'Serangan Banteng untuk Jokowi'
“Saya mau pensiun pulang ke Solo.” Itulah jawaban pendek Presiden Joko Widodo saat menanggapi isu akan menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan usai masa jabatannya berakhir Oktober 2024.
Jawaban itu dilontarkan Jokowi pada Kamis, 5 Oktober 2023 usai memimpin upacara peringatan HUT TNI di Lapangan Monas.
Pernyataan tersebut sekaligus merupakan jawaban Jokowi atas usul dari Guntur Soekarnoputra yang berharap mantan Gubernur DKI Jakarta itu meneruskan estafet kepemimpinan PDI Perjuangan dari Megawati Soekarnoputri.
Beberapa bulan berselang, rumor pengambilalihan kursi Ketua Umum PDI Perjuangan oleh Jokowi kembali memanas.
Hal ini dipicu pernyataan Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto dalam diskusi di Jakarta, Selasa 2 April yang lalu.
“Jadi pertama itu abuse of power. TNI Polri juga banyak saksi yang menyatakan. kemudian kendaraan politik dulu adalah Golkar, sekarang gagasan suatu koalisi besar permanen, rencana pengambil alihan Golkar dan PDIP,” ungkap Hasto saat mengawali pernyataannya.
Dia melanjutkan, dalam kabinet Jokowi, ada menteri powerfull dan menteri super powerfull.
Namun, yang mendapat tugas untuk menjembatani pengambilalihan kursi Ketum PDIP ialah menteri powerfull.
“Jauh sebelum pemilu, 5-6 bulan, ada seorang menteri powerfull, ada yang super powerfull dan powerfull, supaya nggak salah image,” ujarnya.
“Ini (menteri powerfull) ditugaskan bertemu Pak Ryaas Rasyid oleh Jokowi. Pak Ryaas Rasyid ditugaskan untuk membujuk Bu Mega agar kepemimpinan PDIP diserahkan Pak Jokowi,” sambung Hasto.
Sama halnya ketika muncul usulan dari Guntur Soekarnoputra, Jokowi pun langsung merespons pernyataan Hasto.
“Bukan Golkar?” sambil balik bertanya, mengingat selama ini dia justru dirumorkan mengambil alih Partai Golkar.
Mantan Wali Kota Solo ini merasa heran dengan bersliwerannya rumor-rumor yang mengaitkan dirinya dengan kursi ketua umum partai politik. Dia meminta agar pihak-pihak tersebut tidak memunculkan rumor semata.
“Katanya mau ngerebut Golkar, katanya mau ngerebut, masa semua mau direbutin semua, jangan seperti itu, jangan seperti itu,” tukas Jokowi.
Antara Kubu Jokowi dan Megawati
Pengamat politik dari Unair, Airlangga Pribadi menilai bahwa bila tudingan Hasto benar adanya, maka hal itu bisa membuka puzzle yang selama ini menimbulkan tanda tanya soal adanya pembelahan politik di internal PDI Perjuangan antara Jokowi dengan Megawati Soekarnoputri.
“Karena itu bisa menjadi jawaban, apa yang bisa membuat Jokowi tetap berada di pusaran kekuasaan usai jabatannya berakhir. Tentu menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan dapat menjadi salah satu opsi yang menarik,” ujarnya, Sabtu 6 April.
Meski belum tentu terbukti kebenarannya, Angga-sapaan akrab Airlangga Pribadi-melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang rasional dan logis jika terjadi.
Tapi, dari sisi kemungkinan, harus diakui rumor tersebut akan sulit terwujud sebagai imbas dari pertarungan politik di Pilpres 2024.
“Dampak dari pilpres kemarin menimbulkan kesan kuat bahwa di internal PDI Perjuangan masih belum bisa menerima sosok Jokowi. Hal ini yang bisa menghambat bila Jokowi memang berniat mengambil kursi ketua umum dari Megawati Soekarnoputri,” terangnya.
Angga menambahkan, opsi lain yang bisa diambil Jokowi bila tetap ingin berada di pusaran kekuasaan adalah menjadi Ketua Umum Partai Golkar.
Apalagi, posisi Partai Golkar merupakan parpol pemenang kedua di bawah PDI Perjuangan dalam pemilihan legislatif yang lalu.
Dia menduga, tudingan yang dilontarkan Hasto Kristiyanto bertujuan agar publik mengetahui bagaimana pertarungan politik di internal PDI Perjuangan melibatkan Jokowi tidak bisa diterima oleh internal partai pimpinan Megawati tersebut.
“Bukan tidak mungkin ke depannya akan ada lagi yang dibuka terkait konflik atau benturan di internal PDI Perjuangan yang melibatkan Jokowi. Saya pikir ini belum semua dibuka ke publik. Saya menduga masih ada kartu truf yang belum dibuka oleh PDI Perjuangan,” tutur Angga.
Mungkinkah Sekjen PDIP Berdusta?
Direktur eksekutif PPI, Adi Prayitno menyatakan, isu suksesi kepemimpinan di sebuah parpol yang menyeret nama Jokowi bisa saja benar maupun hanya sebatas rumor.
“Tapi itu hanya merupakan konsumsi elite politik, bukan sekadar obrolan warung kopi,” imbuhnya.
Dia menambahkan, dalam kasus tudingan Jokowi mengambil alih PDI Perjuangan, publik dapat berasumsi bahwa hal itu benar mengingat yang melontarkan adalah figur Hasto Kristiyanto yang notabene Sekjen PDI Perjuangan.
“Kalau sekelas Sekjen partai, apakah mungkin berbohong? Meskipun kita semua tahu bahwa suara resmi dari PDI Perjuangan tentu Bu Megawati,” tegasnya.
Adi mengatakan, alasan Hasto semakin keras menyerang Jokowi dan keluarga besarnya merupakan babak lanjutan dari “perang saudara” yang dimulai sejak Pilpres 2024.
Hal ini terlihat dari seringnya Hasto membuka rahasia dapur PDI Perjuangan yang melibatkan Jokowi, termasuk penyesalan memberikan karpet merah bagi Jokowi dan keluarganya di kancah politik Indonesia.
“Tidak mengherankan bila ke depannya, PDI Perjuangan membuka ‘borok’ Jokowi lainnya yang selama ini mereka tutup rapat. Ini sebagai ekspresi kekecewaan mereka kepada Jokowi yang selama ini dianggap sebagai bagian dari keluarga besar PDI Perjuangan,” tukasnya.
Dia mengingatkan, sebelum dikaitkan dengan kursi Ketua Umum PDI Perjuangan, Jokowi sudah terlebih dahulu dikaitkan dengan Partai Gerindra dan Golkar.
Bahkan Adi menyebut bahwa koalisi antara Jokowi dan Prabowo Subianto menimbulkan persepsi publik jika Jokowi sudah ‘di-Gerindra-kan’.
“Satu hal yang publik tidak boleh lupa bahwa di politik mungkin pembicaraan seperti itu memang ada di bawah permukaan yang hanya diketahui segelintir orang. Hal itu yang mungkin bisa terwujud. Tapi ketika sudah dibuka ke publik, ‘barang’ ini tidak akan terjadi,” beber Adi.
Menurut dia, merupakan hal yang wajar bila Jokowi selalu dikaitkan dengan suksesi kepemimpinan parpol.
Karena, sudah ada prediksi-prediksi yang menyebut bahwa sebenarnya Jokowi dalam dua periode kepemimpinannya tidak termasuk presiden yang powerfull.
Di periode pertamanya, Jokowi selalu dianggap sebagai petugas partai seperti yang kerap dinyatakan oleh Megawati Soekarnoputri. Hal ini yang membuat Jokowi seperti inferior terhadap parpol termasuk PDI Perjuangan.
Memasuki periode kedua, Jokowi yang seolah sedang menikmati masa jabatannya sebagai presiden dihantam oleh pandemi Covid-19 selama dua tahun. Persoalannya adalah ketika pandemi usai, masa jabatan Jokowi justru akan berakhir.
“Jadi seperti wajar saat muncul isu jabatan tiga periode, perpanjangan masa jabatan karena pandemi dan selalu dikaitkan Jokowi ingin punya pengaruh politik setelah tak lagi menjadi presiden. Apalagi dengan posisi Gibran saat ini. Itu alasan yang sangat rasional jika Jokowi dikaitkan dengan kursi ketua umum parpol, karena dengan cara itu pengaruh dan determinasi Jokowi akan dipertimbangkan usai lengser,” tegas Adi.
“Nah, bila melihat situasi terkini, hubungan Jokowi dengan PDI Perjuangan itu sudah ‘wassalam’. Kalau memang ingin masuk ke parpol lain, kemungkinan besar ya di Partai Golkar atau Gerindra,” sambungnya.
Semua Demi Gibran
Politisi senior Zulpan Lindan justru mengungkap hal yang cukup mengejutkan. Dia menceritakan, pada tahun 2014, dia sempat berkomunikasi dengan Surya Paloh.
Dalam pembicaraan itu, sempat tercetus bahwa akan menjadi hal yang luar biasa jika Jokowi bersedia menjadi Ketua Dewan Pembina Partai NasDem.
“Meski itu sudah lama, tapi dengan posisi NasDem sekarang, tentu menjadi opsi yang menarik bagi seorang Jokowi jika bersedia menjadi Ketua Dewan Pembina NasDem,” ungkapnya.
Direktur eksekutif Indobarometer, Muhammad Qodari memiliki pendapat berbeda. Dia menilai, Jokowi bisa saja tidak akan bergabung dengan parpol manapun.
Sebab, Jokowi bisa saja mendorong Gibran Rakabuming Raka untuk bergabung dengan parpol di luar PDI Perjuangan.
“Bisa saja Mas Gibran bergabung ke Golkar. Ini bisa saling menguntungkan baik untuk Gibran maupun Golkar di masa depan. Gibran bisa menduduki posisi strategis termasuk ketua umum sementara Golkar bisa menggaet pemilih muda di pemilu-pemilu yang akan datang,” ujarnya.
Sementara di PDI Perjuangan, bisa saja Jokowi masih memiliki pengaruh melalui faksi-faksi yang ada di internal.
Dia menduga bahwa saat ini sudah terjadi ‘pembelahan’ atau faksi terkait suksesi kepemimpinan PDI Perjuangan.
“Saya melihatnya seperti itu. Ada faksinya Prananda, di sisi lain ada faksinya Puan Maharani. Bacaan saya, faksinya Mbak Puan lebih terbuka untuk tetap berkomunikasi dengan Pak Jokowi dibandingkan faksinya Mas Prananda,” kata Qodari. ***