DEMOCRAZY.ID - Gempuran berbalas antara Iran dan Israel makin memanas. Baru-baru ini, Iran secara resmi melakukan serangan militer ke wilayah Israel yang kemudian dibalas kembali oleh Israel.
Serangan Iran pada pekan lalu melibatkan lebih dari 300 drone dan rudal yang beberapa di antaranya berhasil masuk ke teritori Israel.
Gempuran militer Iran merupakan balasan terhadap serangan Israel terhadap konsulatnya di Damaskus pada 1 April 2024.
Dalam serangan tersebut, tercatat tujuh petugas Garda Revolusi termasuk dua komandan senior dinyatakan tewas.
Kejadian serangan tersebut praktis membuat ketegangan kedua negara semakin meningkat.
Sementara itu, Israel melancarkan serangan balasan ke Iran, yang oleh Teheran disebut hanya serangan drone kecil.
Namun, siapa sangka, Iran dan Israel dulunya merupakan negara yang tidak bermusuhan.
Iran sebelumnya sempat mengakui kedaulatan Israel pada tahun 1950, bahkan menjadi salah satu negara Muslim pertama yang melakukannya.
Namun, semua berubah sejak terjadi Revolusi Islam di Iran pada 1979.
Iran kemudian tak senang terhadap keberadaan Israel sejak 1979. Alasannya terkait ideologi.
Elit Iran menganggap Israel sebagai penjajah karena telah terbukti menindas bangsa Palestina.
Dari sinilah, Iran sangat galak terhadap Israel dan sekutu setianya, Amerika Serikat. Begitu pula Israel dan AS yang agresif kepada Iran.
Permusuhan ini tumbuh selama beberapa dekade ketika kedua belah pihak berusaha untuk memperkuat dan mengembangkan kekuatan dan pengaruh mereka di wilayah tersebut.
Kini, Iran mendukung jaringan "poros perlawanan" yang terdiri dari kelompok-kelompok politik dan bersenjata di Lebanon, Suriah, Irak, dan Yaman.
Israel pun telah beberapa kali melakukan serangan terhadap Iran, baik itu melalui spionase atau sabotase.
Sempat mesra
Meski begitu, kondisi yang saling hajar saat ini berkebalikan dengan peristiwa sebelumnya.
Sebelum tahun 1979 atau saat Republik Islam Iran belum berdiri, Iran-Israel merupakan sekutu mesra.
Ketika Israel diproklamirkan, banyak negara Arab yang mayoritas Muslim menentang pendiriannya. Salah satu cara untuk meredam tentangan tersebut adalah lewat kerjasama.
Pada titik ini, Iran jadi salah satu negara yang menerima dengan tangan terbuka kerjasama Israel.
Di bawah kuasa, Mohammad Reza Pahlavi Iran akhirnya menyetujui proposal kerjasama diplomatik dengan Israel.
Reza yang pro-Barat sedari awal telah melihat cerahnya masa depan Iran jika hubungan dengan Israel terjalin.
Pasalnya, dia takut terhadap agresi Uni Soviet di Timur Tengah. Tidak menutup kemungkinan, sewaktu-waktu Iran terpengaruh oleh rezim komunis bawaan Soviet.
Jadi, sebagai upaya mencari bekingan, Iran menjalin hubungan dengan Israel pada 1953. Seperti dugaan Reza, hubungan bersama Israel membuat Iran menjadi 'cerah', khususnya dari segi ekonomi.
Marta Furlan dalam studi berjudul "Israeli-Iranian Relations" (2022) menjelaskan, beberapa kali Iran mendapat proyek menguntungkan hasil kerjasama Israel dan AS.
Proyek ini lantas membuat pendapatan negara meningkat pesat. Selain itu, kedua negara juga saling terlibat di sektor militer.
Pada 1960-an, misalnya, kedua negara menganggap Irak sebagai ancaman bersama.
Bahkan, secara terbukti membantu gerakan Kurdi yang memberontak di Irak. Tak hanya itu, keduanya juga sempat mengerjakan persenjataan rudal bersama.
Semua itu dilakukan selama lebih kurang 20 tahun, atau saat berulangkali terjadi aksi penindasan Israel terhadap Palestina, negara yang sangat dibela oleh negara Muslim di seluruh dunia.
Namun, kemesraan itu sirna pada 1979. Revolusi Iran membuat Reza Pahlavi terguling dari kursi kekuasaan.
Revolusi itu juga mengubah Iran menjadi Republik Islam Iran yang sangat garang terhadap Israel dan AS.
Sumber: CNBCCNBC