DEMOCRAZY.ID - Kini, nilai tukar rupiah semakin tak berharga di hadapan dolar AS. Pada Jumat (19/4/2024), kurs mencapai Rp16.200 per dolar AS (US$). Membuat beban hidup rakyat kecil semakin berat.
Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menerangjan, pelemahan mata uang garuda ini, jelas berdampak kepada masyarakat secara luas. Khususnya kaum wong cilik yang penghasilannya pas-pasan.
Kalau dolar AS mahal, kata Bhima, berdampak kepada semakin mahalnya harga barang. Khususnya bahan pangan yang diimpor dari luar negeri.
"Harga kebutuhan pokok terutama yang impor pasti naik. Kenaikan harga itu, tidak sebanding dengan kenaikan pendapatan mereka," kata Bhima, dikutip Sabtu (20//4/2024).
Dampak lainnya, kata Bhima, harga komoditas energi khususnya BBM bakal naik. Tentu saja, membuat biaya transportasi ikut naik.
"Nah, kalau faktor transportasi kena maka lainnya bakalan kena. Biaya hidup atau rumah tangga semakin tinggi. Sementara pendapatan tidak naik. Atau naiknya lebih rendah," kata dia.
Selanjutnya, kata dia, masyarakat yang masih memiliki tanggungan kredit rumah (KPR), kendaraan, smartphone atau lainnya, siap-siap dompetnya jebol. Lantaran cicilan bank mengalami kenaikan.
"Ketika inflasi tinggi, peluang suku bunga tinggi semakin besar," paparnya.
Artinya, kata Bhima, kenaikan harga barang dan cicilan bank, berdampak kepada kenaikan biaya hidup.
Celakanya, penghasilan tidak naik. kalaupun naik, angkanya lebih rendah ketimbang inflasi.
"Hasilnya ya daya beli masyarakat semakin lemah. Celakanya, ekonomi kita sangat bergantung kepada daya beli. Jangan harap bisa tumbuh tinggi,: kata Bhima.
Ekonom Indef, Eisha Maghfiruha Rachbini mengatakan, saat ini, adalah situasi sulit, karena nilai tukar rupiah menembus batas psikologis Rp16.000/US$. Tugas Bank Indonesia (BI) untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi.
"Ini dampaknya ke mana-mana. Daya beli melemah, demikian pula sektor riil," kata Eisha dalam diskusi Perempuan Indef secara daring, Sabtu (20/4/2024).
Menurut salah satu 'Kartini' Indef ini, pemulihan mata uang Garuda sangat ditentukan bank sentral AS.
Ketika The Fed turunkan suku bunga acuan (Fed Fund Rate/FFR), maka rupiah bakal menguat dalam waktu cepat.
"Akan banyak aliran dana asing yang masuk ke Indonesia," ungkapnya.
Dia bilang, posisi Indonesia berbeda dengan pasca pandemi COVID-19. Sejak 2021, Indonesia merup berkah karena lonkjakan harga komoditas ekspor unggulan yakni minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan batu bara.
"Kini, harga komoditas malah turun atau bahkan turun. Tidak ada komoditas unggulan lainnya. Untuk itu, pemerintah perlu punya beberapa skenari serta penyelesaiannya. Baik itu jangka pendek, menengah dan panjang. Sehingga ketika da yang berubah jangan kaget. Kaget itu yang bikin semuanya berantakan," kata Eisha.
Sumber: Inilah