'Corak Pemerintahan Prabowo dan Prospek Perlawanan Rakyat'
PRABOWO-Gibran telah secara resmi ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil presiden terpilih lewat proses kepemiluan yang dianggap penuh dengan kecurangan serta manipulasi aturan. Selain itu, terpilihnya Prabowo berpotensi memperlemah agenda HAM mengingat dirinya dikenal sebagai bekas tentara pelanggar HAM; sementara Gibran sendiri memperkuat praktik politik yang eksklusif mengingat statusnya sebagai anak Presiden Jokowi. Tidak heran jika kemudian banyak yang melihat terpilihnya pasangan ini sebagai awal dari berakhirnya demokrasi di Indonesia.
Walaupun masuk akal, namun kita perlu cermat memahami dinamika ekonomi-politik di balik “kemunduran demokrasi” ini. Dalam artikelnya, Abdil Mughis Mudhoffir melihat pandangan tentang kemunduran demokrasi dan bahkan sampai jatuh ke otoritarianisme mengabaikan faktor penting mengenai konstelasi oligarki.
Menurutnya, konfigurasi oligarki di Indonesia memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap demokrasi karena memungkinkan adanya kompetisi terbuka di antara mereka untuk menguasai institusi formal negara guna mempertahankan kekayaan. Dorongan ke arah otoritarianisme sangatlah detrimental bagi kepentingan para oligark sebagai suatu kolektif.
Di sini masalah terbesar dari pemerintahan Prabowo-Gibran justru bukan pada kemungkinan perubahannya, tapi pada sisi kesinambungannya. Semenjak tidak ada perubahan signifikan dari relasi oligarki yang ada, prospek demokrasi era Prabowo-Gibran tidak akan jauh berbeda dengan apa yang sudah terjadi di era Jokowi. Institusi demokrasi tetap akan berdiri namun manipulasi aturan main yang secara normatif anti-demokrasi akan tetap berlangsung marak.
Meski setuju dengan premis utamanya, saya melihat tetap ada yang baru dari agenda kesinambungan yang dicanangkan. Kebaruannya terletak pada bagaimana pemerintahan Prabowo-Gibran hendak melakukan akomodasi luas terhadap kekuatan-kekuatan sosial politik yang ada.
Akomodasi politik itu sendiri bukan barang baru dalam hubungan oligarki di Indonesia. Stabilitas politik menjadi keharusan mengingat konflik secara terus-menerus antara oligark justru menjadi ancaman eksistensial oligarki itu sendiri.
Akan tetapi, saya mencatat, skala yang tengah diupayakan kekuatan oligarki sekarang untuk memastikan agenda kesinambungan di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran berada dalam bentuk yang lain.
Akomodasi bukan hanya diberikan kepada mereka yang dianggap bagian dari kelompok oposisi seperti partai politik rival pada saat pemilu, namun juga terhadap kelompok yang dianggap berada di luar arena politik namun memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat.
Indikasi kuat bahwa pemerintahan Prabowo akan melanjutkan pola akomodasi meluas ini tampak pada rencana pembentukan kabinet yang jumlahnya membengkak menjadi 41 kementerian. Prabowo melihat pemerintahan haruslah diisi oleh banyak orang dengan alasan Indonesia adalah negara besar dan menghadapi tantangan yang juga besar.
Indikasi akomodasi meluas lain adalah rencana untuk memberikan izin usaha pengelolaan tambang kepada ormas dari berbagai agama (yang akhirnya diresmikan pada 30 Mei, –editor).
Praktik akomodasi meluas terhadap kelompok sosial juga bisa dilihat dengan diangkatnya Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea sebagai staf ahli bidang ketenagakerjaan Kapolri. Pengangkatan Andi Gani memiliki signifikansi simbolik.
Pertama, karena organisasi yang dipimpinnya merupakan salah satu organisasi pendiri Partai Buruh, partai yang pada masa pemilu lalu memosisikan diri untuk tidak mendukung satu pun kandidat presiden-wakil presiden. Kedua, sebab secara personal memiliki kedekatan dengan Megawati Sukarnoputri, figur yang dianggap berseberangan dengan Jokowi.
Akomodasi meluas terhadap kekuatan-kekuatan sosial yang ada tentu memiliki dampak terhadap bagaimana kekuasaan negara akan berlaku. Coen Husain Pontoh secara akurat berargumen bahwa dalam pemerintahan Prabowo justru kekuasaan negara akan semakin eksploitatif sekaligus represif terhadap kelas pekerja dan rakyat miskin.
Akan tetapi, berbeda dengan Coen, saya berpendapat dorongan akan peningkatan eksploitasi ini bukan hanya berasal dari tekanan struktural untuk mengakumulasi kapital, namun juga aliansi sosial pendukung yang cenderung gemuk. Aliansi yang gemuk mensyaratkan sumber daya yang besar untuk “menafkahi” mereka.
Maka, jika pun ada “kediktatoran kapital” sebagaimana yang dilihat oleh Coen, kita akan menemukan praktik kuasa kapital yang konvergen dengan kepentingan penguasaan sumber daya material para kelompok pendukung pemerintahan.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Pertanyaannya kemudian, sejauh mana praktik kenegaraan ini mampu memenuhi agenda stabilitas dan kesinambungan? Menurut saya, alih-alih menciptakan stabilitas, justru pemerintahan Prabowo-Gibran berpotensi untuk terjerembap ke dalam instabilitas yang menggerogoti agenda kesinambungan.
Ada dua sumber yang potensial untuk menciptakan instabilitas itu. Pertama, dari upaya akomodasi meluas yang terjadi selama konsolidasi oligarki belakangan ini. Akomodasi meluas mensyaratkan praktik akumulasi dengan tingkat keuntungan kapitalisme yang tinggi.
Sebagaimana yang sudah dikemukakan pula oleh Coen, kapitalisme Indonesia yang rapuh karena ketiadaan basis ekonomi produktif berskala besar serta berteknologi tinggi menciptakan keterbatasan bagi penciptaan surplus ekonomi.
Keterbatasan ini tentu menciptakan tekanan bagi Prabowo-Gibran pada bagaimana alokasi sumber daya yang optimal terhadap anggota aliansi pendukungnya sendiri. Keterbatasan surplus ekonomi tentu akan membuat penentuan alokasi tidak akan berlangsung secara merata atau akan ada kelompok sosial yang merasa diabaikan oleh pemerintah. Hal tersebut akhirnya berpotensi menjadi bara dalam sekam.
Sumber instabilitas kedua berasal dari eksternal pemerintahan. Praktik kekuasaan yang eksploitatif sekaligus ekstraktif terhadap kelas pekerja dan rakyat miskin tentu akan menciptakan reaksi perlawanan.
Dengan karakter negara yang represif seperti sekarang, masuk akal untuk melihat perlawanan ini bisa diredam melalui represi. Akan tetapi, menurut saya, dengan tingkat eksploitasi yang semakin dalam dan tinggi, terbuka pula peluang bagi eskalasi perlawanan yang mungkin tidak dapat diantisipasi kekerasan negara.
Represi negara mungkin tidak lagi mencukupi untuk meredam perlawanan rakyat yang meluas karena pendalaman eksploitasi.
Walau begitu, pemerintahan Prabowo-Gibran masih berpeluang untuk mempertahankan stabilitas kesinambungan jika ada perkembangan-perkembangan tertentu dalam pemerintahannya. Saya mencatat ada tiga perkembangan penting yang sangat mungkin membuat agenda kesinambungan berlangsung secara stabil: pertama, keberhasilan pemerintah untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari inisiatif industrialisasi nikel karena booming kendaraan listrik; kedua, kesolidan aliansi sosial pendukung pemerintah karena puas dengan pola alokasi sumber daya yang ada; dan terakhir, semakin melemahnya kepercayaan diri gerakan rakyat dalam melakukan perlawanan karena intensitas represi.
Apa pun itu, proyeksi stabilitas pemerintahan Prabowo-Gibran dalam upayanya melanjutkan pola kekuasaan Jokowi bukanlah proyeksi yang absolut. Hal ini setidaknya memberikan kita perspektif bahwa kemungkinan untuk ruang politik masihlah terbuka.
Permasalahannya kemudian adalah bagaimana gerakan rakyat menyikapi ruang politik ini. Yang jelas, gerakan rakyat perlu secara lebih kreatif dan tidak dogmatis mencari formula perlawanan yang dapat mengeksploitasi secara efektif kerentanan agenda stabilitas pemerintahan Prabowo-Gibran. Tentu saja ini bukan untuk sekadar memenangkan kepentingan rakyat dalam negara, tapi juga memastikan demokrasi tetap memiliki makna dalam pemerintahan nanti.
Sumber: IndoProgress