DEMOCRAZY.ID - Para pelaku usaha telekomunikasi khawatir kehadiran internet cepat berbasis satelit milik Elon Musk, Starlink, dapat mengancam bisnis lokal.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pun angkat suara terkait kekhawatiran ini.
“Jadi kalau starlink ini, ada orang suka marah bilang kenapa boleh, ya kalau murah biarin aja. Biar bersaing. Kecuali dia lebih mahal, kan tidak,” kata Luhut, Selasa (4/6).
“Jadi Telkom pun, mana pun ya, pak (presiden) Jokowi inginnya semua bersaing memberikan service yang lebih bagus kepada publik.”
Semua pelaku usaha baik dalam atau luar negeri seperti Starlink dapat berkompetisi memberikan layanan terbaik kepada masyarakat.
Luhut menyatakan bahwa perkembangan teknologi begitu cepat. Menurutnya, pelaku usaha harus siap menghadapi kompetisi jika berani berbisnis pada industri ini.
“Jadi dalam bidang teknologi ini, cepat return-nya, cepat juga harus (melakukan) perbaikan-perbaikan atau upgrade teknologinya,” ia menambahkan.
“Ya kalau kamu nggak bisa berkompetisi, ya salah kamu.”
Ia menegaskan kehadiran Starlink di Indonesia dengan tujuan untuk memberikan kesempatan yang sama untuk semua masyarakat, termasuk daerah tertinggal, terdepan, terluar (3T).
“Yang paling diuntungkan siapa si? Masyarakat kan,” ujar dia.
Ia menyatakan dengan adanya Starlink, akan membuat layanan kesehatan dan pendidikan menjadi lebih baik.
Sebab, akan semakin banyak wilayah blank spot atau yang belum terjangkau internet berkurang alias daerah 3T.
“Kalau semakin kurang (blank spot), komunikasi bisa lebih bagus lagi ke daerah-daerah terpencil, untuk memberikan layanan kesehatan dan pendidikan,” ujar dia.
Ia mengatakan, biaya yang dibutuhkan pada sektor kesehatan akan jauh lebih murah menggunakan Starlink dibandingkan menggunakan jasa telekomunikasi lain.
Menurutnya dengan internet Starlink, layanan kesehatan di daerah terpencil bisa mendapatkan saran dan masukkan dari dokter yang berpengalaman di Jakarta.
Nantinya, “sampai pada titik nanti operasi juga dari jarak jauh bisa dilakukan dari Jakarta,” kata dia.
Telkom khawatir dengan Starlink yang bisa berjualan layanan internet langsung kepada konsumen di Indonesia.
Badan Usaha Milik Negara atau BUMN ini berharap Pemerintah hadir terkait persaingan.
Telkom sebelumnya bekerja sama dengan Starlink terkait backhaul atau infrastruktur dasar telekomunikasi, melalui Telkomsat. Namun kini, Starlink bisa langsung menyediakan layanan kepada konsumen.
BUMN itu juga sudah mengajukan kerja sama dengan Starlink untuk menjadi mitra pada segmen business to consumer (B2C) yang langsung menyasar konsumen.
“Tetapi Starlink, dalam kebijakannya, bisa melakukan sendiri,” kata Direktur Utama Telkom Ririek Adriansyah dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR, Kamis (30/5).
“Jadi, Starlink yang diresmikan di Bali dua pekan lalu (19/5) itu segmen B2C,” ujar Ririek.
Telkomsat menjalin kerja sama dengan Starlink sejak 2021. Perusahaan juga telah menggelar layanan backhaul Starlink sejak 2022 dengan memanfaatkan hak labuh dari Pemerintah.
Telkomsat dan Starlink menandatangani perjanjian kerja sama untuk layanan segmen enterprise berbagai wilayah di Indonesia pada 15 Mei, atau empat hari sebelum pemilik SpaceX Elon Musk meresmikan Starlink di Bali pada 19 Mei.
“Dalam konteks untuk layanan langsung ke pelanggan, Negara perlu hadir,” Direktur Wholesale and International Service Telkom Bogi Witjaksono menambahkan.
Para pelaku usaha telekomunikasi lokal khawatir akan persaingan bisnis dengan kehadiran Starlink, dan menduga perusahaan ini melakukan predatory pricing.
Meski begitu, peneliti di Data and Democracy Research Hub menilai perusahaan milik Elon Musk ini tidak melakukan predatory pricing.
Menurut Organization for Economic Co-Operation and Development atau OECD, predatory pricing merupakan strategi perusahaan menetapkan harga sangat rendah atau di bawah rerata pasar, dalam jangka waktu tertentu.
“Kekhawatiran mengenai predatory pricing oleh Starlink boleh jadi terlalu berlebihan karena harga Starlink lebih tinggi daripada provider lokal saat ini,” demikian isi keterangan pers Monash University Indonesia mengutip pernyataan Peneliti Data and Democracy Research Hub Arif Perdana, Selasa (28/5).
Ia mencatat, operator seperti XL Axiata dan Indosat mengkaji potensi kerja sama dengan Starlink untuk memperluas jangkauan layanan, terutama di daerah terpencil.
“Pemerintah harus memantau harga dan praktik bisnis untuk mencegah strategi predatory pricing dan memastikan persaingan yang adil,” kata dia.
Sumber: KataData