HOT NEWS PERISTIWA

'Tragedi Berdarah di Perguruan Cikini'

DEMOCRAZY.ID
Juni 01, 2024
0 Komentar
Beranda
HOT NEWS
PERISTIWA
'Tragedi Berdarah di Perguruan Cikini'
'Tragedi Berdarah di Perguruan Cikini'


'Tragedi Berdarah di Perguruan Cikini'


Presiden Sukarno nyaris terbunuh dalam penyerangan granat di Cikini, 30 November 1957. Pelakunya 4 orang simpatisan DI/TII.


Kemeriahan acara terlihat dalam acara ulang tahun ke-15 Sekolah Rakyat (SR) Perguruan Cikini, di Jalan Cikini Raya No. 76, Jakarta Pusat, pada sore hari, Sabtu, 30 November 1957. Semua tamu hadir tumplek di sana, termasuk para siswa, guru, pengurus yayasan, orang tua murid, dan tamu undangan lainnya.


Bahkan warga di sekitar kawasan Cikini terlihat berjejalan di sepanjang jalan hingga di depan pagar Perguruan Cikini (Percik). Wajah mereka tampak semringah, karena akan melihat dari dekat wajah sang proklamator kemerdekaan sekaligus Presiden Republik Indonesia, Sukarno.


Warga makin riuh ketika dari kejauhan terdengar deru suara sepeda motor Harley Davidson yang dikendarai anggota Detasemen Kawal Pribadi (DKP) dan jeep Korps Polisi Militer lewat ketika mengawal iring-irigan mobil Kepresidenan. Mereka kian menyemut, berusa melihat lebih dekat lagi.


Sukarno tersenyum saat ke luar dari mobil dinasnya, Chrysler Crown Imperial, berpelat nomor ‘Indonesia 1’. Mobil itu merupakan hadiah dari Raja Arab Saudi, Saud bin Abdulaziz Al Saud, ketika Sukarno menunaikan ibadah haji pada 1955. Dia menyalami semua orang yang hadir di sana, sambil melambaikan tangan kepada warga masyarakat.


Sukarno datang bukan sekadar memenuhi undangan dari Kepala Yayasan Percik, Sumadji Muhammad Sulaimani dan Direktur Percetakan Gunung Sari, Johan Sirie. Tapi sebagai orang tua di mana kedua anaknya bersekolah di SR Percik, yakni Guntur Sukarnoputra, kala itu berumur 13 tahun, dan Megawati Sukarnoputri, kala itu berusia 10 tahun.


Sukarno disambut meriah di dalam gedung, khususnya di lantai dua yang menjadi pusat acara. Dia melihat Guntur dan Megawati yang tengah bertugas menjadi penjaga stand mainan anak-anak. Sukarno juga melihat berbagai macam pertunjukan musik, kesenian, kerajinan tangan anak-anak, mainan, hingga penggalangan dana.


Walau malam sebelumnya Jakarta diguyur hujan, hal itu tak menyurutkan kemeriahan acara. Bahkan masyarakat yang berkumpul di luar pun tak terusik dari tempatnya. Sukarno dan tamu lainnya semakin larut dalam kegembiraan menyaksikan kegiatan anak-anak, melihat pameran, bazaar, dan penggalangan dana.


Menjelang acara selesai, Sukarno mulai beranjak meninggalkan tempat itu untuk pulang ke Istana pada pukul 21.00 WIB. Guntur dan Megawati tak ikut pulang bersama, karena, selain masih menjadi pejaga stand, keduanya akan menonton film bersama anak-anak lainnya di akhir acara tersebut.


Sukarno diantar menuju pelataran gedung Percik oleh Sumadji dan Ketua Panitia Acara HUT Percik, Ny Sudardjo. Anggota personil DKP sigap membuka pintu mobil kepresidenan. Sambil melayangkan tangan menyapa anak-anak, undangan, dan warga, Sukarno bergegas akan masuk ke dalam mobilnya.


Blaaaaaarrrr….! Tiba-tiba suara memekakkan terlinga terdengar. Suara ledakan itu disertai bunyi suara jeritan orang-orang yang ada di sekitar tempat itu. Ternyata suara itu berasal dari ledakan granat yang dilemparkan seseorang ke arah mobil Sukarno. Beruntung dua orang pengawal dari DKP melindungi Sukarno dan menariknya keluar untuk sembunyi.


Tapi serpihan granat menyebar, mencabik-cabik orang tak berdosa yang ada di sekitar pelataran sekolah Percik. Darah dan potongan daging menyembur di sana-sini. Suara kemeriahan berubah menjadi suara jeritan dan tangisan yang memilukan dan mencekam.


Para siswa berhamburan ke dalam gedung sekolah dan diikuti hadirin lainnya. Sebagian lagi masuk ke dalam selokan. Beberapa detik kemudian terdengar ledakan granat kedua di sebalah kiri gedung Percik. Disusul kemudian ledakan granat ketiga di sisi kanan gedung Percik. Korban semakin banyak berjatuhan.


Anak-anak dan orang dewasa yang luput dari serpihan ledakan granat berhamburan menyelamatkan diri masuk ke dalam gedung sekolah. Sedangkan sebagian lainnya yang berada di lantai dua, mengira suara ledakan itu berasal dari petasan atau kembang api untuk melepas kepergian Presiden Sukarno menuju Istana. Guntur dan Megawati pun berpikiran seperti itu.


Namun, begitu Guntur dan beberapa orang melihat suara jeritan dari jendela lantai dua, mereka tersadar itu berasal dari ledakan granat. “Terdengar 3-4 ledakan lagi. Kemudian suasana benar-benar jadi panik dan semrawut sungsang sumbel. Jeritan-jeritan histeris dari umum. Ya, orang-orang tua, anak-anak, ibu-ibu dan lain sebagainya,” kata Guntur Sukarnoputra dalam bukunya ‘Bung Karno, Bapakku, Kawanku, Guruku’ terbitan PT Delta-Rohita pada 1978.


Semua berlarian dari lantai dua. Guntur sempat melompati peti-peti minuman limun untuk bersembunyi. Dia mencari adiknya, Megawati, dan hendak menuju lantai bawah mencari ayahnya. Tapi hal itu dicegah oleh Sunardi, anggota DKP, dan membawanya ke dalam mobil lain untuk pulang bersama Megawati menuju Istana.


Guntur baru tahu ayahnya selamat, ketika sampai Istana. Ayahnya tiba di Istana lebih belakangan. Tangannya terlihat terluka. Sukarno berhasil diselamatkan dua anggota DKP pimpinan Komisaris Besar Mangil Martodjojo, yaitu Aip Sudijo dan Oding.


“Bukan kena granat! Kena kawat duri! Ho..ho..ho.. Waktu mbrobos (terjang) pagar rumah di depan sekolahmu. Aku kecantol kawat durinya. Bapak disembunyikan Kak Dijo dan Oding,” ungkap Sukarno kepada Guntur ketika sampai di Istana.


Sukarno berhasil dilindungi dan dibawa lari oleh Sudijo dan Oding. Tapi nahas, Oding malah terluka kena serpihan granat di paha kakinya cukup parah. Sementara, mobil kepresidenan rusak dan mogok karena kena ledakan. Sukarno berhasil dibawa ke Istana menggunakan mobil lainnya.


“Bapak pasrah terserah kehendak Tuhan… Kasihan mereka-mereka yang tak berdosa ikut jadi korban,” ucap Sukarno lagi kepada Guntur.


Tragedi pelemparan beberapa granat ke Perguruan Cikini merupakan upaya pertama kali pembunuhan kepada Sukarno sejak menjabat sebagai Presiden RI. Setidaknya ada 10 orang tewas, termasuk anak-anak. 100 orang lainnya mengalami luka-luka dan dilarikan ke Rumah Sakit Cikini, Rumah Sakit St Carolus dan RS Cipto Mangunkusumo.


“Astagfirullah….,” ucap Fatmawati panik ketika dikabari terjadi ledakan granat oleh seorang ajudan, yang meminta membatalkan untuk datang menyusul ke acara di Perguruan Cikin tersebut.


“Apakah para penggranat itu tidak menyadari bahwa di sana banyak anak-anak? Keji sekali mereka itu,” kata Fatmawati lagi seperti diutarakan wartawan senior Kadjat Adra’I dalam bukunya ‘Suka Duka Fatmawati Surakno’ terbitan Yayasan Bung Karni pada 2008.


Walau senang mendengar kabar suaminya dan kedua anaknya selamat dalam aksi penyerangan tersebut, Fatmawati bersedih hati mendengar banyaknya korban akibat ledakan granat. Dia mendengar aksi pelemparan granat orang yang tak berprikemanusiaan dan kejam tersebut.


Fatmawati tak mengerti kenapa umumnya orang yang membenci Sukarno justru yang selama ini berteman dekat dengan Bung Karno. Dia akhirnya membenarkan anggapan bahwa politik itu jahat dengan menghalalkan berbagai cara.


“Mereka dapat bertindak keji manakala hati nurani dan jiwa kemanusiaannya ditinggalkan,” terang Fatmawati kepada Kadjat.


Tiga hari pasca pelemparan granat yang menimbulkan begitu banyak korban, pihak keamanan menangkap 4 orang pelaku. Keempat pelaku merupakan penghuni Asrama Sumbawa yang berlokasi di kawasan Cikini. Mereka adalah Jusuf Ismail (24), Saadon bin Muhamamd (18), Tasrif bin Husen (23) dan Mohammad Tasim bin Abubakar (22).


Dari hasil pemeriksaan dan penyidikan, keempatnya merupakan simpatisan DI/TII pimpinan Sekarmadjo Maridjan Kartosuwiryo. Pihak keamanan pun mencurigai keterlibatan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, Kolonel Zulkifli Lubis, sebagai otak di balik serangan granat.


Fakta itu muncul dalam persidangan di Pengadilan Militer pada 15 Agustus 1958. Namun, rupanya Zulkifli lolos dari tuduhan tersebut, karena Jusuf Ismail mengakui bahwa dirinya bersama teman-temannya berinisiatif untuk melakukan pelemparan granat.


Karenanya, Jusuf, Saadon dan Tasrif dijatuhi vonis hukuman mati dan baru dieksekusi mati pada 28 Mei 1960. Sementara, Tasim divonis hukuman 20 tahun penjara, karena perannya menyimpan dan mendistribusikan granat kepada tiga rekannya.


Sumber: DetikX

Penulis blog