Pelanggaran Etik Adalah Kejahatan: 'Tulisan Khusus Untuk Jimly, Yusril, dkk'
Oleh: M Yamin Nasution
Pemerhati Hukum
Gelumatnya sengketa Pilpres 2024 yang dimulai sejak Putusan MK No 90 yang membawa Usman terseret dalam pelanggaran etik.
Sehingga pelanggaran etik/moral menjadi perdebatan panjang yang tak kunjung usai, “apakah pelanggaran etik adalah pelanggaran hukum positif, dan bagaimana sanksinya?”.
Hal ini juga telah menggagahi keluarga professor dan ahli hukum Indonesia dengan mempertontonkan rendahnya pengetahuan hukum dinegara ini;
Pertama-tama, ahli hukum Indonesia tak mampu membedakan antara norma sosial dan norma hukum (etika sosial dan etika hukum).
Norma sosial adalah norma yang berkaitan dengan estetika demi mempertahankan eksistensi bahasa dan budaya, hal ini tidak berkaitan dengan hukum positif, hal ini sejalan dengan yang dijelaskan oleh John Adam dalam Theory of Moral Sentiments dan Lon L. Fuller dalam Morality of Law.
Motif utama positivisme hukum dapat dipahami sebagai aspirasi untuk menjamin independensi hukum dalam nalar praktis, yang pada dasarnya adalah upaya untuk menutup, pada tingkat dasar, hukum “law” dan wacana aturan hukum “legal” dari moralitas “morality” dan wacana moral “moral discourse”.
Moralitas terbagi atas dua hal:
PERTAMA, moralitas kewajiban dalam tatanan dan tuntunan bahasa untuk mempertahankan eksistensi bahasa dan budaya sebagai instrumen komunikasi.
KEDUA, moralitas hukum sebagai alat penjamin kepastian dalam kehidupan sosial.
Hal diatas sejalan dengan pandangan Carl von Sauvigny yang mengatakan : Setiap hubungan hukum terdiri dari hubungan orang ke orang.
Elemen pertama yang harus dipelajari dari hubungan ini harus adalah sifat orang-orang yang dalam hubungan timbal baliknya kemungkinan besar akan menciptakan hubungan tersebut.
Pelanggaran Etik oleh pejabat negara, seperti Ketua Usman, ketua KPU, ketua Bawaslu dan Presiden adalah pelanggaran administratif dalam proses independensi dalam suatu proses dalam menjalankan tugas negara.
Maka, hal tersebut adalah kesewenang-wenangan dalam menjalankan tugasnya (UU Administrasi) atau lalai dan tidak perduli dalam aturan-aturan yang telah ditetapkan dan ini adalah kejahatan dalam bernegara, dilakukan pejabat negara sebab minim moral dan harus dihukum.
Anselm von Feuerbach pada risalah hukumnya 1801 mendefenisikan kejahatan sebagai pencederaan atau bahayanya “hak publik subjektif,” pandangan yang sama dengan yang didefenisikan oleh Immanuel Kant sebagaimana telah diterangkan penulis pada bagian sebelumnya.
Feuerbach merubah defenisi tersebut pada tahun 1805 dalam edisi ketiga dari risalah hukumnya dengan defenisi kejahatan adalah “siapapun yang merusak kebebasan yang dijamin oleh kontrak warga negara dan dijamin oleh hukum pidana”.
Risalah hukum kesebelas tahun 1832, Feuerbach memasukkan bahwa pelanggaran administratif kedalam defenisi tentang “kejahatan kepatuhan terhadap negara” dengan demikian tindakan-tindakan yang tidak bermoral atau secara formal melanggar hukum adalah kejatahan.
John Austin dan Sarah Austin mengatakan pelanggaran Etik sebagai pelanggaran moral positif yang harus di sanksi, tanpa harus melakukan kejahatan kriminal.
Immanuel Kant mengatakan pelanggaran etika sebagai kesewenang-wenangan internal, dimana hakim memutus perkara berdasarkan kepentingan ideologi politik.
Feurbach mengatakan: pelanggaran administratif adalah kejahatan pidana yang harus dihukum sebab pelaku tak patuh pada kepentingan publik. Sejalan dengan pandangan gurunya Grolman dan Stübel.
Hanya ahli Hukum Indonesia, seperti Yusril, Jimly, Hotman, Margarito, otto Hasibuan, OC Kaligis, Usman dan grombolan yang mengatakan pelanggaran etik tidak bagian dari pelanggaran hukum positif.
Persoalan selanjutnya hakim adhok seharusnya memberikan rekomendasi pemecatan, bukan sebagai pemutus akhir atas pelanggaran etik berat.
Saya menduga mereka minim membaca atau besar amplopnya sehingga mereka bingung membedakan dimana posisi moral dalam hukum positif dan diam saat kerusakan terjadi.
Pesan dan Saran
Appledorn ahli hukum Belanda yang menjadi guru secara tidak langsung bagi ahli hukum Indonesia seperti Jimly dan Yusril pernah mengatakan: “… seseorang tidak bisa jadi guru (jadi pengacara) hanya karena gelarnya yang banyak, hanya karena kampusnya yang mahal, namun kemanfaatan luas apa yang dapat dberikan (pada masayarakat). ***