DEMOCRAZY.ID - Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ledia Hanifa Amaliah mengkritik sejumlah permasalah terkait dengan dunia pendidikan, salah satunya adalah tingginya biaya terkait hingga adanya fenomena kapitalisasi perguruan tinggi.
Ia mengingatkan negara seharusnya hadir memberikan kemudahan akses pendidikan untuk mencerdaskan bangsa, bukan untuk sekadar memenuhi kebutuhan pasar.
Hal ini mengingat bahwa perguruan tinggi merupakan investasi negara terhadap tumbuh kembang masa depan generasi bangsa, bukan bisnis negara.
“Lihat sekarang (kondisi pengelolaan institusi pendidikan tinggi), kita bisa membayangkan. Perguruan tinggi negeri seharusnya bergerak di sektor akademis, bukan bisnis, tapi sekarang mereka harus berpikir bagaimana menghidupi bidang usahanya supaya (perguruan tinggi) hidup. Kalau tidak berhasil, semua operasional dibebankan kepada mahasiswa,” ungkap Ledia, dilansir Senin (13/5).
Ledia menyoroti soal desain pendidikan di Indonesia yang dinilai tidak matang direncanakan dan diantisipasi oleh pemerintah.
Jika ingin menciptakan ekosistem perguruan tinggi yang mandiri, menurutnya, desain tersebut disusun secara komprehensif dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait dan berlandaskan pada nilai yang diamanatkan oleh UUD 1945.
“Jika tidak berhasil, (manajemen perguruan tinggi) berarti menaikkan biaya kuliah kepada mahasiswa. Opsi ini seharusnya pilihan ke terakhir. Seharusnya, pemerintah melakukan antisipasi kalau ingin membuat kampus bisa mandiri. Kalau begini, bisa dikatakan bahwa desain (pendidikan) ini sebenarnya tidak matang,” terangnya.
Menutup pernyataannya, selain mematangkan desain pendidikan, Ledia mendorong Pemerintah Indonesia untuk melakukan rekonstruksi dana pendidikan di Indonesia.
Walaupun 20 persen APBN telah dianggarkan untuk pendidikan, akan tetapi anggaran tersebut tidak sepenuhnya dialokasikan dan dikelola Kementerian Pendidikan, Kebudayaaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Baginya, upaya ini krusial demi menghidupkan ekosistem pendidikan yang berkualitas serta terjangkau oleh seluruh masyarakat Indonesia.
“Yang dipentingkan adalah bagaimana anak-anak kita bisa mendapatkan pendidikan dengan kualitas terbaik, dengan pelayanan terbaik, dan dengan alokasi yang terbaik. Jadi, fungsi pendidikan itu betul-betul harus diarahkan kepada pendidikan, untuk pendidikan, di bawah pengelolaan pemantauan kependidikan,” pungkas Ledia.
UKT Mahal di PTN
Opini
Dalam tahun-tahun terakhir, fenomena UKT mahal di PTN seolah telah menjadi tren. Setelah sebelumnya ramai di ITB, terkini kasus UKT mahal meledak di Unsoed. Apa sebenarnya akar masalah dari biaya kuliah (UKT) di PTN yang mahal dan terus meningkat ini
Kenaikan biaya pendidikan di PTN dapat ditelusuri akarnya sejak era reformasi. Pasca reformasi 1998, pemerintah mencanangkan misi penyelenggaraan pendidikan tinggi yang berkualitas secara merata di seluruh tanah air. Untuk mengejar ambisi ini ditengah keterbatasan APBN, maka PTN diberikan otonomi, termasuk meminta dukungan masyarakat untuk ikut membiayai PTN.
Berbekal PP No. 61/1999 tentang Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN), sejumlah PTN seperti UI, UGM, IPB, ITB, USU, UPI, dan Unair, mendapatkan status BHMN dan memiliki otonomi untuk mengatur rumah tangga sendiri, termasuk soal kerja sama penelitian, penerimaan mahasiswa baru, hingga masalah keuangan.
Pasca PP No. 61/1999, beberapa PTN mulai membuka jalur penerimaan mahasiswa dengan tarif komersial untuk menarik pendanaan dari masyarakat di antaranya melalui pembukaan program non-reguler.
Sejak 2002, hampir semua PTN membuka program non-reguler dimana biaya pendidikan sepenuhnya dibebankan kepada masyarakat. Komersialisasi pendidikan oleh PTN mendapatkan pembenaran dari terbitnya UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Atas nama kemandirian keuangan, PT-BHMN membuka jalur penerimaan mahasiswa baru dengan besar kecilnya sumbangan sebagai dasar penerimaan. Arus besar komersialisasi pendidikan di PTN ini dikukuhkan oleh UU No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP).
UU No. 9/2009 substansinya mendorong kemandirian pendanaan PTN untuk meningkatkan pelayanan pendidikan kepada masyarakat.
Namun pada praktiknya, kemandirian dan otonomi kampus tidak disertai dengan bantuan dana APBN yang memadai, sehingga PTN dipaksa mencari sumber keuangan sendiri untuk membiayai operasional universitas. Dan sumber pendanaan yang paling mudah bagi PTN adalah menarik pungutan biaya pendidikan dari peserta didik.
Optimalisasi pendapatan dari peserta didik dilakukan PTN dengan cara memperbesar kuota penerimaan melalui jalur penerimaan dengan tarif komersial, yaitu jalur non-reguler atau jalur mandiri, dengan di saat yang sama menurunkan alokasi penerimaan mahasiswa dari jalur bersubsidi dengan biaya kuliah murah, yaitu jalur seleksi nasional.
Implikasinya, kesempatan bagi anak negeri dari keluarga miskin untuk mengakses PTN semakin mengecil.
Pada Maret 2010, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU No. 9/2009 tentang BHP. PP No. 66/2010 mengembalikan status PT-BHMN kembali menjadi perguruan tinggi yang diselenggarakan pemerintah.
Namun tak berselang lama, untuk mengisi kekosongan payung hukum penyelenggaraan pendidikan tinggi, terbit UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi yang antara lain mengatur kewenangan PTN-BH untuk membuka dan menutup program studi, mengembangkan kerja sama dan usaha, pendapatan tidak masuk sebagai pendapatan negara bukan pajak, serta pengelolaan keuangan yang lebih fleksibel.
Di era UU No. 12/2012, negara tetap dituntut berperan dalam pendanaan penyelenggaraan pendidikan tinggi. Melalui bantuan operasional PTN (BOPTN), beban kuliah yang ditanggung oleh mahasiswa akan berkurang.
Mahasiswa hanya menanggung biaya kuliah dengan sistem subsidi silang dibawah sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT). PTN juga diharuskan menerima minimal 20 persen mahasiswa berprestasi dari keluarga tidak mampu.
Namun terbatasnya BOPTN membuat biaya kuliah di PTN masih terasa sangat mahal bagi mahasiswa miskin.
Lemahnya bantuan APBN membuat PTN memiliki ketergantungan yang tinggi pada pendanaan dari masyarakat untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan tinggi. Lemahnya bantuan APBN, memaksa PTN untuk mencari pendanaan dari sumber lain untuk menutup beban operasional yang terus meningkat.
Namun alih-alih mencari pendanaan dari dunia usaha atau individu kaya, PTN secara sederhana lebih bertumpu pada pungutan pada peserta didik.
Sumber: NextPolicy