CATATAN POLITIK

Soekarno Tak Bertemu Marhaen, Rezim Widodo & Parpol Minim Pengetahuan Sehingga Semena-Mena Pajakin Rakyat'

DEMOCRAZY.ID
Mei 04, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
Soekarno Tak Bertemu Marhaen, Rezim Widodo & Parpol Minim Pengetahuan Sehingga Semena-Mena Pajakin Rakyat'
Soekarno Tak Bertemu Marhaen, Rezim Widodo & Parpol Minim Pengetahuan Sehingga Semena-Mena Pajakin Rakyat'


Soekarno Tak Bertemu Marhaen, Rezim Widodo & Parpol Minim Pengetahuan Sehingga Semena-Mena Pajakin Rakyat'


Oleh: M Yamin Nasution

Pemerhati Hukum


MARHAEN, tentunya sudah tak asing lagi bagi mayarakat Indonesia. Ibu Megawati pada suatu pidatonya menyatakan bahwa Marhaen adalah seorang tukang becak.


Rocky Gerung pada acara televisi ILC 2019 bahwa, Marhaen adalah seorang petani yang ditemui oleh Ir. Soekarno. Paska bertemu dan berbincang dengan petani tersebut maka lahirlah ide Marhaenisme oleh Ir. Soekarno.


Ibu Megawati, selain putri biologis sang proklamator kemerdekaan, beliau, seperti yang diketahui adalah tokoh besar negara Indonesia. Satu-satunya perempuan penentang rezim totalitarian yang banyak membangunkan semangat perjuangan kala itu.


Sedangkan Rocky Gerung, seperti yang ia sampaikan sendiri adalah orang yang memberikan pendidikan tambahan bagi kader PDIP.


Antara Ibu Mega dan Rocky Gerung berbeda  dalam memberikan pandangan tentang Marhaen, akan tetapi tukang becak dan petani identik dengan masyarakat kecil.


MARHAEN DAN MARHAINISME


Marhaenisme adalah azas perjuangan ideologi Soekarno, untuk membebaskan rakyat yang menderita penyakit feodal, pasif atau tak peduli dan penyakit minder diri berat “mindewaardigheids complex”.


Feodal saat memiliki kuasa, pasif dan diam walaupun tertindas, serta minder diri berat saat melihat orang memiliki matrealisme lebih.


Seperti orang desa minder berdebat dengan orang kota, orang lokal bangga dengan asing, atau orang-orang tinggi hati saat sekolah dikampus mahal dan besar.


Seharusnya tempat tidak mempengaruhi mental seseorang, sebab setiap orang memiliki kesamaan secara alamiah.


Orang desa dan orang kota sama, kuliah di kampus besar dan mahal atau kampus kecil, murah pada dasarnya sama, hanya tergantung seberapa maksimal seseorang menggali ilmu pengetahuan, dan seberapa besar kemanfaatan yang diberikan bagi bangsa.


Hingga kini, pandangan Soekarno tersebut masih terus terjadi, dampak berat penjajahan masih menyisakan penyakit besar bagi masyarakat “colonial syndrome”. 


Bahkan terdengar dari gedung DPRRI seorang anggota dewan mengatakan “anda sudah Doktor belum?” terhadap sesama anggota legislatif lain.


Penyakit tersebut menurut Soekarno dampak dari pengalaman lamanya dijajah oleh dua hal, terjajah secara politik dan secara ekonomi.


Malalui wadah Partai Politik PNI (Marhaen) maka semangat perjuangan dihimpun untuk mencapai kekuasaan tertinggi, sehingga saat kekuasaan ditangan maka mampu membawa negara menjadi maju dan seluruh rakyat bahagia dan makmur dengan merata tanpa pandang bulu.


Pandangan diatas menunjukkan bahwa secara ideal disebut sebagai politik alamiah “the  nature of politics”, dimana tujuan politik perebutan kekuasaan bersifat mulia, dan tak kalah mulianya saat kekuasaan didapat harus menyebarkan kabaikan yang luas, sinonim kebaikan yang luas adalah keadilan sosial.


MARHAEN


Marhaen adalah nama imajinasi yang digunakan oleh pemerintah Hindia Belanda jauh sebelum kemerdekaan.


Kondisi masyarakat kala itu yang banyak hidup miskin, menderita, penganguran atau kerja namun lepas tanpa kepastian pendapatan.


Hindia Belanda dalam rapat untuk menaikkan pajak bagi masyarakat, harus memprtimbangkan banyak hal tentang kebijakan yang akan di berlakukan sebagai pemerintah yang sah secara hukum internasional kala itu.


Perdebatannya adalah, “bagaimana bila seorang yang miskin tanpa pekerjaan tetap,anggap saja Marhaen bila di pagi hari ia kesawah bertani, siang sore hari menarik becak, atau malam hari Marhaen melakukan kerja sampingan lain (buruh), berapa nominal pajak yang harus dikenakan pada dirinya?”


Soekarno yang gemar membaca, menurut penulis juga membaca hal yang sama, dari bacaan tersebut ia melakukan kontemplasi/renungan spiritual terdalam, sehingga ia memiliki semangat dalam berjuang untuk membebaskan rakyat dari dampak buruk dua penjajahan yang diatas.


Tidak hanya Soekarno, demikian pula Soepomo, Hatta, dan lainnya bersepakat bahwa penjajahan politik dan penguasaan ekonomi asing adalah sumber masalah besar bagi bangsa Indonesia.


Pintu gerbang kemerdekaan adalah terbebasnya rakyat Indonesia dari penjajahan politik, diharapkan dengan politik mandiri Indonesia mampu bebas dari penjajahan kedua yaitu ekonomi.


Faktanya, Indonesia akhir-akhir ini Indonesia menuju penjajahan nyata ekonomi asing bahkan hingga puluhan bahkan ratusan tahun yang akan datang, dengam diberlakukannya hilirisasi yang keliru yang didasari oleh omnibuslaw.


Hilirisasi seharusnya memaksimalkan kekayaan alam untuk tidak di ekspor dan didominasi oleh negara, namun hilirisasi dengan membawa asing untuk mengeksplorasi secara bebas dan lama di Indonesia akan mematikan pengusaha menengah dan masyarakat adat dan lokal.


Perubahan pertama UU Agraria 1850, yaitu UU Agraria 1870 Hindia Belanda menegaskan bahwa, pemberlakuan HGU selama 75 tahun dengan tujuan secara radikal untuk memonopoli investasi asing.


Namun, Omnibuslaw mengatur lebih radikal dari UU Agraria Hindia Belanda, model yang sama dengan agraria Belanda yaitu menghidupkan mediator dalam urusan investasi, pada dasarnya ditentang keras oleh Soekarno dalam ideologi Marhainisme.  Dan dampak semua kebijakan akan memeras rakyat melalui pajak. ***

Penulis blog