EKBIS

Sri Mulyani & Bos BI Buka Suara, Ini Sebenarnya Alasan Rupiah Anjlok!

DEMOCRAZY.ID
Juni 25, 2024
0 Komentar
Beranda
EKBIS
Sri Mulyani & Bos BI Buka Suara, Ini Sebenarnya Alasan Rupiah Anjlok!

Sri Mulyani & Bos BI Buka Suara, Ini Sebenarnya Alasan Rupiah Anjlok!


DEMOCRAZY.ID - Narasi ekonomi Indonesia baik-baik saja sering kali muncul dari mulut pemerintah belakangan waktu. Meski pada kenyataannya banyak sekali persoalan di dalam negeri yang langsung berdampak ke masyarakat.


Salah satunya rupiah. Tren pelemahan masih berlanjut dan mendorong dolar Amerika Serikat (AS) menembus level Rp16.400.


Benar ada faktor eksternal menjadi penyebab. Dua di antaranya adalah ketidakpastian kebijakan suku bunga acuan AS (fed fund rate) dan ketegangan geopolitik di beberapa kawasan.


Dari dalam negeri turut mendorong pelemahan rupiah, yaitu sentimen negatif dari sisi fiskal. Investor khawatir pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto akan ugal-ugalan. 


Seiring dengan rumor defisit APBN lewati batas dari UU Keuangan Negara yaitu 3% PDB dan rasio utang mencapai 50% PDB.


Hal ini kemudian membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) gelisah. Usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pekan lalu, Jokowi memanggil petinggi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).


Hadir Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa, Gubernur BI Perry Warjiyo, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Mahendra Siregar.


Lalu apa sebenarnya yang terjadi dengan rupiah, simak penjelasan Sri Mulyani dan Perry Warjiyo berikut!


Dalam pertemuan selama 1,5 jam kemarin sore itu, Sri Mulyani mengaku telah secara gamblang menjelaskan dinamika pasar keuangan atau market saat ini kepada Jokowi. 


Termasuk faktor sentimen yang memengaruhi pelaku pasar keuangan ihwal proses penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun anggaran 2025 yang diduga banyak pihak akan membengkak dari sisi rasio utangnya.


"Menyampaikan kepada bapak presiden berbagai perkembangan terkini dinamika market juga dari sisi perkembangan pembahasan APBN kita dengan DPR, karena kita dalam penyusunan RAPBN 2025," ucap Sri Mulyani.


Sri Mulyani mengungkapkan, tekanan yang terjadi pada rupiah beberapa hari terakhir sebetulnya disebabkan oleh faktor global, seperti kuatnya perekonomian AS yang menyebabkan bank sentralnya diduga banyak pelaku pasar masih akan sulit menurunkan suku bunga acuan Fed Fund Rate. 


Selain itu, ada perbedaan arah suku bunga negara-negara maju karena bank sentral Eropa kini malah menurunkan suku bunga acuannya.


Adapun dari sisi faktor dalam negeri, khususnya faktor-faktor fundamental perekonomian Indonesia, ia tegaskan tidak ada yang menjadi penyebab lemahnya pergerakan kurs rupiah. 


Sri Mulyani menyodorkan bukti dari baiknya angka indeks penjualan riil yang mencerminkan konsumsi masyarakat masih akan kuat, demikian juga angka Mandiri Spending Index, Indeks Keyakinan Konsumen, konsumsi semen, listrik, hingga Purchasing Manager's Index yang masih ekspansif.


Karenanya, ia bahkan tak ragu menyebutkan bahwa meski tekanan pasar keuangan global kini tengah kuat-kuatnya menyebabkan mata uang berbagai dunia termasuk rupiah melemah terhadap dolar AS, serta aliran modal asing yang masih kerap deras keluar, perekonomian Indonesia masih akan tumbuh kuat pada kuartal II-2024 sebagaimana saat kuartal I-2024 yang tumbuh 5,11%.


"Ini menjadi pondasi yang cukup baik untuk memproyeksikan pertumbuhan ekonomi kita di kuartal II ini yang masih terjaga seperti yang terjadi di kuartal I. Kredit perbankan juga mengalami kenaikan dalam hal ini jumlah ekspansi kreditnya baik kredit investasi, modal kerja, konsumsi," tegas Sri Mulyani.


APBN sebagai instrumen kebijakan untuk menjaga stabilitas perekonomian nasional ia tegaskan juga akan tetap dijaga pemerintah ke depannya. Pada tahun ini saja ia pastikan defisitnya akan sesuai dengan batasan maksimum yang telah dirancang sebesar 2,8%, walaupun sebagaimana diketahui mulanya target defisit 2024 yang disepakati dengan DPR hanya sebesar 2,29% dari PDB.


Meski defisit akan mencapai batas maksimum pada tahun ini, ia tegaskan dari sisi pembiayaan melalui utang tidak akan membengkak, sebab pemerintah memiliki opsi untuk memanfaatkan sisa anggaran lebih atau SAL pada 2023 yang mencapai Rp 100 triliun. Dengan begitu, ia pastikan surat utang negara atau SBN masih mampu dijaga tingkat imbal hasilnya dengan baik.


"Seperti diketahui untuk defisit tahun ini diperkirakan ada di maksimum 2,8%, pembiayaan kita jaga baik menggunakan sisa anggaran lebih atau SAL tahun lalu yang mencapai Rp 100 triliun, kita gunakan utk menurunkan kebutuhan pembiayaan melalui market dan ini bisa menjaga yield SBN," tutur Sri Mulyani.


Untuk APBN 2025 yang kini tengah disusun bersama DPR ia pastikan juga akan tetap didesain sesuai rentang yang telah ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah atau RKP tahun depan dan Kerangka Ekonomi serta Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) sebesar 2,21%-2,8%. Rentang defisit yang lebar ini ia tegaskan untuk mengakomodir program-program presiden terpilih Prabowo Subianto.


"Pesannya adalah APBN tetap dijaga secara hati-hati karena ini adalah instrumen penting bagi pemerintahan siapa saja ke depan juga. Dan juga dari sisi sustainabilitas dan komitmen defisit untuk dijaga di level 3% dengan debt to GDP ratio tetap dijaga pada level affordable dan prudent, sehingga bisa menjadi pondasi stabilitas pemerintahan baru ini akan terus kita komunikasikan," ucapnya.


Sementara itu, Gubernur BI Perry Warjiyo telah menjelaskan kepada Presiden Jokowi bahwa pelamahan yang terjadi beberapa hari terakhir hingga bergerak di atas Rp 16.400 memang banyak dipicu oleh faktor sentimen jangka pendek, bukan disebabkan faktor fundamental pembentuknya. Sebab, ia menekankan, kalau dilihat dari faktor fundamentalnya rupiah seharusnya menguat.


"Dilihat dari faktor fundamental seharusnya nilai tukar rupiah kita itu akan menguat. Bu Menteri sampaikan fundamental nya apa? Inflasi kita lebih rendah di 2,8%, pertumbuhan kita juga tinggi 5,1%. Kredit juga bertambah 12%, demikian juga kondisi kondisi ekonomi kitaa, termasuk juga imbal hasil investasi yang baik," ucap Perry.


Adapun faktor sentimen yang menekan rupiah saat ini ia tegaskan kepada Jokowi di antaranya masih pusingnya pelaku pasar keuangan terhadap kemungkinan penurunan suku bunga acuan The Federal Reserve. BI kata Perry memperkirakan penurunannya masih berpeluang terjadi pada tahun ini, namun memang hanya sekali pada akhir 2024.


Selain faktor sentimen global, di dalam negeri ia tegaskan yang memberi pengaruh kuat ialah tingginya kebutuhan dolar di sektor korporasi pada kuartal II-2024, misalnya untuk repatriasi hingga pembayaran dividen. Namun, pada kuartal III-2024 faktor sentimen ini ia pastikan tidak akan menyebabkan rupiah kembali melemah karena kebutuhan dolar AS untuk itu sudah berkurang.


Sentimen terakhir dari dalam negeri yang berpengaruh kuat terhadap pelemahan rupiah, menurut Perry ialah masalah persepsi pelaku pasar keuangan terhadap keberlanjutan fiskal ke depan atau pada 2025. "Seperti yang dibilang Bu Sri Mulyani, masalah persepsi sustainabilitas fiskal ke depan, itu membuat sentimen kemudian menjadi tekanan nilai tukar rupiah," papar Perry.


Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah selama ini pun Perry tekankan kepada Jokowi bahwa BI selalu di pasar untuk intervensi. Sebab, cadangan devisa atau cadev yang ada di BI menurutnya masih sangat lebih dari cukup yaitu US$ 139 miliar untuk dimanfaatkan sebagai alat intervensi.


"Itu intervensi dari tunai, forward, maupun juga bagaimana terhadap stabilitas SBN. Kami bisa beli SBN, dari pasar sekunder. Kami juga akan koordinasikan juga dengan Kemenkeu, sekuritas kami rupiah untuk jangka pendek untuk menarik inflow. Supaya outflow tak terus-terusan dan perkuat stabilitas rupiah," ungkap Perry.


Aliran modal asing untuk menjaga pasokan dolar AS di dalam negeri pun Perry pastikan hingga saat ini masih terjadi, seperti salah satunya melalui pembelian di instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia atau SRBI yang telah mencapai Rp 179,86 triliun. Ditambah dengan penempatan dolar hasil ekspor atau DHE di instrumen keuangan dalam negeri telah mencapai Rp 13,9 miliar.


"Kesimpulannya rupiah secara fundamental trennya, jangan tanya hari per hari loh, ini tren loh, rupiah trennya akan menguatkan karena inflasi rendah, growth bagus, faktor fundamental itu bagus. Dari hari ke hari, bulan ke bulan, minggu ke minggu faktor sentimen itu akan pengaruhi gerakannya," kata Perry.


Sumber: CNBC

Penulis blog