DEMOCRAZY.ID - Total utang pemerintah per 30 April 2024 telah mencapai Rp 8.338,43 triliun.
Sejak periode kedua Presiden Joko Widodo menjabat, total utang itu telah bertambah sekitar Rp 3.551,85 triliun, sebab posisi utang terakhir pada 2019 nilainya telah mencapai Rp 4.786,58 triliun.
Kemudian pada 2019, utang itu terus bertambah. Nilainya melompat menjadi Rp 6.079,17 triliun atau naik 27,01% pada 2020.
Lalu, utang kembali bertambah pada 2021, posisinya menjadi Rp 6.913,98 triliun, dan pada 2022 tembus Rp 7.776,74 triliun. Kemudian, utang pada 2023 mencapai Rp 8.163,07 triliun.
Dari catatan pada 2019 hingga saat ini, total utang pemerintah itu mayoritas berasal dari penerbitan surat berharga negara (SBN).
Hingga akhir April 2024 total penerbitan SBN sebesar Rp 7.333,11 triliun, sisanya berasal dari pinjaman yang sebesar Rp 1.005,32 triliun.
Untuk SBN, terdiri dari penerbitan berdenominasi rupiah sebesar Rp 5.899,2 triliun, dan berdenominasi valuta asing atau valas Rp 1.433,90 triliun.
Adapun pinjaman mayoritas berasal dari pinjaman luar negeri Rp 969,28 triliun, dan pinjaman dalam negeri Rp 36,04 triliun.
Berdasarkan bentuk mata uangnya, utang dalam dolar AS telah sebesar Rp 1.713,26 triliun, euro Rp 388,45 triliun, yen Jepang Rp 270 triliun, dan lainnya Rp 30,92 triliun.
Mayoritas dalam bentuk mata uang rupiah sebesar Rp 5.935,42 triliun, dari total utang per 30 April 2024 Rp 8.338,43 triliun.
Meski total utang terus membengkak, namun rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) turun empat tahun terakhir, meski rasio utang terhadap PDB terbaru masih jauh lebih tinggi dari 2019. Turunnya rasio utang terhadap PDB itu terjadi karena PDB Indonesia sendiri terus meningkat.
Pada 2019, rasio utang terhadap PDB 30,2% karena PDB saat itu Rp 15.834 triliun. Lalu, pada 2020, rasionya 39,4% karena PDB Indonesia pada tahun Pandemi Covid-19 itu turun menjadi Rp 15.434 triliun, sedangkan pada 2021 rasionya 40,7% karena PDB nya Rp 16.971 triliun.
Rasio utang terhadap PDB mulai turun menjadi 39,7% pada 2022. Ini karena PDB saat itu tumbuh mencapai Rp 19.588 triliun.
Berlanjut pada 2023, rasionya menjadi 39,2% karena PDB saat itu Rp 20.892 triliun. Lalu, per 30 April 2024, rasionya menjadi hanya 36,5% dengan PDB Rp 22.830 triliun.
Adapun untuk 2025, pemerintah memastikan pengelolaan utang akan dilakukan lebih berhati-hati, sebab dunia kini dihadapkan pada tren suku bunga acuan yang sangat tinggi, yang berpotensi memengaruhi beban biaya pinjaman utang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pengelolaan utang yang hati-hati itu tercermin dari desain defisit APBN 2025 yang rendah dan masih di bawah batas aman defisit sebesar 3%, yakni hanya di kisaran 2,45-2,82% dari produk domestik bruto (PDB), dan keseimbangan primer defisit 0,3-0,61% dari PDB.
Sri Mulyani mengatakan dalam menentukan besaran defisit itu, pemerintah turut memperhatikan kondisi era suku bunga tinggi di dunia, serta pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Dia mengatakan kedua kondisi tersebut akan mempengaruhi defisit APBN.
"Kalau higher for longer dan exchange rate mengalami tekanan, pasti akan mempengaruhi pada belanja terutama belanja pembayaran bunga utang," kata dia
"Karena itu, kita harus sangat hati-hati dalam mengelola utang saat tren global seperti ini," kata Sri Mulyani.
Dalam rancangan awal APBN 2025, atau APBN saat mulai beroperasinya pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto, selain defisit pada APBN yang dirancang berkisar antara 2,45-2,82% dari Produk Domestik Bruto (PDB), rasio utang dirancang sedikit naik dari kondisi saat ini, yakni pada kisaran 37,98% hingga 38,71%.
Sumber: CNBC