transisi di Filipina
Untuk melihat sejauh mana proses transisi kekuasaan dari Jokowi ke Prabowo, penting kita untuk melihat sejauh mana kondisi sosial polarisasi masyarakat antara pendukung dan penentang Prabowo-Gibran.
Hubungan antar partai politik, terutama antara pendukung dan oposisi. Adanya ketidakstabilan ekonomi global, termasuk inflasi dan fluktuasi harga komoditas yang diperburuk tingkat pengangguran, kemiskinan dan tingkat kriminalitas yang meningkat.
Adanya potensi ancaman keamanan dan resiko kerusuhan dan kekerasan di daerah-daerah jelang Pilkada mendatang.
Guna kelancaran pelantikan Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober mendatang, perlu diambil langkah-langkah preventif guna mengelola potensi konflik dan menjaga stabilitas sosial, politik, ekonomi, dan keamanan.
Untuk menganalisis secara objektif terkait sejauh mana kesiapan transisi kekuasaan dari Jokowi ke Prabowo, penulis mencoba menyoroti beberapa kondisi faktual di negara kita saat ini dengan melihat sejarah kegagalan transisi kekuasaan di negara demokrasi di Asia Tenggara yang memiliki kesamaan karakteristik pilitik dengan negara kita, yakni negara Filipina.
Tahun 2001, Filipina mengalami kegagalan transisi kekuasaan yang signifikan ketika Presiden Joseph Estrada dipaksa mundur setelah gerakan People Power kedua.
Hal itu diakibatkan oleh beberapa faktor, salah satunya adanya tuduhan korupsi yang meluas terhadap Estrada yang memicu protes besar-besaran, krisis keuangan Asia memperburuk kondisi ekonomi negara, meningkatkan ketidakpuasan publik. Terjadi kolaborasi antara militer dan gerakan sipil menekan pemerintah untuk mundur.
Contoh fakta yang terjadi di Filipina saat itu, ketidakstabilan ekonomi, seperti inflasi tinggi atau pengangguran yang meningkat yang menyebabkan Filipina mengalami krisis ekonomi pada akhir 1990-an yang memperburuk situasi politik.
Ancaman dari kelompok teroris atau pemberontak, adanya konflik dengan kelompok pemberontak di Filipina Selatan.
Kerusuhan atau kekerasan yang dipicu oleh ketidakpuasan terhadap hasil pemilu di Filipina saat itu yang menimbulkan tindakan kekerasan dibeberapa wilayah.
Kemudian adanya upaya pihak yang tidak puas dengan hasil pemilu untuk merusak legitimasi pemerintahan terpilih, dan Filipina sering menghadapi tantangan dari politisi yang memanipulasi proses hukum atau politik yang kemudian menggagalkan transisi kekuasaan.
Kondisi Faktual di Indonesia Jelang Pelantikan Otober 2024
Dari gambaran kegagalan transisi kekuasaan yang terjadi di Filipina, dapat kita iventarisir beberapa variabel penting dari kondisi di Filipina saat itu yang paralel dengan kondisi faktual saat ini jelang pelantikan Prabowo-Gibran pada 20 Oktober 2024 mendatang.
Keadaan sosial, politik, ekonomi, hukuk dan keamanan yang berkembang saat ini dapat dikatakan dalam keadaan tidak stabil, dan ini berpotensi menghambat jalannya proses transisi kekuasaan dengan baik dan lancar, jika situasi tersebut tidak terkendali.
Dari pengamatan pemberitaan di media sosial, dapat kita lihat bersama telah terjadi peningkatan eskalasi diberbagai aspek persoalan, dan berdampak meningkatknya fokus perhatian publik / netizen, baik kelompok yang pro dan kontra.
Analisa Potensi Hambatan Proses Transisi Kekuasaan
Beberapa faktor dapat menghambat transisi kekuasaan dari Jokowi ke Prabowo pada Oktober mendatang.
Di Papua, kekerasan yang meningkat dan pembakaran alat transportasi TNI-POLRI beberapa hari lalu di Puncak Jaya menunjukkan gangguan keamanan yang bisa menyerap sumber daya dan menciptakan ketidakstabilan.
Kasus pembunuhan Vina dan Eki di Cirebon serta perpecahan publik/netizen akubat pro kontra Pegi Setiawan dan Hakim Eman Sulaeman, yang ditimbulkan dapat mengalihkan fokus dari persiapan pelantikan, begitu pula dengan ketidakpuasan terhadap sistem peradilan yang memicu protes.
Pertemuan beberapa oknum NU dengan Presiden Israel juga memperuncing perpecahan di kalangan kelompok Islam di Indonesia, yang dapat menambah ketegangan sosial dan konflik yang lebih tajam, terlebih saat ini muncul pro kontra dari kelompok pendukung Habaib dan Kyai Nusantara terkait sejarah kemerdekaan Indonesia dan silsilah keturunan Nabi Muhammad.
Konflik akan berpotensi menjadi lebih besar sebab keduanya adalah umat Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia dan Islam terbesar di dunia.
Selain itu, ketidakpuasan terhadap penanganan kasus hukum dan korupsi serta potensi konflik politik menjelang Pilkada terkait dinasti politik, dll bisa mengganggu transisi.
Isu keamanan siber dan potensi gangguan dari pro-kontra judi online juga penting untuk diwaspadai, terutama jika terjadi pelanggaran yang melibatkan data publik.
Kenaikan harga listrik dan BBM serta berita kriminalitas yang meningkat di media sosial menambah kekhawatiran publik.
Penurunan daya beli masyarakat, munculnya warung liar, dan kegelisahan pedagang terkait operasi barang-barang impor ilegal mencerminkan krisis ekonomi yang lebih luas.
Selain itu, rencana pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) mengalami tantangan dengan minimnya investor dan kegagalan proyek ambisi Jokowi, diperburuk oleh keputusan Jokowi mengenai Hak Guna Usaha (HGU) selama 190 tahun bagi para investor yang berminat.
Semua faktor ini dapat menyebabkan ketidakstabilan yang mengancam kelancaran pelantikan presiden dan wakil presiden.
Untuk memastikan transisi kekuasaan berjalan lancar, maka diperlukan keseriusan pemerintah untuk mengantisipasi dan mengelola potensi ancaman ini secara efektif.
Kalibata, Jakarta Selatan
Jumat, 19 Juli 2024