'Katanya Reformasi Tapi Masih Repot Nasi, Kemana Pemimpin Negeri?'
Pejabat kaya makin kaya, rakyat miskin makin miskin. Itulah yang terjadi ketika KKN merajalela dan tak bisa dibendung. Jika kejahatan korupsi masih saja terjadi, kemana pemimpin negeri yang terus berteriak Reformasi?
Tepat 26 tahun yang lalu, ribuan mahasiswa memadati gedung DPR/MPR untuk mendesak Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden RI yang telah diemban selama 32 tahun.
Desakan mundur dari berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa terus terjadi pada 12 hingga 15 Mei 1998 yang berujung pada kerusuhan, penjarahan, serta aksi anarkisme di berbagai daerah.
Kondisi inilah yang memaksa 'The Smiling General' itu mengumumkan pengunduran dirinya dari kursi kepresidenan pada Kamis, 21 Mei 1998 di Istana Merdeka.
"Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998," ujar Soeharto ketika itu.
Lengsernya Soeharto merupakan tanda berakhirnya Orde Baru dan dimulainya Era Reformasi yang memunculkan sejumlah tokoh seperti Amien Rais, Abdurraham Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, serta aktor politik lainnya.
Hampir seluruh lapisan masyarakat mengemas harapan kepada para tokoh Reformasi membawa perubahan yang lebih baik dari zaman Orde Baru.
Kini Reformasi telah berjalan 26 tahun dengan sejumlah pergantian presiden mulai dari BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan sekarang Joko Widodo (Jokowi).
Tak hanya itu, sejumlah aktor Reformasi lainnya juga pernah dipercaya sebagai wakil rakyat. Sebut saja Fadli Zon, Budiman Sudjatmiko, Fahri Hamzah, Adian Napitupulu, namun cita-cita Reformasi hingga saat ini dirasa masih belum semuanya tercapai.
Kenyataannya, praktik korupsi kolusi nepotisme (KKN) masih saja terjadi di setiap tingkatan, mulai dari pusat hingga kekuasaan paling bawah. Bahkan Indonesia masuk jajaran lima besar negara terkorup di kelompok ASEAN tahun 2023.
Kondisi ini tentu saja menjauhkan harapan kesejahteraan yang didambakan masyarakat kecil. Padahal, salah satu tujuan gerakan reformasi adalah terwujudnya kesejahteraan sosial dan terbebas dari praktik KKN.
Takluknya Aktor Reformasi
Masuknya sejumlah aktor politik Reformasi ke dalam parlemen rupanya belum bisa membawa Reformasi sesuai dengan harapan masyarakat. Padahal sebagai wakil rakyat, semestinya mereka mampu menyuarakan masyarakat
Pengamat Politik, Ray Rangkuti menilai para aktor politik itu sejatinya tidak menjiwai secara penuh tujuan dari yang disebut Reformasi. Bahkan ia menyebutnya dengan istilah takluk oleh politik.
"Ini orang-orang yang ditaklukkan oleh politik, bukan menaklukkan politik. Digenggam kekuasaan dan seperangkat jabatan, mereka mencampakkan idiom-idiom penting dalam berdemokrasi, dalam visi-visi penting Reformasi," ujarnya kepada Inilah.com.
Para aktor yang telah ditaklukkan oleh politik tersebut menurutnya tidak akan peduli dengan visi di luar kepentingan politiknya termasuk penguasa.
"Kemana arah angin, kemana kekuasaan berlabuh, dia akan ikut. Dia bisa mengubah semua apa yang dia pikirkan sebelumnya menjadi sesuatu yang berbeda," ucapnya.
Namun Direktur Lingkar Madani (Lima) ini tidak menyebut secara detail siapa saja aktor Reformasi yang menurutnya telah ditaklukkan politik tersebut. Karena diakuinya, tidak semua aktor Reformasi takluk oleh politik.
Berbeda dengan aktor Reformasi yang secara berani menaklukkan politik, biasanya memiliki komitmen dengan visi-misi yang diambil.
"Nah kebanyakan di kita termasuk sebagian dari aktor 98 itu, dimakan oleh politik itu. Mereka rela mencari berbagai argumen demi membenarkan tindakan mereka yang seolah-olah mengangkangi semangat Reformasi," ungkapnya.
Politik Jadi Panglima
Dalam kehidupan bernegara, sejatinya hukum adalah panglima tertinggi dalam kehidupan manusia untuk memperoleh keadilan. Namun kenyataannya di Indonesia tidak konsisten menerapkannya.
Pengamat Politik yang juga Peneliti Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro mengakui 26 tahun Reformasi kenyataannya KKN semakin marak. Ini menandai tidak tercapainya tujuan Reformasi.
Demokrasi yang disepakati sejak pecahnya Reformasi 1998 tidak membangun budaya politik yang mengedepankan nilai-nilai luhur seperti keadaban, kejujuran, etika dan moral politik.
"Komitmen para elit dan aktor sangat longgar dan tidak mantap. Mereka acapkali justru menjadi faktor yang menghambat proses konsolidasi demokrasi," ujarnya kepada Inilah.com.
Dirinya menyayangkan perilaku yang cenderung menghalalkan segala semua cara hanya untuk memuaskan kepentingannya.
"Realitasnya politik menjadi panglima. Nyaris tidak ada yang tidak dipolitisasi, hampir semua bisa dikemas menjadi komoditi politik," ungkapnya.
Sementara itu Ray Rangkuti menambahkan, pada akhirnya semua bersaing untuk menjadi pejabat negara. Karena jabatan itulah yang kemudian akan dielu-elukan dan dihormati.
Bahkan menurutnya, di era Jokowi ini pejabat sangatlah dimuliakan, sehingga mereka tidak boleh difitnah dan dikritik.
"Mereka boleh ngomong apa saja, tapi nggak bisa dipersoalkan secara hukum. Pada tingkat tertentu kita mengarah ke negara pejabat. Apa itu negara pejabat? Ya semua-semua sekarang pejabat yang jadi penentunya," ucapnya.
Kondisi seperti ini mengingatkannya tak berbeda dengan zaman Orde Baru, dimana pejabat adalah segala-galanya dan sulit disentuh oleh hukum.
"Kalau ada tindakan pejabat, ingat pasal pertama. Pejabat adalah segala-galanya. Situasinya kurang lebih sama (seperti Orde Baru). Orang berlomba-lomba menjadi pejabat, karena ada semua di situ. Kekuasaan di situ, kehormatan di situ, uang di situ," jelasnya.
Jika permasalahannya masih sama dengan pemerintahan zaman Orde Baru, maka apa yang diubah oleh pemimpin negeri yang mengatasnamakan Reformasi?
Pantas saja masih banyak terjadinya praktik KKN yang berujung pada kesenjangan sosial. Masyarakat akan terus mengalami kesulitan ekonomi karena tingginya harga kebutuhan pokok.
Jika praktik KKN masih belum bisa dibendung, maka jangan heran ketika si kaya akan semakin kaya dan kemiskinan semakin merajalela.
"Enak Jamanku Toh?"
Menjalankan episode baru yang bernama Reformasi rupanya tak semulus yang dibayangkan. Tak sedikit orang kecewa karena situasinya tak jauh berbeda dengan masa Orde Baru atau mungkin lebih parah.
Wajar saja banyak bermunculan di media sosial, poster, spanduk, bahkan di bak truk yang bergambar Presiden Soeharto dengan tulisan, "Piye Kabare? Enak Jamanku, Toh?" (Bagaimana kabarnya? Masih enak zamanku, kan?).
Apakah maraknya foto disertai slogan itu menandakan bahwa masyarakat kembali merindukan zaman Soeharto?
Menanggapi hal ini, Siti Zuhro menjelaskan romantisme masa Orde Baru sangat mungkin terjadi. Terlebih lagi jika masyarakat saat ini mengalami keterpurukan ekonomi yang lebih sulit.
Biasanya ini ditandai dengan tingginya harga kebutuhan pokok. Karena di era Soeharto, harga barang cenderung stabil dan terjangkau.
"Romantisme ke masa lalu dan membanding-bandingkan era dulu dan sekarang, senantiasa ada. Terlebih ketika era sekarang dirasakan lebih tidak menjamin kesejahteraan masyarakat," katanya.
Jika berkaca pada masa kepemimpinan Soeharto, masyarakat yang tidak menggubris urusan politik dan pemerintahan tentunya sangat merindukan masa itu. Dimana harga sandang pangan murah, bahan bakar minyak (BBM) pun terjangkau, serta nilai tukar rupiah pada dolar AS pun rendah.
Mengenai hal ini, Ray Rangkuti mengaku tidak mengetahui secara pasti apakah masyarakat benar-benar merindukan era Soeharto atau hanya sekadar pengingat untuk pemerintahan saat ini.
Karena beredarnya gambar Soeharto yang khas dengan senyumnya itu disertai lambaian tangannya dan slogan bisa jadi hanya sindiran untuk pemimpin di era Reformasi selama 26 tahun ini.
"Saya tidak tahu persis seperti apa. Entah itu bagi orang lain," ucapnya.
Meski begitu dirinya menjelaskan cita-cita Reformasi tidak sepenuhnya gagal total, namun masih banyak yang harus dibenahi. Seperti halnya di era Jokowi yang mengalami peningkatan dalam infrastruktur.
"Jadi kalau fisik ini harus saya akui di era Jokowi ini bagus. Tapi kalau kaitannya dengan rohani bangsa, etik-moral bangsa sebaliknya. Pak Jokowi ini adalah orang yang membawa kita kembali ke pandangan yang seolah-olah bernegara itu tidak memerlukan moral," katanya.
Menurutnya, Reformasi tidak hanya pembangunan fisik atau infrastruktur tapi juga pembangunan mentalitas bangsa serta pembangunan rohani bangsa. Karena itu disebut dengan Reformasi untuk demokrasi.
"Kalau sekadar membangun fisik ya enggak perlu Reformasi, Pak Harto juga dulu klaimnya kan Bapak pembangunan. Setidaknya itu disampaikan oleh para pendukungnya," ungkapnya.
PR Pemimpin Negeri
Sejak lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998, harapan memberikan harapannya kepada pemimpin negeri untuk membawa bangsa menjadi lebih baik. Hal utama yang mendasar adalah kebutuhan pokok, pendidikan, dan kesehatan.
Harapan itu akan terus menjadi PR bagi setiap pemimpin negeri yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya secara merata.
Siti Zuhro menjelaskan harapan ini akan menjadi tugas berat pemerintahan selanjutnya yakni Prabowo Subianto yang juga pernah menjadi bagian dari Orde Baru.
"Pekerjaan rumah pemerintah baru pastinya tidak ringan. Kesenjangan sosial ekonomi dan masalah kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan merupakan bagian krusial pelayanan publik yang sampai saat ini belum memadai," ujarnya.
Menurutnya, roh gerakan Reformasi 1998 adalah pemberantasan KKN, sehingga tugas penting pemerintahan yang baru nanti adalah memastikan KKN tereliminasi secara signifikan dalam lima tahun ke depan.
"Kegagalan dalam mengeliminasi KKN akan membuat Indonesia makin sulit bersaing dengan negara-lain lain," tandasnya.
Sumber: Inilah