DEMOCRAZY.ID - Lembaga pemeringkat Moody's menyoroti sejumlah masalah yang berpotensi menekan perekonomian Indonesia sepanjang 2024. Presiden Terpilih Prabowo Subianto harus waspada.
Senior Vice President Moody's Ratings, Eugene Tarzimanov mengatakan, selain efek perang atau konflik geopolitik yang mempengaruhi harga komoditas, juga ada permasalahan lain, yakni pelemahan ekonomi China.
"Jadi, tentu saja kita sedang mengamati perlambatan di China, bagaimana hal ini dapat berdampak pada banyak perekonomian lain di kawasan ini dan secara global," kata Eugene dalam program Power Lunch CNBC Indonesia, dikutip Selasa (14/5/2024).
"Karena selalu ada hubungan perdagangan yang signifikan, kan. Jadi kami memperhatikan sudut itu," tegasnya.
Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) pun sudah memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi China akan terus melambat dalam empat tahun ke depan.
IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi China akan turun menjadi 4,6% tahun ini, dari pertumbuhan 5,2% pada 2023, dan SEmakin menurun lagi menjadi 3,4% pada 2028.
Permasalahan kedua, Eugene mengatakan, tren suku bunga kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve yang berpotensi masih akan tinggi hingga 2026.
Bahkan, ia memperkirakan, The Fed masih akan berpotensi menaikkan suku bunga acuan Fed Fund Rate dua kali lagi pada tahun ini dari saat ini berada di level 5,25-5,50%. Kenaikan itu ia perkirakan terjadi pada kuartal III dan kuartal IV.
Dengan tren suku bunga kebijakan di AS yang masih tinggi dalam waktu lama atau higher for longer, maka aliran modal akan masih terus deras masuk ke AS, membuat nilai tukar dolar akan terus menguat.
Kurs mata uang negara lain pun akan melemah, membuat bank sentralnya juga akan mengikuti kebijakan suku bunga ketat seperti di AS untuk memberi daya tarik investasi portofolio ke investor.
Aliran modal itu akan membuat pasokan dolar di dalam negerinya terjaga untuk menjaga stabilitas nilai tukar mata uangnya terhadap dolar AS.
Namun, efek dari suku bunga tinggi ialah tingginya bunga pinjaman atau kredit yang bisa membuat ekspansi bisnis dan konsumsi turun. Ujunya pertumbuhan ekonomi tertekan.
"Jadi jka suku bunga di AS tidak bergerak sama sekali (tetap higher for longer), lalu bagaimana dampaknya terhadap suku bunga di pasar negara berkembang, termasuk di Indonesia," tutur Eugene.
Terakhir, atau masalah ketiga, Eugene mengatakan, Moody's kini tengah menyoroti besarnya utang luar negeri korporasi yang tinggi.
Jika tidak ada lindung nilai atau hedging terhadap utang itu, ia mengatakan maka akan semakin membengkak di tengah tren pelemahan nilai tukar rupiah dan suku bunga acuan Bank Indonesia yang tinggi.
Berdasarkan catatan Bank Indonesia, Posisi utang luar negeru swasta pada Februari 2024 pada kisaran US$ 197,4 miliar. Meningkat dari catatan pada Januari 2024 yang sebesar US$ 196,7 miliar.
Berdasarkan sektor ekonomi, ULN swasta terbesar berasal dari sektor Industri Pengolahan; Jasa Keuangan dan Asuransi; Pengadaan Listrik, Gas, Uap/Air Panas, dan Udara Dingin; serta Pertambangan dan Penggalian, dengan pangsa mencapai 78,3% dari total ULN swasta.
"Nah apakah banyak dari perusahaan-perusahaan ini memiliki buffer, ya, sekali lagi, itulah hal-hal utama yang kita perhatikan untuk Indonesia," tegas Eugene.
Sumber: CNBC