POLITIK

'Pancasila Rasa Oligarki di Pilkada 2024'

DEMOCRAZY.ID
Juni 01, 2024
0 Komentar
Beranda
POLITIK
'Pancasila Rasa Oligarki di Pilkada 2024'
'Pancasila Rasa Oligarki di Pilkada 2024'


'Pancasila Rasa Oligarki di Pilkada 2024'


Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, memiliki sejarah yang kaya dan penuh perjuangan. Sejarah Pancasila dimulai pada masa sidang Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang pertama kali bersidang pada tanggal 29 Mei 1945. Pada sidang tersebut, berbagai usulan terkait dasar negara Indonesia diajukan oleh para tokoh bangsa, termasuk Mohammad Yamin dan Soepomo.


Tonggak sejarah yang menentukan terjadi pada tanggal 1 Juni 1945 ketika Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya yang mengusulkan lima prinsip dasar negara yang kemudian dikenal sebagai Pancasila. Dalam pidato tersebut, Soekarno menyebutkan lima dasar untuk negara Indonesia: Kebangsaan, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Demokrasi, Keadilan Sosial, dan Ketuhanan yang Maha Esa. 


Usulan ini kemudian diperhalus dan disempurnakan oleh Panitia Sembilan, sebuah tim yang dibentuk oleh BPUPKI untuk merumuskan lebih lanjut dasar negara dan UUD 1945. Panitia ini terdiri dari tokoh-tokoh penting seperti Soekarno, Mohammad Hatta, dan lainnya.


Melalui proses perdebatan dan kompromi yang intens, Pancasila resmi diadopsi sebagai dasar negara pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945. Pancasila kemudian dimasukkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, mengukuhkan posisinya sebagai fondasi ideologis negara Indonesia.


Pancasila bukan hanya simbol sejarah, tetapi juga memiliki relevansi yang kuat di era modern. Di tengah dinamika politik, sosial, dan ekonomi Indonesia, Pancasila tetap menjadi panduan moral dan etika bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi, keadilan sosial, dan ketuhanan yang terkandung dalam Pancasila sangat penting dalam menjaga keutuhan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.


Pada era Pilkada 2024, Pancasila kembali diuji relevansinya. Pilkada, sebagai salah satu wujud demokrasi di Indonesia, harus dijalankan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila. Namun, kenyataannya, pelaksanaan Pilkada sering kali diwarnai oleh praktik oligarki dan kepentingan pribadi atau kelompok. Hal ini bertentangan dengan sila keempat dan kelima Pancasila yang mengutamakan demokrasi dan keadilan sosial.


Seyogianya di Pilkada 2024, penting untuk mengingatkan semua pihak tentang makna Pancasila sebagai dasar negara yang harus menjadi pedoman dalam berpolitik. Pancasila mengajarkan bahwa kekuasaan harus dijalankan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir orang atau kelompok. Implementasi nilai-nilai Pancasila dalam Pilkada akan memastikan bahwa demokrasi berjalan dengan baik dan keadilan sosial dapat terwujud.


Pancasila dan Demokrasi dalam Pilkada 2024


Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, memiliki peran dalam mengatur kehidupan politik dan pemerintahan. Setiap sila dalam Pancasila memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana negara harus dijalankan untuk mencapai tujuan nasional yang adil dan makmur. Pancasila mencerminkan kearifan lokal dan nilai-nilai budaya yang telah menjadi identitas bangsa Indonesia. Di dalamnya terkandung prinsip-prinsip dasar yang harus dipegang teguh oleh setiap penyelenggara negara dan seluruh warga negara.


Sebagai dasar negara, Pancasila menggariskan bahwa kekuasaan politik harus dijalankan untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan hanya segelintir elit. Prinsip demokrasi yang terkandung dalam sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,” menekankan pentingnya proses demokrasi yang berkeadilan dan partisipatif. Hal ini berarti bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam proses politik dan pemerintahan.


Dalam Pilkada 2024, peran Pancasila menjadi penting untuk memastikan bahwa proses pemilihan kepala daerah berjalan secara demokratis dan berintegritas. Pancasila harus menjadi landasan dalam setiap tahap Pilkada, mulai dari pencalonan, kampanye, pemungutan suara, hingga penetapan hasil. Tentunya upaya ini untuk mencegah praktik-praktik yang merusak demokrasi, seperti politik uang, kampanye hitam, dan manipulasi suara.


Penerapan nilai-nilai Pancasila dalam proses Pilkada adalah kunci untuk memastikan bahwa pemilihan kepala daerah dapat menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas.


Pertama, kebangsaan yang berkeadilan, yang termaktub dalam sila kelima, harus menjadi prioritas. Pilkada harus memperkuat rasa kebangsaan dan keadilan sosial. Calon kepala daerah dan para pemilih harus mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan kelompok atau individu. Termasuk memastikan bahwa semua warga negara, tanpa memandang latar belakang, memiliki kesempatan yang sama untuk memilih dan dipilih.


Kedua, internasionalisme atau perikemanusiaan, yang tercermin dalam sila kedua, harus menjadi pedoman dalam proses Pilkada. Pilkada harus dijalankan dengan memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan, seperti menghormati hak asasi manusia dan menjunjung tinggi martabat setiap individu. Berarti menolak segala bentuk diskriminasi dan kekerasan dalam kampanye politik.


Ketiga, demokrasi yang bermartabat, yang tercakup dalam sila keempat, harus diwujudkan dalam setiap tahap Pilkada. Proses Pilkada harus menjamin partisipasi aktif seluruh warga negara. Kampanye harus dilakukan secara sehat dan konstruktif, tanpa menyebarkan hoaks atau ujaran kebencian. Selain itu, proses pemungutan dan penghitungan suara harus transparan dan diawasi dengan ketat untuk mencegah kecurangan.


Keempat, ketuhanan yang Maha Esa, yang merupakan inti dari sila pertama, harus tercermin dalam setiap calon kepala daerah. Menunjukkan integritas moral dan etika yang tinggi, menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dan spiritualitas yang menuntun untuk berlaku adil dan jujur. Hal ini akan memastikan bahwa pemimpin yang terpilih benar-benar memiliki komitmen untuk melayani rakyat dengan sepenuh hati.


Pengaruh Oligarki dalam Politik Indonesia


Oligarki merupakan sistem pemerintahan atau kekuasaan yang dijalankan oleh segelintir orang atau kelompok kecil yang memiliki kekayaan dan pengaruh besar (Winters, J. A., 2011). Dalam politik Indonesia, oligarki sering kali diidentifikasi dengan kelompok-kelompok elit yang memiliki kontrol terhadap sumber daya ekonomi dan politik. Kelompok ini biasanya terdiri dari pebisnis kaya, pejabat tinggi, dan keluarga-keluarga berpengaruh yang memiliki akses luas ke kekuasaan.


Pengaruh oligarki dalam politik Indonesia sangat besar. Kesatu, oligarki dapat mempengaruhi pengambilan keputusan politik melalui pendanaan kampanye dan lobi politik. Dukungan finansial yang besar memungkinkan kandidat tertentu untuk mendapatkan akses lebih luas ke media, sumber daya kampanye, dan jaringan politik. Kedua, oligarki cenderung mendominasi sektor ekonomi penting, yang pada gilirannya memberikan mereka leverage untuk menekan pemerintah atau mempengaruhi kebijakan yang menguntungkan kepentingannya.


Selain itu, pengaruh oligarki juga terlihat dalam penempatan pejabat-pejabat yang loyal kepada kelompoknya dalam posisi strategis pemerintahan. Hal ini sering kali menciptakan konflik kepentingan yang merugikan publik dan menghambat terciptanya pemerintahan yang transparan dan akuntabel (Robison, R. & Hadiz, V. R, 2004). Penempatan ini tidak hanya memperkuat dominasi oligarki, tetapi juga mengurangi efektivitas pemerintahan dalam melayani kepentingan umum.


Dalam menghadapi Pilkada 2024, tantangan terbesar adalah memastikan bahwa proses demokrasi berjalan dengan jujur dan adil, tanpa dominasi oligarki yang merugikan kepentingan publik. Reformasi dalam pendanaan kampanye, transparansi, dan pengawasan yang ketat adalah langkah-langkah penting untuk mengurangi pengaruh oligarki dalam politik Indonesia. Dengan demikian, diperlukan upaya bersama untuk membangun sistem politik yang lebih membumi dan responsif terhadap kebutuhan rakyat banyak.


Sosialisme Ala Indonesia


Sosialisme adalah sebuah ideologi yang menekankan pada keadilan sosial dan pemerataan kekayaan, di mana alat-alat produksi dimiliki dan dikendalikan oleh masyarakat atau negara untuk kesejahteraan bersama. Dalam halnya Indonesia, sosialisme telah mempengaruhi kebijakan ekonomi dan politik sejak masa awal kemerdekaan. Sosialisme di Indonesia bukanlah sosialisme murni seperti yang diterapkan di negara-negara komunis, melainkan sosialisme yang disesuaikan dengan nilai-nilai lokal dan kebutuhan nasional.


Konsep sosialisme di Indonesia tercermin dalam Pancasila, terutama sila keempat dan kelima yang menekankan demokrasi dan keadilan sosial (Soekarno, 1965). Selama masa pemerintahan Soekarno, Indonesia mengadopsi konsep "Sosialisme Indonesia" yang berupaya menciptakan masyarakat yang adil dan makmur melalui kebijakan ekonomi yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Salah satu implementasi nyata dari sosialisme di Indonesia adalah program nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing dan pembentukan koperasi sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.


Di era modern, konsep sosialisme masih terlihat dalam berbagai kebijakan pemerintah, seperti subsidi bahan pokok, program jaminan sosial, dan upaya pemerataan pembangunan antar daerah. Pemerintah Indonesia juga menerapkan kebijakan redistribusi kekayaan melalui program bantuan sosial dan pembangunan infrastruktur di daerah-daerah tertinggal.


Menerapkan sosialisme di Indonesia tidaklah mudah, terutama di tengah pengaruh kuat oligarki yang mendominasi sektor ekonomi dan politik (R. Robison, 1986). Oligarki memiliki pengaruh besar dalam politik dan ekonomi Indonesia. oligarki mampu mengendalikan sumber daya dan kebijakan melalui jaringan kekuasaan dan finansial yang kuat. Hal ini membuat kebijakan sosialisme yang berorientasi pada keadilan sosial sulit diterapkan secara efektif. Contohnya, upaya untuk menerapkan reformasi agraria sering kali terhambat oleh kepentingan elit yang memiliki lahan luas.


Korupsi yang merajalela di berbagai sektor pemerintahan menjadi hambatan besar dalam menerapkan kebijakan sosialisme. Dana yang seharusnya digunakan untuk program kesejahteraan rakyat sering kali diselewengkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Ketimpangan ekonomi yang masih tinggi antara daerah perkotaan dan pedesaan menjadi tantangan besar dalam menerapkan sosialisme. Pembangunan yang tidak merata mengakibatkan kesenjangan sosial yang makin lebar.


Setidaknya, ada peluang dalam menerapkan sosialisme di Indonesia. Masyarakat Indonesia memiliki kesadaran sosial yang tinggi, terutama dalam hal gotong royong dan solidaritas. Nilai-nilai ini sangat mendukung implementasi sosialisme yang mengedepankan kesejahteraan bersama. Selain itu, pemerintah Indonesia, terutama dalam beberapa periode pemerintahan, menunjukkan komitmen untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial. Program-program seperti BPJS Kesehatan, Kartu Prakerja, dan bantuan sosial lainnya mencerminkan upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip sosialisme.


Kemajuan teknologi dan inovasi membuka peluang baru untuk menerapkan sosialisme di era digital. Program e-government dan digitalisasi layanan publik dapat meningkatkan transparansi dan efisiensi, sehingga kebijakan sosial dapat dijalankan dengan lebih efektif.


Analisis Pilkada 2024


Pilkada 2024 di Indonesia diprediksi akan menjadi salah satu perhelatan politik terbesar dalam sejarah demokrasi Indonesia. Dengan lebih dari 500 daerah yang akan memilih kepala daerah baru, Pilkada ini akan menjadi barometer penting bagi dinamika politik nasional. Beberapa prediksi dan dinamika politik yang diperkirakan akan muncul menjelang Pilkada 2024 antara lain:


Pertama-tama, meningkatnya polaritas politik. Seperti yang terlihat dalam beberapa Pilkada sebelumnya, persaingan antara kandidat kemungkinan akan semakin tajam, dengan partai-partai politik besar berusaha memperkuat basis dukungannya. Polarisasi politik, yang didorong oleh perbedaan ideologi, agama, dan etnis, diperkirakan akan meningkat.


Peran media sosial akan terus memainkan peran dalam kampanye Pilkada. Kandidat akan menggunakan platform seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok untuk menjangkau pemilih muda yang semakin dominan. Kampanye di media sosial juga memungkinkan penyebaran informasi (dan disinformasi) dengan cepat, yang dapat mempengaruhi persepsi publik.


Pengaruh uang dan oligarki akan tetap menjadi isu penting. Dukungan finansial dari para pengusaha dan elite politik dapat menentukan hasil Pilkada. Kandidat yang memiliki akses ke sumber daya finansial yang besar cenderung memiliki keunggulan dalam kampanye.


Terakhir, tantangan pandemi dan ekonomi akan menjadi salah satu fokus utama kampanye. Situasi ekonomi yang masih dalam pemulihan pasca-pandemi COVID-19 akan menjadi salah satu fokus utama kampanye. Kandidat yang mampu menawarkan solusi untuk pemulihan ekonomi dan penanganan kesehatan akan memiliki daya tarik lebih di mata pemilih.


Analisis terhadap kandidat-kandidat yang bertarung dalam Pilkada 2024 dapat dilihat dari bagaimana mereka mencerminkan atau bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila:


Kebangsaan Indonesia, sebagai nilai dari sila pertama, tercermin pada kandidat yang mempromosikan persatuan dan kesatuan di atas kepentingan kelompok atau golongan. Kandidat akan menekankan pentingnya identitas nasional dan berupaya mengurangi polarisasi yang berbasis etnis atau agama. Sebaliknya, kandidat yang memainkan politik identitas untuk meraih dukungan dapat dianggap bertentangan dengan nilai kebangsaan.


Internasionalisme atau perikemanusiaan, nilai dari sila kedua, tercermin pada kandidat yang mendukung prinsip perikemanusiaan dan akan fokus pada isu-isu hak asasi manusia dan keadilan sosial. Para kandidat akan menunjukkan kepedulian terhadap hak-hak minoritas dan kelompok rentan. Kandidat yang terlibat dalam atau mendukung tindakan diskriminatif dan kekerasan jelas bertentangan dengan nilai ini.


Demokrasi yang bermartabat, yang mencakup sila ketiga dan keempat, tercermin pada kandidat yang mengutamakan transparansi, partisipasi publik, dan pemerintahan yang bersih. Para kandidat akan berkomitmen pada proses demokratis dan menolak segala bentuk korupsi dan manipulasi. Kandidat yang terlibat dalam praktik korupsi atau yang mengandalkan kekuatan uang dan pengaruh elit untuk memenangkan pemilihan bertentangan dengan nilai demokrasi dan keadilan sosial.


Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang merupakan inti dari sila kelima, tercermin pada kandidat yang benar-benar memperjuangkan keadilan sosial akan fokus pada kebijakan yang mendukung kesejahteraan masyarakat, seperti peningkatan layanan kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur yang merata. Para kandidat akan berusaha mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi. Kandidat yang hanya memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu atau yang terlibat dalam korupsi proyek pembangunan merugikan rakyat dan bertentangan dengan nilai keadilan sosial.


Dalam Pilkada 2024, pemilih memiliki peran penting untuk memilih kandidat yang benar-benar mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Dengan begitu, diharapkan dapat terpilih pemimpin-pemimpin daerah yang mampu membawa Indonesia menuju keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.


Pancasila Disalahgunakan dalam Kampanye Politik


Pancasila, sebagai dasar negara, seharusnya menjadi pedoman moral dan etika dalam berpolitik. Walau, dalam praktiknya, Pancasila sering kali disalahgunakan dalam kampanye politik untuk meraih dukungan, bahkan dengan cara yang bertentangan dengan nilai-nilai yang diusungnya.


Penggunaan Pancasila dalam kampanye politik sering kali terlihat pada slogan-slogan yang mengusung nilai-nilai kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi, keadilan sosial, dan ketuhanan. Kandidat politik kerap mengutip Pancasila dalam pidato-pidato untuk menarik dukungan dari berbagai kalangan masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai tersebut.


Meski, sering kali nilai-nilai Pancasila disalahgunakan untuk tujuan politik. Misalnya, slogan-slogan yang mengatasnamakan kebangsaan digunakan untuk memecah belah masyarakat berdasarkan identitas etnis atau agama. Hal ini bertentangan dengan sila pertama dan ketiga Pancasila yang menekankan persatuan dan kemanusiaan. Selain itu, janji-janji terkait keadilan sosial sering kali hanya digunakan sebagai alat kampanye tanpa ada komitmen nyata untuk melaksanakannya. Kandidat mungkin menjanjikan program kesejahteraan, tetapi setelah terpilih, kebijakan yang diambil lebih menguntungkan kelompok elit dan oligarki, mengabaikan kebutuhan masyarakat luas.


Sebagai contoh, beberapa kandidat di daerah menggunakan narasi kebangsaan dan keadilan sosial untuk meraih dukungan. Sebaliknya, setelah terpilih, kebijakan yang diambil sering kali lebih menguntungkan kepentingan pribadi dan kelompok pendukungnya daripada masyarakat umum. Tentu, menunjukkan bagaimana Pancasila dapat disalahgunakan sebagai alat retorika tanpa diikuti oleh tindakan nyata yang mencerminkan nilai-nilainya.


Untuk mengatasi penyalahgunaan Pancasila dalam kampanye politik, diperlukan pengawasan yang lebih ketat dan pendidikan politik yang lebih baik bagi masyarakat. Masyarakat harus diajarkan untuk kritis terhadap janji-janji kampanye dan menilai kandidat berdasarkan tindakan nyata yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Selain itu, penegakan hukum yang tegas terhadap praktik-praktik politik yang merusak integritas demokrasi harus dilakukan.


Dengan demikian, Pancasila dapat benar-benar menjadi pedoman moral dan etika dalam politik Indonesia, bukan hanya sebagai alat retorika kampanye.


Pancasila sebagai Pilar Persatuan


Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, memainkan peran dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Didirikan atas prinsip-prinsip yang mencerminkan keanekaragaman Indonesia, Pancasila memberikan landasan bagi masyarakat yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras, dan golongan untuk hidup berdampingan secara harmonis. Lima sila dalam Pancasila menggarisbawahi nilai-nilai fundamental yang mempersatukan bangsa Indonesia.


Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menekankan pentingnya pengakuan terhadap keberadaan Tuhan, memberi ruang bagi berbagai agama dan kepercayaan untuk tumbuh subur di Indonesia. Mencerminkan semangat toleransi beragama yang menjadi landasan hidup berbangsa. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, mengajak seluruh masyarakat untuk menghormati hak asasi manusia dan menjunjung tinggi keadilan sosial, tanpa memandang perbedaan.


Sila ketiga, Persatuan Indonesia, menggarisbawahi pentingnya persatuan dalam kebinekaan. Sebagai negara kepulauan yang luas dan beragam, Indonesia memerlukan perekat kuat untuk menjaga integritasnya sebagai sebuah bangsa. 


Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, mendorong praktik demokrasi yang sehat melalui musyawarah dan perwakilan, di mana keputusan diambil dengan mengedepankan kebijaksanaan dan kepentingan bersama. Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menekankan pentingnya keadilan sosial, di mana kesejahteraan harus dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali.


Pancasila menjadi pedoman moral dan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mengajarkan nilai-nilai luhur yang harus dijunjung tinggi oleh seluruh elemen masyarakat, dari pemerintah hingga rakyat biasa, untuk memastikan keutuhan dan kemajuan bangsa. Di tengah kompetisi politik yang sengit, menjaga semangat Pancasila adalah tantangan yang memerlukan komitmen bersama dari semua pihak.


Di penghujung perenungan ini, Pancasila tidak hanya berperan sebagai pedoman formal, tetapi harus menjadi roh yang hidup dalam setiap aspek kehidupan bangsa. Mempertahankan dan memperjuangkan nilai-nilai Pancasila dalam praktik sehari-hari adalah tugas bersama yang tidak boleh diabaikan. Melalui upaya gotong-royong, Indonesia dapat memastikan bahwa Pancasila tetap relevan dan menjadi fondasi kokoh dalam menghadapi tantangan masa depan, menjaga harmoni dalam keberagaman, dan mencapai kesejahteraan bersama. 


Sumber: KumparanKumparan

Penulis blog