KRIMINAL

Nasib Istri Merayakan Lebaran Tanpa Suami yang ‘Disandera’ di Myanmar - 'Dia Dipukuli Saat Malam Takbiran'

DEMOCRAZY.ID
April 12, 2024
0 Komentar
Beranda
KRIMINAL
Nasib Istri Merayakan Lebaran Tanpa Suami yang ‘Disandera’ di Myanmar - 'Dia Dipukuli Saat Malam Takbiran'

Nasib Istri Merayakan Lebaran Tanpa Suami yang ‘Disandera’ di Myanmar - 'Dia Dipukuli Saat Malam Takbiran'


DEMOCRAZY.ID - Lebaran tahun ini menjadi momen yang menyedihkan dan diselimuti rasa kesepian bagi sekelompok istri dari para korban sindikat penipuan online yang kini 'disandera' di Myanmar.


Saat umat Islam merayakan Idulfitri dan berkumpul dengan keluarga besar, Selviana malah mendengar keluh suaminya yang dipukuli.


“Terakhir komunikasi tadi pagi. Suami cerita dia dipukuli saat malam takbiran,” kata Selviana yang tinggal di Singkawang, Kalimantan Barat, kepada wartawan BBC News Indonesia, Kamis (11/04).


Selviana pun mengaku menangis melihat hidangan lontong sayur saat Lebaran. ”Ini makanan yang disukai suami.”


Hal yang sama juga dialami oleh Yuli Yasmi di Indramayu, Jawa Barat. ”Tadi malam, suami cerita katanya kondisi di sana semakin buruk, banyak siksaan,” katanya.


”Sampai anak yang paling kecil bilang, ‘Ibu kalau aku punya uang Rp50 juta, aku kasih biar ayah pulang Ibu’. Saking kangennya sama ayahnya,” kata Yuli dengan isak tangis.


Setidaknya terdapat lima Warga Negara Indonesia yang diduga menjadi korban penipuan online yang kini terperangkap di Hpa Lu, wilayah konflik bersenjata antara militer Myanmar dan kelompok etnis bersenjata.


Mereka dipekerjakan secara paksa untuk menipu orang secara daring. Menurut catatan Kemlu, terdapat 30 WNI yang kini berada di wilayah perbatasan Myanmar-Thailand.


Pemerintah Indonesia menyatakan telah dan terus melakukan beragam upaya untuk menyelamatkan WNI itu, mulai dari penyampaian nota diplomatik hingga pertemuan dengan berbagai otoritas terkait.


Namun, proses evakuasi WNI yang berada di perbatasan Myanmar dan Thailand itu hingga kini belum dapat dilakukan.


Di wilayah itu, otoritas penegak hukum dan militer Myanmar tidak memiliki kontrol penuh karena dikuasai banyak kelompok etnis bersenjata.


Kota terdekat dari Hpu Lu, yaitu Myawaddy, bahkan kini telah dikuasai oleh kelompok pemberontak etnis Karen yang bersekutu dengan pasukan anti-kudeta lainnya.


‘Saat takbiran suami saya dipukuli’


Selviana kini berjuang seorang diri untuk memenuhi kebutuhan hidup hingga mengurus kedua anaknya yang masih kecil.


Dari pagi hingga siang hari, Selviana bekerja mencuci dan menyetrika baju. Sorenya, dia menjaga toko. Cicilan pinjaman dari bank harus ditanggung olehnya seorang diri.


“Dulu suami marah jika saya kerja. Sekarang saya harus kerja demi semuanya, siang malam,” kata Selviana.


Suami Selviana bersama beberapa WNI lainnya kini tengah terperangkap di Myanmar karena menjadi korban penipuan online.


Dia bercerita, suaminya meninggalkan rumah pada 29 April 2023, tepat sebelum Lebaran tahun lalu.


Sesampainya di Thailand, kata Selviana, suaminya dibawa masuk Myanmar dengan jalur ilegal.


Di sana, ujar Selviana, suaminya dipaksa bekerja untuk melakukan penipuan online. Jika tidak memenuhi target, suaminya menerima beragam jenis siksaan.


“Penipu di sana minta tebusan Rp80 juta jika ingin suami bebas, tapi bagaimana disiapkan buat makan saja susah.”


Perbincangan terakhir Selviana dengan suami terjadi pada Kamis pagi (11/04), hari kedua Lebaran.


Bukannya saling berbagi kebahagiaan, Selviana malah mendengar kekerasan yang diterima suaminya.


“Saat takbiran, dia cerita dihukum karena menolak kerja menipu orang. Dipukul pakai besi balok,” ujarnya, sambil menambahkan bahwa suaminya juga pernah disetrum.


“Lebaran ini, tanpa ada suami, sedih sekali. Apalagi lihat makanan kesukaan lontong sayur.”


“Lalu, biasanya Lebaran kumpul sama keluarga, bawa anak jalan-jalan, tapi sekarang di rumah saja. Mau ke mana pun rasanya kurang.”


Selviana pun mengaku kesulitan menjawab ketika anak-anaknya menanyakan kapan ayah pulang.


“Saya bilang ke mereka, 'Bapak kerja saya bilang, cari duit, bapak kerja buat kamu sekolah'. Anak saya kemudian bertanya balik, 'Tapi lama sekali bapak balik?'. Saya hanya bisa berkata, 'Sabar ya, kita doakan bapak cepat balik',” paparnya, menirukan percakapan dengan anak-anaknya, sambil terisak-isak.


Selviana pun berharap kepada pemerintah untuk segera memulangkan suaminya.


‘Kalau aku punya uang Rp50 juta, aku kasih biar ayah pulang’


Lebaran tahun ini Yuli Yasmi bersama ketiga anaknya mengunjungi keluarga besar tanpa didampingi suami.


Kebersamaan yang dijalani Yuli pada Lebaran tahun ini diselimuti kesedihan. 


Pasalnya, sang suami kini 'disandera' di Myanmar dan menjadi korban penipuan online sejak September 2023 lalu.


“Sesenyum-senyumnya saya pas kumpul dengan keluarga besar tetap saja hati tidak lapang. Tidak akan lapang sampai suami pulang ke Indonesia dengan selamat,” kata Yuli.


Di saat Lebaran, kata Yuli, suaminya adalah sosok yang dirindukan keluarga besar karena selalu melayangkan candaan yang membuat ketawa.


“Biasa juga pas Lebaran, dia masak simpel karena sudah bosan masakan Lebaran. Dia masak mi instan yang enak, diracik dengan ciri khas dia,” kenang Yuli.


Namun semua kenangan indah itu kini sirna. Yuli hanya bisa melihat dan mendengar suami melalui panggilan telepon. Dan, kabar-kabar buruk yang dia terima.


“Tadi malam [Rabu] suami saya cerita kondisi di sana semakin banyak siksaan. Suami juga tanya kapan pemerintah bisa jemput."


"Sehari di sana itu sangat berat, kerja tanpa henti, belum lagi ada target yang dibayangi ancaman hukuman,“ kata Yuli.


Dia bercerita terdapat dua cara suaminya dapat pulang, yaitu dijemput pemerintah atau membayar uang tebusan sebesar Rp50 juta.


”Sampai anak yang paling kecil bilang, ‘Ibu kalau aku punya uang Rp50 juta, aku kasih biar ayah pulang Ibu’. Saking kangennya sama ayahnya,” kata Yuli disambut isak tangis.


Yuli menambahkan, dia dan istri korban lainnya telah berkomunikasi dengan Kementerian Luar Negeri Indonesia mengenai masalah yang dihadapi.


“Kemlu ada tanggapan, katanya masih dalam pergerakan. Tapi jangkauan dari dua hingga tiga bulan ini memang belum terlihat hasilnya. Hanya itu per hari ini dari Kemlu,“ ujarnya.


Bagaimana upaya pemerintah sejauh ini?


Direktur Perlindungan WNI Kemenlu, Judha Nugraha, mengatakan berbagai upaya telah dan terus dilakukan untuk menyelamatkan WNI yang terjerat bisnis penipuan online di wilayah Hpa Lu, Myanmar.


“Melalui penyampaian nota diplomatik ke Kemlu Myanmar, mengadakan pertemuan dengan otoritas terkait seperti kepolisian dan imigrasi Myanmar, serta kerja sama dengan masyarakat sipil,” kata Judha.


“Koordinasi juga dilakukan dengan perwakilan negara asing di Myanmar yang menghadapi kasus serupa antara lain Sri Lanka, RRT, Filipina, Vietnam, Thailand, Nepal, dan India,” tambahnya.


Selain itu, Judha menambahkan, Kemlu juga menjalin komunikasi dengan kelima keluarga korban.


“Komunikasi intensif dan rutin dilakukan baik melalui pertemuan daring maupun melalui Whatsapp grup untuk menyampaikan update berbagai upaya yang dilakukan Pemri untuk membebaskan anggota keluarganya,” tambahnya.


Diplomat Muda Direktorat Pelindungan Warga Negara Indonesia, Rina Komaria, menambahkan Kemlu juga telah mengunjungi salah satu keluarga korban untuk menyampaikan secara langsung perkembangan kasus dan membesarkan hati mereka.


“Kami sangat memahami dan mengerti perasaan keluarga. Kami juga sangat mengharapkan para WNI dapat segera keluar dari sana dan kita upayakan semuanya,“ kata Rina.


Selain itu, lanjutnya, Kemlu juga sudah berkoordinasi dengan kementerian terkait dan juga pemerintah daerah untuk memberikan atensi bagi para keluarga korban, terutama untuk menjaga kondisi psikologis mereka.


Sejak tahun 2020 pemerintah Indonesia telah menangani dan menyelesaikan lebih dari 3.700 kasus WNI yang terjerat penipuan online di delapan negara, termasuk Myanmar.


Mengapa proses penyelamatan sulit?


Hpa Lu adalah wilayah konflik bersenjata antara Tatmadaw (militer Myanmar) dan kelompok etnis bersenjata.


Di wilayah-wilayah konflik tersebut, kata Judha selaku Kemlu, Tatmadaw maupun otoritas penegak hukum Myanmar tidak memiliki kontrol penuh.


Wilayah tersebut juga dikuasai banyak kelompok etnis bersenjata yang memiliki kepentingan masing-masing.


“Hal ini yang menyebabkan proses penyelamatan para WNI menghadapi kesulitan yang sangat kompleks,” kata Judha.


Selain itu, menurut peneliti ASEAN, Adriana Elisabeth, hambatan lain dalam menyelamatkan WNI di Myanmar karena adanya kekosongan kesepakatan di wilayah Asia Tenggara dalam menangani kejahatan lintas negara yang melibatkan kelompok pemberontak.


“Prinsip ASEAN itu kalau pemberontakan domestik, tidak ada negara lain yang intervensi. Namun, ini korbannya WNI, dan melibatkan kejahatan dan transaksi ilegal lintas negara."


"Secara hukum bagaimana penyelesaiannya? Ini problematiknya. Belum ada rumusan yang jelas di ASEAN tentang ini,” kata Adriana.


Untuk itu, menurutnya, perlu ada forum khusus di ASEAN untuk membahas permasalah tersebut, yang berfokus pada dampak dari kejahatan yang lintas negara.


“Efek yang sifatnya lintas negara itu yang menurut saya harus disepakati, bagaimana penanganannya. Itu kan harus ada kerjasama antara Indonesia dengan Myanmar, yang minimal yang di-back up oleh ASEAN secara komitmen,” kata Adriana.


Pengamat hubungan internasional dari Universitas Pelita Harapan Edwin Martua Bangun Tambunan melihat Indonesia kini dihadapkan pada dua situasi yang luar biasa dalam mengevakuasi WNI di Myanmar.


“Pertama, karena WNI yang akan dibebaskan adalah korban TPPO, yang dalam situasi normal saja membutuhkan koordinasi ekstra dengan pejabat keamanan Myanmar dan Thailand beserta jejaring lokal di kedua negara untuk membebaskannya,” kata Edwin yang mencontohkan pembebasan 20 WNI dari Myanmar tahun lalu.


Situasi selanjutnya, tambahnya, adalah upaya pembebasan dihadapkan pada konflik yang sedang berkecamuk antara pasukan pemberontak melawan aparat keamanan yang terdesak di Myanmar.


“Dengan demikian, koordinasi dan jejaring yang yang dimanfaatkan dulu kemungkinan sudah tidak efektif sehubungan dengan hadirnya pihak baru, yaitu kelompok pemberontak,” katanya.


Upaya apa yang bisa dilakukan pemerintah?


Untuk itu, menurut Edwin, langkah yang perlu segera dilakukan pemerintah adalah dengan membentuk pusat krisis lintas sektoral hingga NGO dalam menangani para WNI di Myanmar.


Setelah itu, Indonesia harus segera memetakan situasi di lapangan berdasarkan informasi dari pejabat diplomatik, intelijen, dan jejaring NGO Indonesia di Myanmar.


“Lalu segera berkoordinasi dengan berbagai pihak di lapangan untuk mulai merancang skenario penyelamatan. Syukur-syukur jejaring lokal tahun lalu masih bisa efektif dimanfaatkan,” katanya.


“Hal lain yang perlu dipastikan adalah bagaimana membuka akses kepada kelompok pemberontak. Indonesia punya modalitas untuk ini sebagai negara ASEAN yang paling vokal terhadap rejim militer di Myanmar.”


Edwin menambahkan Indonesia juga perlu waspada dan mempersiapkan langkah alternatif apabila perusahaan pelaku TPPO terafiliasi dengan pemerintah atau kelompok pemberontak. “Kemungkinan akses untuk evakuasi akan lebih rumit apabila situasi seperti ini terjadi,” katanya.


Selain itu, tambahnya, Indonesia juga harus memastikan koordinasi yang terukur dengan pemerintah Myanmar dan Thailand untuk melakukan evakuasi sesuai dengan jalur aman yang dipandu oleh jejaring lokal dan NGO di Myawaddy.


Terlepas dari upaya itu, menurut Edwin status ilegal WNI yang masuk sebagai pekerja ke Myanmar tidak menjadi hambatan untuk mengevakuasi mereka.


“Kemungkinan besar tidak murni inisiatif dari para korban [masuk Myanmar], tetapi ada kontribusi keterlibatan sindikasi perusahaan yang mempekerjakan mereka."


"Perusahaan itu boleh jadi legal di Myanmar, tetapi apabila cara mereka merekrut pekerja atau membiarkan pekerja masuk tanpa izin melalui penipuan maka itu adalah praktik-praktik ilegal,” katanya.


Ditambah lagi, menurutnya, Myanmar  telah menandatangani Protokol Palermo yang mewajibkan negara untuk mencegah, menekan, dan menghukum perdagangan manusia.


"Apabila status dari para WNI ini memenuhi pengertian dalam  Pasal 3a Palermo Protocol, maka Myanmar harus melepaskan mereka,” ujarnya.


Kenapa wilayah itu menjadi surga kejahatan lintas negara?


Peneliti dan Resilience's fellow dari Global Initiative Against Transnational Organized Crime (GI-TOC) Kelana Wisnu menceritakan bahwa pada awalnya wilayah perbatasan Myanmar dan Thailand itu ingin dijadikan sebagai megaproyek kota baru.


Kota ini direncanakan menjadi pusat kasino, karaoke, dan hiburan lainnya.


Investor besar taipan China pun diberi izin oleh BGF (Border Guard Forces), kelompok etnis bersenjata yang dulunya bernama Democratic Karen Buddhist Army, untuk membangun wilayah itu.


“Awalnya proposal bisnis di Shwe Kokko dan Myawaddy adalah sebuah megaproyek kota baru yang digadang-gadang seperti Sillicon Valley. Namun pada akhir 2019 ada kecurigaan dari pemerintah Aung San Suu Kyi dan melakukan investigasi lalu menghentikan proyek itu sementara,” kata Kelana.


Kemudian kursi Aung San Suu Kyi dikudeta. 


Aktivitas megaproyek itu kembali berjalan usai militer mengambil alih kekuasaan politik.


“Wilayah ini berubah menjadi pusat penipuan karena pandemi. Tempat ini merupakan hub kejahatan lintas negara dalam bentuk apapun, seperti kejahatan siber, prostitusi, narkoba, perdagangan senjata, dan lainnya.”


“Adanya kolusi antara etnis bersenjata lokal bernama BGF dengan pengusaha China kemudian mendorong wilayah ini menjadi surga kejahatan lintas negara,” ujarnya.


Lalu mengapa kejahatan di sana sulit dihentikan? 


Salah satu alasannya kata Kelana adalah karena beberapa wilayah di sana ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus.


Artinya, otoritas berwajib di sana tidak punya kewenangan penuh menghentikan perusahaan atau mengambil tindakan apa pun terkait bisnis yang berjalan di area itu.


Sumber: BBC

Penulis blog