DEMOCRAZY.ID - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mendapat banyak kritik lantaran buru-buru mensahkan sejumlah Rancangan Undang-undang (RUU) yang mendapat kritik tajam dari publik.
Mulai dari RUU Kementerian Negara, Mahkamah Konstitusi (MK), Penyiaran, hingga Kepolisian.
Pembahasan RUU tersebut yang dilakukan jelang transisi pemerintahan Joko Widodo ke Prabowo Subianto pada Oktober 2024 mendatang itu menuai perhatian masyarakat lantaran ada pasal kontroversial hingga waktu pembahasan yang cepat dan tidak transparan.
Di balik gaduh pembahasan RUU oleh DPR tersebut, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus khawatir ruang partisipasi publik dalam proses legislasi terancam.
"Dampak utama proses pembahasan RUU tertentu yang dilakukan secara cepat dan terburu-buru adalah hilangnya ruang partisipasi publik yang seharusnya menjadi syarat penting dalam pembentukan legislasi," ujar Lucius kepada CNNIndonesia.com melalui pesan tertulis, Selasa (21/5).
Menurut dia, partisipasi publik itu hanya mungkin terjadi jika tersedia ruang yang leluasa untuk memahami urgensi, membaca draf RUU, memberikan masukan ke DPR, menunggu respons masukan yang diberikan, hingga keputusan final pada saat pengambilan keputusan di tingkat I maupun II.
Tahapan-tahapan di atas, terang Lucius, hanya bisa berlangsung dalam sebuah situasi pembahasan yang tak tergesa-gesa.
Distribusi informasi dari ruang pembahasan di DPR hingga publik di seantero Indonesia harus dipastikan terlaksana dengan maksimal.
"Proses pembahasan dengan tahapan yang melibatkan publik itu yang akhirnya dikorbankan oleh DPR dalam skema pembahasan RUU-RUU MK, Kementerian Negara, Penyiaran, dan lain-lain," imbuhnya.
Lucius menilai DPR sok tahu atau tidak mau tahu dengan apa yang diinginkan oleh publik.
Ia memandang sikap tersebut mungkin saja merupakan buah interpretasi yang keliru atas makna perwakilan rakyat yang menjadi identitas DPR.
Ia mengatakan dampak lanjutan dari kesoktahuan DPR itu adalah RUU yang dihasilkan bisa merugikan kepentingan rakyat akan tata kelola pemerintahan yang demokratis, bersih, transparan, efektif dan efisien.
DPR akan menjadi alat kekuasaan, alat oligarki yang justru menyingkirkan rakyat yang diwakili.
"Jika DPR menjadi alat kekuasaan, maka demokrasi kita sesungguhnya hanya tipu-tipu saja. Pemerintahan milik rakyat dalam demokrasi hanya tinggal teori. Dalam situasi seperti ini, pemerintahan yang otoriter dengan mudah mendapatkan ruang untuk berkuasa penuh," kata dia.
Lucius mengira Pasal-pasal dalam beberapa RUU yang dibahas kilat oleh DPR memberikan gambaran jelas mengenai skema pemerintahan ke depan yang makin otoriter.
Revisi UU MK misalnya yang fokus mengatur soal nasib hakim konstitusi yang dikendalikan oleh pihak pengusung, menghilangkan independensi para hakim yang seharusnya menjadi prasyarat utama kerja hakim konstitusi.
Padahal, menurut Lucius, tanpa independensi, sulit membayangkan MK akan menguji secara objektif uji materi UU yang merupakan hasil kompromi DPR dan Pemerintah.
Kemudian Revisi UU Kementerian Negara yang memberikan keleluasaan kepada presiden untuk membentuk kabinet semaunya.
Lucius memandang seolah-olah prerogatif presiden mengangkat menteri tak cukup untuk menunjukkan kekuasaan presiden atas kabinet.
Dengan menghilangkan batasan jumlah menteri, kata Lucius, potensi kabinet menjadi sarana balas budi menjadi mungkin.
Ia menyatakan menteri yang menjabat karena balas budi dari presiden, sangat mungkin tidak kompeten.
Belum lagi karena urusan balas budi itu, anggaran kementerian berpotensi akan diselewengkan untuk kepentingan partai politik yang menjadi pihak pelaku politik transaksional dengan presiden.
"Semua ini nampak sistematis membawa bangsa kita menuju pada era kegelapan demokrasi," ucap Lucius.
"Peran DPR menjadi sangat penting. Salah melahirkan UU risikonya akan ditanggung seluruh rakyat Indonesia. Maka, jika DPR sadar akan dampak yang luar biasa ini seharusnya mereka perlu meninjau kembali RUU-RUU yang dibahas tergesa-gesa itu," tandasnya.
Autocratic Legalism
Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Herdiansyah Hamzah 'Castro' menilai tindakan DPR yang tergesa-gesa membahas sejumlah RUU merupakan bentuk dari autocratic legalism, yakni penggunaan instrumen hukum untuk kepentingan kekuasaan, bahkan dengan melabrak prinsip-prinsip demokrasi.
Castro mengingatkan situasi saat ini sudah terjadi sejak Revisi UU KPK, Minerba, MK, hingga Omnibus Law Cipta Kerja.
"Jadi, UU dibuat hanya untuk kepentingan kekuasaan, tidak lagi mengabdi untuk kepentingan publik," kata Castro melalui pesan tertulis.
Ia mengatakan DPR mengulangi lagi dalam konteks RUU Kementerian, MK, Penyiaran, hingga Kepolisian.
Ia memandang upaya tersebut tak lebih hanya untuk memuaskan syahwat politik kekuasaan.
"Kalau kita lacak intensinya, upaya untuk memastikan transisi dari rezim sekarang ke rezim penggantinya, berjalan mulus," imbuhnya.
Castro pun keberatan dengan alasan tanggung jawab di sisa masa jabatan yang ada. Ia menyebut alasan itu klasik.
"Kalau logikanya tanggung jawab, mestinya yang dikebut itu RUU Perampasan Aset, RUU Masyarakat Adat, dan RUU prioritas lainnya," ucap Castro.
Pengajar dari Universitas Mulawarman (Unmul) ini berpendapat seharusnya situasi semacam itu diatasi melalui skema lame duck period, di mana DPR dan pemerintah tidak boleh mengambil kebijakan di sisa masa jabatan yang penggantinya sudah ada.
"Jarak vakum itu mesti dipangkas. Sebab, kebijakan yang diambil di masa lame duck period ini sarat kepentingan politik dibanding tujuan hukumnya," ungkap Castro.
Sumber: CNN