POLITIK

Pakar Asing Sandingkan Ibu Kota Baru RI dan Mesir, Mengapa Tidak Mencontoh Singapura?

DEMOCRAZY.ID
April 17, 2024
0 Komentar
Beranda
POLITIK
Pakar Asing Sandingkan Ibu Kota Baru RI dan Mesir, Mengapa Tidak Mencontoh Singapura?

Pakar Asing Sandingkan Ibu Kota Baru RI dan Mesir, Mengapa Tidak Mencontoh Singapura?


DEMOCRAZY.ID - Indonesia dan Mesir sedang membangun ibu kota negara baru mengingat kondisi ibu kota lama tidak bisa lagi melayani warganya dengan pertumbuhan yang kian pesat. 


Namun sebenarnya Singapura bisa menjadi contoh dengan keterbasan lahan, masih mampu mengembangkan kota dan bisa melayani warganya dengan baik. 


Dengan perolehan suara mayoritas, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang bakal menjadi Presiden Indonesia berikutnya, rencana ambisius memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara tampaknya bakal berjalan sesuai rencana. 


Bahkan Presiden Joko Widodo sudah menargetkan upacara peringatan HUT RI pada 17 Agustus mendatang akan digelar di IKN. 


Demikian pula, terpilihnya kembali Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi pada akhir tahun lalu menjadi katalis bagi upaya berkelanjutan negara tersebut untuk merelokasi ibu kotanya dari Kairo ke tempat yang dikenal sebagai Ibu Kota Administratif Baru.


Baik di Mesir maupun di Indonesia, kota-kota baru dibangun dari awal untuk menampung ibu kota administratif pemerintahan masing-masing. 


Apa yang mendorong langkah-langkah untuk membangun kota-kota baru dan merelokasi ibu kotanya? Mengapa beberapa kota yang ada saat ini tidak lagi berfungsi dengan baik?


Kota Lebih Baik, Kehidupan Lebih Baik?


Dr Woo Jun Jie, Dosen Senior di Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew di Universitas Nasional Singapura dalam tulisannya di Channel News Asia (CNA) mengungkapkan, pada tahun 2011, ekonom perkotaan yang berbasis di Harvard, Edward Glaeser, menulis buku provokatif berjudul The Triumph of the City. 


Inti dari argumennya terangkum dalam subjudul buku yang panjang: Bagaimana penemuan terbesar membuat kita lebih kaya, lebih pintar, lebih ramah lingkungan, lebih sehat, dan lebih bahagia.


Dimulai dengan karya Jane Jacobs pada tahun 1960an, para pemikir perkotaan telah lama memuji manfaat kehidupan perkotaan dan memperkirakan dominasi kota sebagai ruang untuk dihuni manusia. 


“Maju ke tahun 2024, dapat dikatakan bahwa prevalensi kota baik dari segi konsep maupun praktiknya telah melampaui ekspektasi sebagian besar kaum urban begitu pula tantangan yang terkait dengan kehidupan perkotaan,” kata Dr Woo Jun Jie.


Menurut PBB, sekitar dua pertiga penduduk dunia akan tinggal di perkotaan pada tahun 2050. Namun hal ini belum tentu berarti bahwa setiap orang akan menjadi lebih kaya, lebih pintar, lebih ramah lingkungan, lebih sehat, atau mungkin yang paling penting, lebih bahagia.


Urbanisasi yang meningkat telah memperburuk kemacetan lalu lintas di banyak kota besar. 


Lebih buruk lagi, beberapa kota-kota tersebut juga tenggelam, baik karena naiknya permukaan air laut, pemompaan air tanah yang berlebihan, atau semakin banyaknya gedung-gedung tinggi di kota-kota yang berkembang pesat. Dalam banyak kasus, ini merupakan kombinasi dari ketiga faktor tersebut.


Salah satu kota tersebut adalah Jakarta, yang diperkirakan mengalami penurunan permukaan tanah dengan kecepatan sekitar 10 cm per tahun. Hal ini disebabkan oleh pesatnya urbanisasi yang dialami selama beberapa dekade terakhir.


Dihadapkan pada semakin berkurangnya sarana mitigasi banjir – tembok pantai dan badai tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah banjir yang terus-menerus terjadi akibat tenggelamnya kota – Presiden Indonesia Joko Widodo mengumumkan pada 2019 bahwa mereka akan membangun kota baru ke Kalimantan Timur dan memindahkan ibu kota ke sana.


Pembangunan IKN senilai Rp466 triliun dimulai pada tahun 2022. Pemerintah menargetkan untuk merelokasi hingga 1,9 juta orang ke kota baru tersebut ketika selesai sepenuhnya pada 2045. 


Tahap pertama, yang terdiri dari pembangunan istana, beberapa kementerian dan infrastruktur dasar seperti jalan dan perumahan, dijadwalkan selesai tahun ini. 


Yang terpenting, para perencana kawasan di Nusantara bertujuan menjadikan kota seluas 260.000 hektar ini lebih hijau dengan menggunakan energi terbarukan. Diperkirakan 75 persen ibu kota baru akan terdiri dari hutan dan kawasan hijau.


Bagaimana dengan Ibu Kota Baru Mesir?


Demikian pula dengan Ibu Kota Administratif Baru Mesir seluas 70.000 hektar yang sedang dibangun di atas hamparan gurun yang terletak di sebelah timur Kairo. 


Konstruksi dimulai pada tahun 2016, dan kementerian sudah mulai pindah ke kota baru. Kota baru ini diharapkan dapat menampung 6,5 juta orang ketika selesai sepenuhnya pada tahun 2030.


Pembangunan Ibu Kota Administratif Baru dipicu oleh kemacetan dan polusi yang dialami Kairo, yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk Mesir yang pesat. 


Mirip dengan IKN, Ibu Kota Administratif Baru diharapkan menggunakan energi terbarukan dan mencakup fitur-fitur ramah lingkungan di seluruh kota.


Baik di Kairo maupun Jakarta, jelas bahwa terdapat keterbatasan dalam kemampuan kota dalam menyerap jumlah penduduk dan infrastruktur yang terus bertambah. 


Pada saat yang sama, kota pada dasarnya sangat menarik bagi orang-orang yang mencari pekerjaan, peluang, dan lingkungan hidup yang dinamis. 


Paradoksnya, hal yang membuat kota berkembang – kepadatan kota – juga merupakan hal yang pada akhirnya akan membahayakan kota tersebut. 


Baik di Indonesia maupun Mesir, pihak berwenang memilih untuk membangun kota-kota baru sebagai respons terhadap jenuhnya kapasitas ibu kota yang ada dalam menyerap lebih banyak orang dan menampung lebih banyak infrastruktur perkotaan.


Bagaimana dengan Negara Seperti Singapura?


Namun bagaimana dengan kota-kota yang tidak menikmati kemewahan ruang? Kota-kota seperti negara kepulauan Singapura? Dengan 5,9 juta penduduk yang tinggal, bekerja dan bermain di wilayah seluas sekitar 734 km persegi, Singapura termasuk di antara kota-kota terpadat di dunia.


Masih menuruit Dr Woo Jun Jie, Singapura telah berhasil menghindari kemacetan lalu lintas atau krisis ruang yang parah yang melanda banyak kota padat penduduk lainnya. 


Yang pasti, Singapura juga menghadapi tekanan seperti meningkatnya kepadatan di pusat kota, dan kemacetan pada jam sibuk di berbagai moda transportasi.


“Berbeda dengan Indonesia dan Mesir, negara kepulauan Singapura tidak dapat merelokasi pusat kota atau pusat administrasinya ke lokasi baru. Sebaliknya, Singapura harus menemukan cara-cara inovatif untuk (kembali) menciptakan ruang-ruang baru untuk memenuhi kebutuhan penggunaan lahan yang terus meningkat,” tambah Dr Woo Jun Jie.


Hal ini dimulai dengan upaya desentralisasi kawasan pusat bisnis (CBD) dengan menciptakan pusat komersial satelit seperti Changi Business Park, Jurong Lake District dan Woodlands Regional Centre yang akan datang. 


Dengan mendistribusikan bisnis di seluruh pulau, rencananya adalah untuk mengurangi kemacetan lalu lintas di dalam dan sekitar kota dengan mendekatkan lapangan pekerjaan ke rumah.


Melengkapi upaya ini adalah peralihan ke arah pengembangan serba guna yang mengintegrasikan rumah, kantor, dan ruang ritel dalam satu gedung, yang sering kali terletak di atas stasiun MRT. Pembangunan ini membantu memaksimalkan penggunaan lahan dengan menggabungkan ruang komersial dan perumahan dalam satu bidang tanah.


Urban Redevelopment Authority (URA) mengambil konsep ini selangkah lebih maju dengan memperkenalkan konsep “zonasi vertikal”, yang melibatkan pembuatan bangunan yang menampung kegiatan industri bersih di lantai bawah, ruang kerja bersama di lantai tengah, dan apartemen hunian di lantai atas.


Oleh karena itu, alih-alih merelokasi seluruh ekosistem dan jaringan perkotaan, Singapura memilih untuk mendistribusikannya secara lebih merata ke seluruh pulau melalui upaya yang disengaja untuk mendesain ulang, membangun kembali, dan mengintensifkan kota dan lingkungan sekitar. 


Idealnya, hal ini akan membantu memikirkan kembali bagaimana kebutuhan penduduk, dunia usaha, dan pemerintah dapat diintegrasikan dalam satu wilayah perkotaan.


Kota-kota di seluruh dunia perlu menemukan cara-cara baru untuk memenuhi masa depan perkotaan yang semakin meningkat. Bisa dengan membangun kota baru atau memperbarui ruang-ruang kota yang sudah ada dengan berbagai inovasi agar dapat berfungsi melayani warganya dengan maksimal.


Sumber: Inilah

Penulis blog