DEMOCRAZY.ID - Beberapa waktu lalu, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kasus penguntitan yang dialami oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Jampidsus Kejagung) Febrie Adriansyah.
Jaksa Agung Muda tersebut dikuntit oleh anggota polisi dari satuan Detasemen Khusus 88 Antiteror atau Densus 88.
Peristiwa itu terjadi pada Ahad malam, 19 Mei 2024 di sebuah restoran Prancis yang berlokasi di Jalan Cipete Raya, Jakarta Selatan.
Beberapa hari kemudian, Tempo menemukan sebuah rumah yang diduga menjadi pos komando personel Densus 88 yang mengintai Jampidsus Febrie Adriansyah.
Rumah berkelir putih itu berada di kawasan Cipete Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Lokasinya hanya berjarak 2 kilometer dari restoran Prancis yang menjadi tempat penguntitan Febrie.
Warga sekitar mengatakan, beberapa anggota polisi memang kerap berkumpul di rumah dua lantai tersebut.
Mereka bahkan sudah dua tahun menyewa rumah tersebut. Rumah sewaan itu lalu diketahui menjadi posko untuk anggota Densus 88 Satuan Wilayah Jawa Tengah yang dipimpin oleh Komisaris Besar Muhammad Tedjo Kusumo.
Dari data yang diperoleh Tempo, Densus 88 Satuan Wilayah Jawa Tengah berisi sekitar 20 personel. Namun, satuan ini mulai meninggalkan markasnya dan berkantor di Jakarta setelah kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat terbongkar pada Juli 2022.
Adapun terpidana pembunuh Yosua adalah Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri kala itu sekaligus Kepala Satgas Merah Putih sejak 2020, Ferdy Sambo.
Dalam susunan organisasi Satgas Merah Putih terakhir yang tercantum dalam Surat Perintah Kapolri Nomor 1583 Tahun 2022, Tedjo menjabat Kepala Tim Penyelidikan III Sub-Satgas Penyelidikan.
Namanya tercantum di struktur Satgas Merah Putih pada 2019 saat masih berpangkat ajun komisaris besar.
Mengenai rekam jejak Tedjo dan pasukannya, Tempo berupaya meminta konfirmasi kepada Kepala Densus 88 Antiteror Inspektur Jenderal Sentot Prasetyo. Namun, surat permohonan wawancara belum direspons hingga Jumat malam, 21 Mei 2024.
Berdasarkan laporan investigasi Majalah Tempo, dua mantan petinggi Densus 88 menuding pasukan yang dipimpin Tedjo sebagai sempalan Densus 88 Antiteror. Pasalnya, selama ini, pasukan tersebut kerap beroperasi di luar rantai komando satuan.
Mereka kerap mengabaikan perintah atasan, tapi tak pernah dijatuhi sanksi. Mereka juga jarang mengikuti sesi latihan fisik dan menembak yang diselenggarakan lembaganya.
“Mereka seperti kelompok tak bertuan karena tak mematuhi perintah pimpinan Densus 88,” ucap salah seorang mantan petinggi Densus 88 itu.
Keduanya mengungkapkan, pasukan Tedjo lebih identik sebagai “pasukan pemukul” dari Satuan Tugas Merah Putih ketimbang bagian dari Densus 88 Antiteror.
Hingga kini mereka lebih sering beroperasi membawa nama Satgas Merah Putih meski satuan tersebut sudah dibubarkan. Mereka bahkan tak pernah berburu teroris di daerah lagi karena kerap berdiam di Jakarta.
Di sisi lain, sejumlah sumber Tempo di sekitar Kejaksaan Agung memastikan, penguntitan dan teror terhadap Jampidsus dilakukan karena tim Febrie tengah menangani kasus-kasus kakap.
Salah satunya adalah korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah di Kepulauan Bangka Belitung periode 2015-2022.
Kasus ini diperkirakan merugikan keuangan negara dan lingkungan senilai Rp 300 triliun. Hingga akhir Mei 2024, penyidik Jampidsus sudah menetapkan 22 tersangka.
Seseorang yang mengetahui kasus tersebut mengklaim, teror dan penguntitan yang diterima Jampidsus serta Kejagung dilakukan karena penyidik telah menemukan catatan aliran uang dari salah seorang saksi.
Uang itu diduga mengalir ke sejumlah pengusaha hingga mantan pejabat. Di antaranya terdapat beberapa nama polisi aktif dan purnawirawan Polri.
Sumber: Tempo