DEMOCRAZY.ID - Banyak orang mencari peruntungan berbisnis di Indonesia. Salah satunya adalah warga China bernama Kwik Djoen Eng.
Di Indonesia (dulu Hindia Belanda), Kwik selama 40 tahun lamanya sukses membangun kerajaan bisnis dari perdagangan gula.
Kerajaan bisnis itu beroperasi di Indonesia dan perlahan melebarkan sayap ke kawasan Asia. Bahkan, pernah masuk dalam 5 perusahaan terbesar dunia.
Julukan 'Raja Gula' pun tersemat kepadanya karena sukses jadi salah satu pengusaha terkaya di Tanah Air dan dunia.
Namun, imperium bisnisnya itu terpaksa berakhir tragis dan bangkrut dalam sekejap akibat terlilit utang.
Bagaimana ceritanya?
Bangun Kerajaan Bisnis
Sebagai catatan, Kwik Djoen Eng adalah pria kelahiran 1860 yang berasal dari Fujian, China. Sedari kecil, Kwik sudah akrab dengan dunia bisnis karena keluarganya hidup miskin. Baginya, pasar adalah tempat tinggal kedua selain rumah sendiri.
Profesi sebagai pedagang akhirnya membawa Kwik sampai di wilayah baru di selatan China, yakni Pulau Jawa.
Pada 1877, atau saat berusia 17 tahun, dia sampai di Jawa dan langsung bekerja bersama pamannya, Kwik Hoo Tong.
Bersama paman, dia berkeliling Jawa Tengah dan mempelajari karakteristik orang Belanda dan pribumi ketika berdagang.
Perjalanan itulah yang mendorong Kwik memberanikan diri membuka usaha sendiri. Bisnis awalnya adalah berdagang produk hasil bumi, tapi perlahan meluas hingga impor teh ke Taiwan.
Alexander Claver dalam Dutch Commerce and Chinese Merchants in Java (2014) menyebut, bisnis pertama Kwik ini berhasil membuatnya punya tabungan banyak dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun.
Modal tabungan inilah yang membuatnya jadi salah satu pendiri perusahaan Kwik Hoo Tong Handelmaatschappij (KHT) pada 17 Juli 1894. Perusahaan itu merupakan bisnis yang didirikan bersama 4 saudara Kwik sendiri.
Dalam perjalanan, KHT berbasis di Yogyakarta dan Solo, serta memperdagangkan berbagai hasil bumi, seperti gula, teh, beras, minyak kelapa, dan arang.
Kehandalan Kwik dibanding para saudara membuatnya dipercaya jadi pimpinan perusahaan, sehingga dia punya kuasa besar mengatur jalannya bisnis. Selama berbisnis, tulis Alexander Claver, Kwik pandai melobi banyak pemodal.
Dia berhasil membuat percaya Bank Sentral Hindia Belanda, de Javasche Bank (DJB), untuk mengeluarkan pinjaman. Uang ratusan ribu gulden pun keluar dari brankas DJB.
Selain itu, dia juga dipercaya berhasil menggaet Bank of Taiwan, Bank Jepang, hingga bank asal Inggris, yakni Standard Chartered sebagai pemodal.
Seiring waktu, bisnis inti KHT hanya perdagangan gula dan beras. Perusahaan punya banyak pabrik gula di Jawa Tengah.
Soal beras, KHT juga aktif mengimpor dan mengendalikan supply chain beras di Jawa. Kedua bisnis itu dimodali DJB yang hingga sebesar 75%.
Leo Suryadinata dalam Southeast Asian Personalities of Chinese Descent (2012) menceritakan, di tangan Kwik Djoen Eng KHT melesat jadi perusahaan papan atas yang sukses menyaingi perusahaan gula Kian Gwan, milik raja gula Oei Tiong Ham.
Kesuksesan ini semakin menjadi-jadi ketika terjadi Perang Dunia I (1914-1918). Perang membuat ekspor gula meroket hingga KHT menjadi perusahaan utama pengekspor gula, selain Kian Gwan.
Kesuksesan ini lantas membawa KHT masuk dalam 5 perusahaan terbesar di dunia pada 1920. Total keuntungannya, catat Alexander Claver, mencapai 14 juta gulden.
Pada titik ini, Kwik juga sukses membangun kerajaan bisnis di Surabaya, Jogjakarta, China, hingga Jepang. Selain itu, dia juga aktif berinvestasi di banyak perusahaan dan bank.
Ini menjadikannya sebagai investor kawakan di masanya. Dipercaya, dia memiliki harta kekayaan hingga 50 juta gulden. Dia juga memiliki istana-istana yang tersebar di beberapa wilayah.
Bangkrut Terlilit Utang
Seperti yang diutarakan, pergerakan bisnis KHT di tangan Kwik berbasis kredit dari bank. Leo Suryadinata menyebut, kewarganegaraan ganda Kwik, yakni Jepang dan China, membuatnya bisa memperoleh pinjaman dari bank-bank Taiwan dan bank Jepang.
Seluruhnya membuat Kwik punya modal besar, tapi juga utang hingga jutaan gulden. Memang keuntungan besar membuat utang tersebut awalnya bisa tertutup. Tapi, namanya bisnis pasti ada dinamika.
Salah satunya terjadi pada 1925. Saat itu terjadinya penurunan tajam harga gula dunia. Praktis, keuntungan KHT menurun drastis, sehingga kerugian terjadi.
Utang menumpuk, pembayaran macet. Total, utang pajak yang meski dibayar sebesar 9 juta gulden. Lampu kuning tanda bahaya mulai menyala.
Namun, Kwik tak bijak mengelola utang. Dia malah mengajukan pinjaman, untuk menutupi utang. Proses gali lubang tutup lubang ini terus berlanjut saat bertemu kasus serupa.
KHT praktis terlilit utang. Kondisi makin parah saat Kwik Siang Kaw, saudaranya yang juga mengelola KHT, wafat pada 1928.
Ancaman-ancaman ini mencapai puncak pada pergantian 1934-1935. Utang yang tak dibayar membuat seluruh bank memberhentikan kerjasama. Mereka juga sudah siap melucuti aset-aset.
Menariknya, Kwik juga punya akal terhindar dari itu semua lewat perubahan nama kepemilikan perusahaan. Tapi, tetap saja gagal.
Sejak akhir November 1934, bank sudah mewanti-wanti KHT dan Kwik agar segera membayar utang. Alexander Claver menceritakan, pihak berwenang mengancam akan melakukan intervensi dan mengajukan kebangkrutan jika tidak ada pembayaran atau kompensasi yang ditawarkan.
Pada akhirnya, di minggu terakhir Januari 1935, setelah 40 tahun membangun kerajaan bisnis di Indonesia dan dunia, Kwik menyerah.
KHT dinyatakan bangkrut. Begitu juga dirinya yang menyerah kepada Tuhan, alias meninggal dunia. Setelahnya, DJB mengambil alih aset KHT dan Kwik, tapi itu semua tidak bisa memulihkan seluruh utang.
Sumber: CNBC