EKBIS

Era Jokowi Utang Naik 3 Kali, Setiap Warga Tanggung Rp28 Juta

DEMOCRAZY.ID
Juni 24, 2024
0 Komentar
Beranda
EKBIS
Era Jokowi Utang Naik 3 Kali, Setiap Warga Tanggung Rp28 Juta

Era Jokowi Utang Naik 3 Kali, Setiap Warga Tanggung Rp28 Juta


DEMOCRAZY.ID - Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) akan tercatat dalam sejarah sebagai rezim paling doyan utang dengan capaian nominal utang publik atau pemerintah pusat jumbo, mencapai Rp7.879 triliun, per Maret 2023, naik 3,2 kali lipat dari awal memerintah pada 2014. 


Karena itu merupakan utang publik, maka ini sama artinya, setiap kepala rakyat Indonesia saat ini menanggung utang Rp28,7 juta, naik dari posisi terakhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang hanya Rp10 juta per kepala.


Soal utang, prestasi Presiden Jokowi memang terbaik dibandingkan pendahulunya. Dengan posisi Menteri Keuangan yang dijabat oleh orang yang sama, Sri Mulyani. 


Rezim SBY yang memerintah pada 2004-2014 mampu menekan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi sekitar 25% di akhir serah terima jabatan presiden pada 2014, dari awal memimpin 57%. Sebaliknya, Jokowi membawa rasio utang publik melonjak ke angka 38% tahun ini.


Salah satu alasan yang sering dijadikan bantalan pemerintah saat ini adalah balada pandemi Covid-19 pada 2020-2021, yang membuat mau tak mau harus berhutang dalam jumlah besar, yang mana hal ini adalah pilihan pil pahit yang dilakukan oleh semua negara. 


Rasio utang saat itu memang naik dari 30% pada akhir 2019 menjadi 41% pada 2021. Dalam nominal selama dua tahun pandemi, pemerintah menambah utang sebanyak Rp2.145 triliun.


Selain pandemi, lonjakan jumbo utang era Jokowi disebabkan oleh proyek masif infrastruktur yang bernilai ribuan triliun rupiah, dimana 30-40% diantaranya dibiayai oleh negara. 


Sejak 2015 hingga 2022, pemerintahan Jokowi menggelontorkan Rp3.784 triliun untuk membangun infrastruktur, mulai dari jalan tol, bandara, bendungan, pelabuhan, jembatan dan lain sebagainya. 


Biaya jumbo ini termasuk didalamnya anggaran dana alokasi khusus (DAK) infrastruktur yang disalurkan ke pemerintah daerah.


Pembangunan fisik era Jokowi membuahkan hasil cukup gemilang. Salah satu yang paling menonjol adalah prestasi membangun jalan tol, seperti menyambungkan ujung pulau Jawa via jalan berbayar dan membangun tol di Pulau Sumatera. 


Hanya saja, untuk urusan pembangunan jalan tidak berbayar prestasi Jokowi kalah dengan pemerintahan SBY, baik jenis jalan nasional yang menjadi tanggungjawab pemerintah pusat, jalan provinsi dan jalan kabupaten/kota yang menjadi tanggungjawab pemda.


Sejauh ini, hanya dalam delapan tahun saja Jokowi mampu membangun jalan bebas hambatan berbayar sepanjang 1.697 kilometer, hampir lima kali lipat dibandingkan era SBY dan tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan 32 tahun era kepemimpinan Presiden Soeharto. 


Sementara, untuk urusan jalan tak berbayar, SBY mampu membangun 145 ribu kilometer, baik level nasional hingga kabupaten, atau lima kali lipat era Jokowi. Prestasi membangun jalan biasa SBY hanya kalah tipis dari Soeharto yang sepanjang 159 ribu kilometer.


Setiap tahun, pemerintah menghabiskan Rp 250 triliun hingga Rp 400 triliun hanya untuk membayar bunga utangnya saja, dan bila digabung dengan pokok cicilan utang sekitar Rp 500 triliun, maka total duit bayar utang mencapai Rp 900 triliun setiap tahun. 


Ini hampir separuh dari total penerimaan pajak yang ditargetkan mencapai Rp 2.021 triliun tahun ini. 


Ini juga mendekati angka Rp 1000 triliun yang dilontarkan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla beberapa waktu lalu, sebagai yang terbesar dalam sejarah republik sejak berdiri.


Salah satu pemicu tingginya cicilan utang, mahalnya bunga utang tidak lepas dari tingginya tingkat imbal hasil atau yield yang diberikan pemerintah kepada pemberi utang, atau investor surat utang negara (SUN). 


Sebagai acuan, untuk SUN berjatuh tempo 10 tahun, yieldnyamencapai sekitar 6-7%, salah satu yang tertinggi di Asia, atau posisi ketujuh tertinggi di dunia. 


Imbal hasil yang harus dibayar pemerintah Indonesia, jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga seperti-untuk tenor surat utang yang sama-Thailand 2-3%, Vietnam 3-4% dan Malaysia 3-4%.


Biaya Pembangunan Era Jokowi Terlalu Mahal dan Boros


Presiden Jokowi adalah 'little Soeharto', paling tidak untuk urusan kebocoran pengelolaan anggaran. 


Rezim saat ini seperti juga rezim sebelumnya melestarikan kebocoran anggaran yang pernah disebut Prof Soemitro Djojohadikusumo-Mantan Menkeu era Soeharto bahwa anggaran negara kerap mengalami kebocoran 30-40%. 


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekarang bahkan mensinyalir sebanyak 35% anggaran infrastruktur dikorupsi, dalam bentuk fee proyek ke politisi di senayan atau pejabat pemerintah.


Khusus kebocoran ini, era Jokowi relatif lebih parah ditunjukkan oleh korelasi antara output dan biaya, yang tercermin dalam angka pertumbuhan ekonomi versus defisit anggaran. 


Kendati defisit APBN era Jokowi lebih besar, yang menggambarkan kebijakan ekonomi lebih ekspansif namun angka pertumbuhan PDB lebih rendah dari era SBY. 


Rata-rata defisit APBN zaman SBY sebesar 1,6% dengan hasil rata-rata PDB tumbuh nyaris 6%, sementara defisit APBN era Jokowi rata-rata 3% tapi hasil pertumbuhan PDB nya di bawah 5% dan bahkan mendekati 4%. 


Jokowi, masih memiliki paling tidak satu tahun setengah tahun untuk mengejar ketertinggalan hingga 2024, namun tampaknya mustahil mengejar.


Indikator makro ekonomi lain yang menunjukkan betapa mahalnya biaya pembangunan era Jokowi adalah tingginya angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR), atau indikator untuk mengukur rasio besaran modal yang dibutuhkan untuk menambah satu output atau keluaran ekonomi. 


Rata-rata ICOR era SBY sebesar 4,18%, yang berarti untuk menambah pertumbuhan PDB 1% hanya dibutuhkan penambahan modal 4,18%. Sebaliknya, nilai ICOR era Jokowi mencapai 6,92%.


Normalnya, nilai ICOR yang wajar adalah 3-4%. Selebihnya, menunjukkan ada ketidakefisienan dalam biaya investasi, entah itu diakibatkan oleh biaya logistik yang terlalu tinggi, pungutan liar, atau korupsi. 


Untuk kategori terakhir, datanya relevan dengan Laporan Transparency International terbaru yang menunjukkan, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia turun sejak 2019 hingga 2022. 


IPK Indonesia pada 2022 menempati peringkat ke-110. Pada tahun sebelumnya, IPK Indonesia berada di peringkat ke-96 secara global.


Sementara itu, tingginya defisit APBN era Jokowi, yang memaksa pemerintahan ini berhutang untuk membiayai ekspansi fiskal, tidak lepas kinerja penerimaan pajak semakin turun. Rasio pajak Indonesia tahun lalu hanya 10,41%, cenderung merosot dalam 20 tahun terakhir. 


Di Asia Pasifik Indonesia hanya lebih baik dari Laos. Ini berarti, Ditjen Pajak masih tidak optimal dalam memungut pajak di tengah laju ekonomi yang naik. 


Sebagai acuan, rata-rata rasio pajak negara anggota OECD di atas 30%, sementara negara berkembang rata-rata sebesar 27%. 


Indonesia malah masuk kategori rata-rata rasio pajak negara terbelakang, 10%. Padahal, pemerintah mengeluarkan cukup banyak biaya untuk membayar gaji besar pegawai Kementerian Keuangan dalam program Reformasi Perpajakan yang dimulai sejak Jokowi memimpin pada 2014.


Pembelaan Sri Mulyani


Penghuni Gedung Kura-Kura sudah mulai mengkritik pemerintah yang dinilai sudah terjebak dalam praktik gali lobang tutup lubang untuk menyambung hidup. Ini tercermin dari data keseimbangan primer neraca pemerintah. 


Hal ini mengemuka dalam rapat antara Menkeu Sri Mulyani dengan Badan Anggaran DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (30/5/2023). 


Menkeu menjawab, selama masa Pandemi Covid-19, yaitu 2018-2022, meski pemerintah harus berhutang, namun utang baru yang ditarik pemerintah Indonesia bisa optimal memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.


Hal seperti itu, kata dia, tidak terjadi di negara-negara lain seperti India, Malaysia, Filipina, Thailand, Amerika Serikat, bahkan dengan China. Tergambar dari naiknya PDB saat pemerintahannya membuat utang baru selama periode itu. 


Katanya, saat pandemi 2018-2022 pemerintah menarik utang baru US$ 209 miliar, dan di saat yang sama PDB nominal Indonesia mampu naik sebesar US$ 276 miliar. 


"Jadi setiap 1 dolar menghasilkan 1,34 dolar dalam situasi terjadi shock luar biasa saat hampir semua perekonomian kolaps," tutur dia. 


Hanya Vietnam yang bisa seperti Indonesia, dan bahkan lebih baik rasionya.


Sumber: CNBC

Penulis blog