DEMOCRAZY.ID - Mantan Menko Polhukam Mahfud MD bikin isu seputar hubungan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin.
Menurut Mahfud, hubungan kedua orang tersebut tak terlalu baik, meski sama-sama bergerak di bidang penegakan hukum.
Sebagai mantan koleganya, Mahfud tentu sangat tahu hubungan keduanya. Mahfud pun menduga ada friksi di tubuh dua institusi penegakan hukum ini.
Namun, pemicu friksi tersebut Mahfud kurang tahu persis, karena hanya Kapolri dan Jaksa Agung yang tahu.
Mahfud pun mengungkapkan ke publik lewat podcast Terus Terang, bahwa Listyo Sigit Prabowo dan ST Burhanuddin enggan bertemu dalam satu forum, kecuali sidang kabinet di Istana Negara.
Tentu ini informasi baru buat publik, mengingat belum lama ini terjadi aktivitas oknum Densus 88 terhadap Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung) Febrie Adriansyah.
Aktivitas pengintaian itu kembali terjadi, hingga petugas keamanan di Kejagung menembak jatuh drone di atas gedung Jampidsus.
“Karena memang sering dalam banyak hal Kapolri dan Jaksa Agung itu ndak mau bertemu di satu forum, kecuali dalam sidang kabinet,” kata Mahfud dikutip dari kanal YouTube Mahfud MD Official, Kamis (13/6/2024).
"Berembuk rapat di satu forum kalau satu hadir, satu enggak hadir," imbuhnya.
"Tampaknya ada situasi seperti itu, sehingga kalau ada rapat tuh yang sana tanya dulu 'ini datang ndak, ini datang ndak’ gitu,” lanjutnya.
Mahfud mengatakan, sebagai Menko Polhukam dulu, dia bakal mendatangi atau memanggil satu per satu apabila ada masalah hukum yang menyangkut Kepolisian dan Kejaksaan Agung.
Kemudian, Mahfud menegaskan bahwa komunikasi dan hubungannya dengan Kaplori dan Jaksa Agung sangat baik.
Meskipun, dia kerap membongkar ke publik soal kebobrokan jaksa atau polisi.
Sebelumnya, Mahfud mengungkap perihal friksi di tubuh Kepolisian dan Kejagung saat membahas peristiwa penguntitan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Febrie Ardiansyah oleh anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri.
Menurut dia, tidak bisa Kepolisian dan Kejaksaan Agung (Kejagung) hanya menyebut bahwa persoalan penguntitan tersebut telah selesai di level internal.
Mahfud mengatakan, kedua institusi tersebut harus menjelaskan kepada masyarakat apa yang sebenarnya terjadi.
Sebab, menyangkut keamanan dan ketentraman masyarakat juga lantaran selevel Jampidsus saja bisa diperlakukan seperti itu.
“Ini yang harus dijelaskan kepada masyarakat. Karena masyarakat ini kan harus diberi ketentraman. Kalau hal gini Kejaksaan Agung saja kena apalagi yang bukan Kejaksaan Agung ya kan. Orang akan berkata begitu,” kata Mahfud dikutip dari podcast Terus Terang pada 6 Juni 2024.
Dia lantas menyarankan agar oknum Densus 88 yang telah ditangkap dan diperiksa untuk dibawa ke hadapan publik agar diketahui siapa yang memerintahkannya dan tujuannya apa.
“Yang ditangkap ini saja munculkan, periksa, lalu munculkan keterangannya ke publik, saya ditugaskan oleh ini, untuk ini,” ujarnya.
Apalagi, dia lantas mengutip pernyataan tokoh pendiri Densus 88, Irjen Pol (Purn) Ansyaad Mbai yang menyebut bahwa kejadian penguntitan tersebut berkaitan dengan pergantian penguasa mafia timah.
“Kalau saya ikuti Pak Ansyaad Mbai ini sebenarnya perebutan untuk pergantian owner mafia timah. Timah kan selama ini ada penguasanya, penguasa timah. Karena rezim politik akan berubah sekarang, ini akan mulai disingkirkan orang-orang yang jadi mafia yang di backup itu,” katanya.
“Sehingga, lalu dilakukan dengan cara itu agar orang-orang tertentu bisa ditangkap. Lalu, owner mafia ini bisa diganti pada saat pergantian pemerintahan. Ini penjelasannya Pak Ansyaad Mbai ya," ujar Mahfud melanjutkan.
Oleh karena itu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2013 itu sempat menyebut bahwa tidak hanya Kepolisian dan Kejagung yang harus memberikan penjelasan ke publik, tetapi Presiden sebagai pimpinan juga harus turun tangan.
“Kan sebenarnya negara ini ada aturan-aturannya, ada pimpinannya. Tanggung jawab paling utama itu ada pada presiden untuk menjelaskan dan meminta itu dibuka,” ujarnya.
Mahfud pun blak-blakan menceritakan pengalamannya berhadap-hadapan dengan mafia tambang di Indonesia.
Pakar tata negara itu tidak menampik, sengkarut masalah tambang di Indonesia melibatkan banyak pihak mulai dari pemerintah dan aparat.
Mahfud pun mengaku tidak kaget saat kasus mafia tambang timah di Bangka Belitung dikait-kaitkan dengan mantan petinggi Densus 88 Anti Teror.
Pasalnya kata Mahfud MD, dia pernah juga menangani masalah tambang emas ilegal di Sulawesi Utara.
Saat menjadi Menko Polhukam, Mahfud MD mengaku mendapatkan laporan terkait dengan tambang emas ilegal di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.
Kemudian kata Mahfud MD, pihaknya mencari tahu terkait dengan mafia tambang emas di Kepulauan Sangihe.
Saat itu perusahaan pertambangan tersebut memiliki izin usaha pertambangan (IUP) yang tidak memenuhi syarat.
Namun, saat itu IUP tersebut tidak bisa dicabut asalkan ada putusan hakim. Ketika hakim Mahkamah Agung (MA) sudah memutus harus mencabut IUP tersebut, namun Mahfud MD mendapatkan kabar bahwa pertambangan ilegal tersebut masih beroperasi.
Hingga akhirnya Mahfud MD mengaku dilempar ke sana-kemari untuk mengatasi pertambangan liar tersebut.
Bahkan pemerintah daerah hingga pemerintah pusat juga terkesan diam dalam pertambangan tersebut.
Hingga akhirnya kata Mahfud MD Menteri ESDM secara langsung mencabut IUP pertambangan tersebut karena menyalahi aturan.
Namun hal itu ternyata hanya sementara, karena Mahfud MD mendapatkan laporan pertambangan emas ilegal di Kepulauan Sangihe itu kembali beroperasi.
“Betapa mafia itu begitu berkuasa sehingga menyebabkan aparat hukum tidak berdaya karena berada di bawah cengkramannya, dan menyebabkan aparat pemerintah juga yang berwenang tidak berdaya,” ucapnya.
Sumber: Tribun