DEMOCRAZY.ID - Pengamat politik dan Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari menilai pengaruh Joko Widodo terhadap kabinet pemerintahan Prabowo Subianto akan sangat besar.
Apalagi, menurut Qodari, hubungan antara Presiden Jokowi dan Presiden Terpilih Prabowo Subianto yang terjalin selama ini, sangat solid.
Saat podcast di Gedung Tribun Network, Jakarta, Selasa (4/6/2024), Qodari ditanya oleh Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra terkait konfigurasi kabinet ke depan ini.
Menurut Qodari, dirinya membagi pemerintahan dua tahap.Pertama, sekarang sampai dengan bulan Oktober. Kedua, pasca Oktober 2024.
Berikut penjelasannya.
Pada hari ini, incharge masih Pak Jokowi. Oktober yang incharge adalah Pak Prabowo.
Nah sekarang kata kuncinya adalah bagaimana antara Pak Jokowi dengan Pak Prabowo ini terjadi sinkronisasi. Bukan transisi ya. Sinkronisasi.
Saya perbedakan sinkronisasi dengan transisi. Transisi ya. Transisi itu adalah putusnya satu episode dengan episode yang lain.
Ya. Contohnya, 2004, Ibu Mega. Putus. Putus seputus-putusnya. Sampai sekarang nggak masuk. 25 tahun. Ibu Mega dulu sempat mengambil keputusan mengangkat panglima TNI. Namanya Ryamizard Ryacudu.
Namun dibatalkan oleh Pak SBY. Itu salah satu contoh transisi yang putus. Nggak bisa ketemu. Begitu juga tahun 2014, dari Pak SBY ke Pak Jokowi.
Bukan Pak SBY dengan Pak Jokowi yang musuhan. Tapi karena Pak Jokowi berasal dari PDIP. Putusnya tetap dengan Ibu Mega.
Ini perlu rumah transisi. Nah, karena itulah kemudian apa yang dikerjakan oleh Pak SBY dengan yang dikerjakan oleh Pak Jokowi. Notabene banyak yang nggak lanjut. Dan Pak Jokowi ketika memulai pemerintahan itu betul-betul dari nol.
Perlu adaptasi 2 bulan, 3 bulan, 6 bulan. Jangan-jangan beberapa titik itu sampai setahun. Tentu sayang karena waktunya itu terbuang.
Nah, pada hari ini ceritanya lain. Ini bukan transisi. Ini sinkronisasi. Kenapa? Karena Pak Jokowi dan Pak Prabowo satu tim.
Mereka nggak bermusuhan. Bahkan sangat berkawan, bertemanan. Yang kedua, Pak Jokowi akan membantu Pak Prabowo. Dan Pak Prabowo membantu Pak Jokowi. Saling membantu.
Pada hari ini misalnya ada Pak Dasco dan kawan-kawan tim sinkronisasi.
Sudah ketemu dengan Menteri Keuangan. Sementara dari Pak Jokowi ada Grace Natalie. Yang barangkali. Kira-kira yang akan membantu proses transisi ini.
Nah nanti kalau bayangan saya, antara Grace dengan Pak Dasco ini akan komunikasi dengan intens. Bukan tabrakan loh ya. Kan ada yang bilang tabrakan. Enggak, menurut saya justru ini bagus. Karena masing-masing ada inisiatif.
Pak Prabowo ada inisiatif. Kalau memang sinkronisasi itu inisiatif Pak Prabowo. Dari Pak Jokowi juga ada inisiatif.
Bisa nggak kita membayangkan inisiatif begitu? Terjalin antara SBY dan Mega. Nggak mungkin. Jadi ini harus kita syukuri.
Kita harus syukuri. Karena apa? Artinya kan pasti membutuhkan dari 2 sisi. It takes two to tango.
Jadi baik APBN-nya, alokasinya, programnya, susunan kementeriannya. Kita dengar akan ada perubahan komposisi kementerian.
Nomenklaturnya juga mungkin berubah. Itu kan perlu orang yang duduk bareng-bareng untuk mensinkronkan itu. Jadi singkatnya dari sekarang sampai Oktober, komandonya di Pak Jokowi.
Tapi setelah itu komandonya di Pak Prabowo. Nah bottom line lebih daripada itu, menurut saya, antara Pak Jokowi dengan Pak Prabowo ini banyak kesamaan.
Kesamaan apa? Pertama, soal agenda Indonesia Maju.
Sama-sama obsesinya Indonesia Maju. Pak Jokowi itu agenda Indonesia Maju. Pak Prabowo, Indonesia Maju.
Tahun 2009, namanya Indonesia Macan Asia. Itu Indonesia emas itu. Itu Indonesia Maju. Dalam judul yang berbeda.
Pak Prabowo dalam bukunya selalu mengatakan tentang kekayaan Indonesia. Sebesar- besar kemakmuran rakyat Indonesia.
Yang implementasi, yang operasionalisasi, Pak Jokowi. Dengan konsep hilirisasi. Itu kan optimalisasi kekayaan sebesar-besar kemahmuran rakyat kan. Kalau bahan mentah nilainya 3. Kalau bahan jadi nilainya 30. 10 kali lipat.
Belum lagi nanti kalau barang industri bisa naik jadi 300. Itu yang meletakkan dasar-dasarnya yang praktikannya adalah Pak Jokowi.
Jadi antara Pak Jokowi dengan Pak Prabowo ini menurut saya inilah yang namanya sebetulnya dwi tunggal.
Tahun 1945 kita punya dwi tunggal. Soekarno-Hatta. 2024 kita punya dwi tunggal. Jokowi Prabowo. Prabowo Jokowi. Sama-sama akan mengantarkan menuju Indonesia Maju 2045.
Kerjasama antara Sukarno dengan Bung Hatta melahirkan Proklamasi 45. Kerjasama antara Jokowi dan Prabowo melahirkan Indonesia Maju 2045.
Opportunity itu gini. Tantangannya itu sangat besar lah kita ini. Banyak orang gak sadar sebetulnya. menuju Indonesia Maju 2045 itu ada tantangan yang lebih nyata. Ya ini apa? Bonus demografi. Kita ini bonus demografi ini 5 tahun, 10 tahun ke depan.
Bonus demografi adalah situasi dimana tenaga kerja kita itu berlebih. Nah tenaga kerja yang berlebih ini kalau lapangan kerjanya tersedia itu akan produktif. Mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Nah untuk bisa pertumbuhan ekonomi harus ada investasi. Karena kalau gak ada investasi gimana membuka lapangan kerja kan?
Tetapi bayangkan kalau misalnya gagal menyiapkan lapangan kerja gak ada investasi. Gak ada pekerjaan. Apa yang terjadi?
Bukan bonus demografi. Bencana demografi. Orang muda frustrasi. Sekarang aja sudah banyak generasi Z yang frustrasi. Kan gini, gen Z ini kan sama generasi Alpha.
Dan setelah gen Z ini generasi Alpha namanya. Balik ke grup A lagi. Itu kan rentan secara psikologis.
Bayangkan kalau mereka gak punya pekerjaan. Lari kemana? narkoba. Lari kemana? Kriminalitas.
Jadi bonus itu satu sisi. Tapi sisi yang lain adalah bencana demografi. Nah itu membutuhkan suatu kepemimpinan yang sangat kuat, sangat solid.
Tidak boleh pemerintahan Pak Prabowo dan Mas Gibran ini sebagai pilot dan copilot mengalami turbulensi.
Karena itu pemerintahan harus stabil. Baik dari dalam maupun dari luar. Atau saya balik. Dari luar maupun dari dalam.
Perhari ini menurut saya, ini yang poin pertanyaan. Kalau dari luar udah ketahuan kita ini. Kira-kira yang berada di luar pemerintahan adalah PDI Perjuangan. PKS misalnya. Yang udah pasti, udah jelas kayaknya PDI Perjuangan.
Nah yang di dalam ini yang tentunya harus dihitung dengan cermat oleh Pak Prabowo. Siapa saja dariyang masuk-masuk ini potensi bandel-bandel. Potensi tarik ulur.
Tarik ulur itu dalam kebijakan publik berbahaya Mas. Kenapa? Kebijakan publik itu tidak nanti murni atau tidak kuat di teknokratis. Kuat di negonya Pak.
Bahaya Pak. Bahaya ya? Bahaya. Karena gini, semua kebijakan publik itu pasti ada yang namanya kajian akademik.
Kajian teknokratis. Paling ideal gimana? Ukuran tinggi berapa? Kalau jalan panjang berapa? Lebar berapa? Speknya seperti apa? Biayanya berapa? Begitu ada negonya Pak, pasti nggak mungkin optimal Pak.
Jadi spek itu berubah kan? Bisa berubah. Jangan-jangan ini, mohon maaf ya, IKN ini juga kebanyakan tarik menarik kekuatan politiknya juga.
Di luar soal, soal apa ya, kemampuan manajerial ya. Tapi tarik menarik, tarik menarik kelembagaan, tarik menarik kekuatan politik, barangnya nggak jalan Pak.
Kalau ada dua pihak yang sama kuat, ada nggak pemenangnya? Nggak ada. Kalau ada tarik tembang, satu lebih kuat, apakah bisa satu di utara, satu di selatan? Nggak Mas, nggak ada yang jatuh Mas, kalau sama kuat. Oke.
Baru arah itu jelas, kalau ada yang kuat. Kalau kita bicara pemerintah, kita bicara masyarakat, kita bicara keluarga, kita bicara organisasi, kita harus belajar dari kereta api.
Saya sebut filosofi kereta api. Bahwa kereta api itu baru bisa jalan, satu, kalau ada lokomotifnya. Dua, kalau lokomotifnya itu kuat.
Kalau lokomotifnya lemah, bisa nggak narik? Nggak bisa. Kalau nggak ada lokomotif, bisa nggak jalan? Nggak bisa jalan. Buntut sama buntut bisa jalan? Nggak bisa Pak.
Sumber: Tribun