'Menyoal Tuntutan MK Diskualifikasi Prabowo-Gibran'
MAHKAMAH Konstitusi (MK) memutuskan mendiskualifikasi Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 2 atas nama H. Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024.
Demikianlah salah satu petitum pokok perkara yang dimintakan dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 di MK oleh Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 1 atas nama H. Anies Rasyid Baswedan dan Dr (H.C.) Muhaimin Iskandar maupun Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 3 atas nama H. Ganjar Pranowo, S.H., M.I.P. dan Prof. Dr. H. M. Mahfud MD.
Dalam posita permohonan kedua paslon, baik nomor urut 1 maupun nomor urut 2 yang kemudian dikuatkan dengan alat bukti, khususnya ahli di persidangan MK, pendaftaran paslon nomor urut 1 Prabowo-Gibran oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah tidak sah.
Karena, dalam penerimaan pendaftaran Paslon Prabowo-Gibran oleh KPU ada cacat hukum.
KPU, ketika menerima pendaftaran Paslon Prabowo-Gibran pada 25 Oktober 2023, masih menggunakan PKPU No. 19 Tahun 2023 yang belum menyesuaikan dengan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tanggal 17 Oktober 2023.
Pasal 13 ayat (1) huruf q PKPU No. 19 Tahun 2023 menyebutkan, “Syarat untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: … q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”.
Sedangkan Gibran, pada saat mendaftar sebagai bacawapres bersama Prabowo sebagai bacapres, belum memenuhi syarat usia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.
Diskusi hukum yang menarik diajukan: apakah karena KPU saat menerima pendaftaran Gibran yang usianya belum memenuhi syarat usia paling rendah 40 (empat puluh) tahun adalah tidak sah?
Apakah KPU saat menerima pendaftaran Paslon Prabowo-Gibran masih menggunakan PKPU No. 19 Tahun 2023 cacat hukum? Apakah MK berwenang mendiskualifikasi Paslon Prabowo-Gibran?
Keterangan Ahli
Salah satu ahli hukum yang diajukan oleh paslon Anies-Muhaimin adalah Ridwan, Guru Besar Hukum Administrasi Negara (HAN) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Dalam keterangan ahlinya, Ridwan menyatakan, pendaftaran Gibran sebagai bacawapres yang diterima oleh KPU pada tanggal 25 Oktober 2023 adalah tidak sah. Pasalnya, saat KPU menerima pendaftaran tersebut masih berlaku PKPU No. 19 Tahun 2023.
Menurutnya, dalan proses Pemilu, aturan hukum yang berlaku tidak hanya menggunakan undang-undang dalam hal ini UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, tetapi juga berdasarkan Peraturan KPU (PKPU).
Saat itu, KPU masih memberlakukan PKPU No. 19 Tahun 2023 di mana menentukan syarat usia paling rendah 40 tahun, sedangkan Gibran belum berusia 40, maka pendaftarannya cacat hukum.
Kedua, menurut Ridwan, di lingkungan kekuasaan kehakiman, termasuk MK, produk hukum yang dikeluarkan disebut sebagai putusan atau vonis. Sifat vonis, menurut dia, harus dilakukan perbuatan hukum lain untuk melaksanakannya.
Jadi, menurut dia, putusan (vonis) MK itu tidak secara otomatis berlaku. Agar Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tanggal 17 Oktober 2023 berlaku, maka KPU harus menindaklanjutinya dengan mengubah PKPU No. 19 Tahun 2023 menyesuaikan dengan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 itu.
Masalahnya, menurut Ridwan, KPU saat menerima pendaftaran Gibran sebagai bacawapres belum mengubah PKPU No. 19 Tahun 2023 yang masih mensyaratkan batas usia paling rendah 40 tahun.
Perdebatan dan problematika hukum
Argumentasi Paslon Anies-Muhaimin dan Paslon Ganjar-Mahfud termasuk keterangan ahli yang diajukan untuk memperkuat posita permohonan mereka terkait ketidakabsahan pendaftaran Gibran sebagai bacawapres, menurut penulis, dapat diperdebatkan secara hukum.
Pertama, dari sisi norma hukum. Tidak dapat dipungkiri ada tindakan tidak profesional dari KPU saat pendaftaran bacapres dan bacawapres.
Ada kenyataan hukum saat pendaftaran itu, KPU belum mengubah PKPU No. 19 Tahun 2023 untuk disesuaikan dengan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023. Ini yang menjadi pangkal problematika pendaftaran Gibran sebagai bacawapres.
Perdebatan hukumnya adalah, jika dihadapkan pada kondisi seperti itu, apakah tindakan yang tepat menurut hukum, apakah KPU harus menolak pendaftaran Gibran sebagai bacawapres atau menerima pendaftarannya?
Menurut penulis, jika KPU menolak pendaftaran, padahal sudah mengetahui ada Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 dan memahami jika merujuk pada putusan a quo syarat Gibran sebagai bacawapres sudah memenuhi, maka tindakan KPU semakin tidak profesional karena menolak seseorang bacawapres yang sebenarnya sudah memenuhi persyaratan.
Dengan begitu, tindakan KPU yang menerima pendaftaran, secara materiil, dapat diterima dari sisi norma hukum.
Hans Kelsen (2008) menyatakan sistem hukum merupakan sistem norma. Sistem norma, menurut dia, akan menjadi valid, jika diperoleh dari norma yang lebih tinggi di atasnya.
Dengan adanya Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 ini, maka norma dalam ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum sudah dimaknai dan menjadi berbunyi, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Sedangkan PKPU No. 19 Tahun 2023 merupakan peraturan yang kedudukannya di bawah UU dan merupakan peraturan pelaksana dari ketentuan dalam UU 7/2017. Pascaadanya Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, norma hukum yang diaturnya sepanjang syarat usia capres dan cawapres sudah tidak sesuai lagi.
Dengan demikian, secara materiil, ketentuan yang ada dalam PKPU No. 19 Tahun 2023 sepanjang syarat usia capres dan cawapres tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Ini sejalan dengan teori Kelsen, norma hukum yang diatur dalam PKPU No. 19 Tahun 2023 sepanjang syarat usia capres dan cawapres tersebut menjadi tidak valid. Pasalnya, tidak sesuai lagi dan bertentangan dengan norma hukum yang diatur dalam peraturan yang lebih tinggi, dalam hal ini UU 17/2017 juncto Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023.
Tindakan KPU meskipun tidak profesional karena belum mengubah PKPU No. 19 Tahun 2023, tapi menerima pendaftaran Gibran sebagai bacawapres, dari sisi asas hukum, juga bisa diterima.
Hal ini dengan merujuk pada asas hukum yang menyatakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengalahkan atau mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (lex superiori derogate legi inferiori).
Kedua, dari asas penundukan diri (self submission). Ketika KPU menetapkan pasangan calon peserta pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2024 dengan menerbitkan Keputusan KPU No. 1632 Tahun 2023 tentang Penetapan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 tanggal 13 November 2023, tidak ada keberatan yang diajukan oleh paslon presiden dan wakil presiden yang ada.
Paslon Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud tidak pernah mempersoalkan secara hukum. Kedua paslon ini tidak pernah men-challenge Keputusan KPU ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), hingga sampai hari H pencoblosan atau pemungutan suara.
Demikian halnya ketika KPU menetapkan Keputusan KPU No. 1644 Tahun 2023 tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 tanggal 14 November 2023. Kedua pasangan menerima dengan kesadaran penuh.
Dengan adanya kenyataan-kenyataan hukum ini, tidak dapat disangkal kedua paslon tersebut telah menundukkan diri secara hukum akan sah dan berlakunya keputusan-keputusan KPU di atas.
Bahkan, penundukkan diri (self submission) kedua paslon berlangsung terus dalam kampanye yang disaksikan secara live oleh rakyat Indonesia hingga pencoblosan atau pemungutan suara dilangsungkan pada tanggal 14 Februari 2024.
Dengan demikian, menjadi ganjil jika setelah itu, kedua paslon baru mempersoalkan secara hukum setelah berakhirnya pencoblosan atau pemungtan suara dan penetapan hasil pemilu presiden dan wakil presiden.
Ketiga, dari aspek kemanfaatan dan keadilan hukum. Gustav Radbruch mengemukakan tujuan hukum pada 3 (tiga) aspek, yaitu kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.
Tindakan tidak profesional KPU menerima pendaftaran bacawapres Gibran tanpa didahului mengubah PKPU No. 19 Tahun 2023 yang menyesuaikan dengan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 haruslah diakui bermasalah, dari sisi kepastian hukum.
Hal itulah yang melandasi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) melalui Putusan No. 135-PKE-DKPP/XII/2023, No. 136-PKE-DKPP/XII/2023, No. 137-PKE-DKPP/XII/2023, dan No. 141-PKE-DKPP/XII/2023 tanggal 5 Febrari 2024, menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada Komisioner Komisi KPU dan sanksi peringatan keras terakhir kepada Ketua KPU.
Namun demikian, jika dilihat dari aspek kemanfaatan dan keadilan, tindakan KPU yang menerima pendaftaran Gibran sebagai bacawapres menyusul adanya Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, menurut penulis, bisa diterima.
Apabila dikaitkan dengan aspek norma hukum pascaadanya Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, tindakan KPU yang menerima pendaftaran Gibran sebagai bacawapres, meskipun belum mengubah PKPU No. 19 Tahun 2023, memiliki aspek kemanfaatan dan keadilan hukum yang lebih positif jika dibandingkan KPU tidak menerima pendaftaran.
Ketika KPU menerima pendafataran, meskipun merupakan tindakan yang tidak profesional oleh karena tanpa sebelumnya mengubah PKPU No. 19 Tahun 2023, masih memungkinkan ruang bagi KPU untuk memperbaiki dan mengoreksi tindakannya dengan segera mengubah PKPU No. 19 Tahun 2023 sebelum penetapan paslon presiden dan wakil presiden.
Karena, sesuai Lampiran I PKPU No. 19/2023, masih ada tahapan verifikasi bakal pasangan calon terhitung sejak 19 Oktober hingga 3 November 2023. Pada tahapan ini sebenarnya, secara substansial atau materiil berkas pendaftaran diverifikasi apakah telah memenuhi syarat atau tidak.
Dalam faktanya, KPU pada akhirnya mengubah PKPU No. 19 Tahun 2023 dengan menerbitkan PKPU No. 23Tahun 2023 tentang Perubahan Atas PKPU No. 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024, pada tanggal 3 November 2023.
PKPU No. 19 Tahun 2023 yang sudah menindaklanjuti Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 inilah yang kemudian menjadi dasar KPU dalam menetapkan paslon presiden dan wakil presiden termasuk di dalamnya penetapan Gibran sebagai cawapres.
Sebaliknya, jika KPU menolak pendaftaran Gibran sebagai bacawapres, padahal mengetahui adanya Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang telah bersifat final dan mengikat (binding), dari aspek kemanfaatan dan keadilan hukum bernilai negatif.
Jika akibat ketidakprofesionalan KPU yang belum kunjung mengubah PKPU No. 19 Tahun 2023 pascaadanya Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 berujung pada penolakan pendaftaran Gibran sebagai bacawapres, berarti KPU bertindak tidak adil kepada Gibran dan tidak memberikan kemanfaatan bagi proses pendaftaran paslon presiden wakil presiden.
Akan menjadi tidak adil jika tindakan tidak profesional KPU kemudian ditimpakan akibatnya pada seseorang dalam hal ini Gibran. Gibran tidak boleh dirugikan akibat ketidakprofesional KPU tersebut.
Dalam hukum, ada asas yang menyatakan tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain (nemo commodum capere potest de injuria sua propria).
Dari keseluruhan perdebatan dan problematika hukum seputar pendaftaran Gibran sebagai bacawapres sebagaimana didiskusikan di atas, penulis tidak melihat alasan hukum yang kuat bagi MK untuk mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres.
Di samping dari sisi kewenangan absolut, bukanlah menjadi kewenangan MK untuk memutuskannya.
Sebab, persoalan tersebut merupakan kewenangan absolut PTUN yang seharusnya jika dianggap bermasalah secara hukum diajukan gugatannya menyusul ditetapkannya pasangan calon peserta pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2024 oleh KPU dan/atau diterbitkannya Keputusan KPU No. 1632 Tahun 2023 tentang Penetapan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 tanggal 13 November 2023.
Sumber: Kompas