[Majalah TEMPO]
Cerita di Balik Putusan Sengketa Pilpres
HARI mengancik subuh saat lima hakim Mahkamah Konstitusi merampungkan berkas putusan perkara perselisihan hasil pemilihan umum untuk pemilihan presiden pada Senin, 22 April 2024.
Dibantu panitera, mereka memfinalisasi berkas putusan MK selama empat hari.
Lima hakim berada di kubu penolak gugatan sengketa pilpres yang diajukan Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.
Sementara tiga hakim MK menyampaikan dissenting opinion (pendapat berbeda).
Keterlibatan Presiden Joko Widodo, seperti disinggung dalam dissenting opinion para hakim, ditengarai ada karena putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden.
Maka kubu Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo pun meminta Gibran didiskualifikasi sebagai calon wakil presiden.
Dalam rapat permusyawaratan hakim konstitusi hari pertama yang digelar pada Selasa, 16 April 2024, opsi mendiskualifikasi Gibran pun sempat muncul.
Seorang narasumber yang mengetahui jalannya RPH bercerita, opsi tersebut dimunculkan oleh Ridwan Mansyur.
Ia hakim MK yang baru dilantik pada 8 Desember 2023 menggantikan Manahan Sitompul yang purnatugas.
Hakim lain yang berada di ruang rapat menyatakan opsi mencoret Gibran sebagai peserta pemilihan presiden 2024 tak mungkin diambil. Sebab, gugatan sengketa pemilu berlaku satu paket untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Opsi mendiskualifikasi Gibran pun tak bisa berjalan karena Mahkamah Konstitusi tersandera oleh putusan perkara 90.
Dengan mendiskualifikasi Gibran, berarti MK menganulir putusan sebelumnya. Padahal putusan MK bersifat final dan mengikat. Sejumlah hakim pun meminta sengketa pilpres 2024 tak disangkutpautkan dengan putusan sebelumnya.
Ridwan Mansyur tak merespons pesan dan panggilan telepon Tempo hingga Sabtu, 27 April 2024. Sedangkan juru bicara MK, Fajar Laksono, mengaku tak mengetahui isi rapat para hakim.
“Silakan bertanya kepada yang memberi informasi,” ucap Fajar di kantornya di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat, 26 April 2024.
Mantan hakim konstitusi yang juga pakar hukum tata negara dari Universitas Udayana, Bali, I Dewa Gede Palguna, mengatakan opsi diskualifikasi bisa ditinjau dari dua sudut pandang.
Jika MK dianggap sebagai lembaga yang sekadar menyelesaikan sengketa pemilu, diskualifikasi calon karena faktor selain pemungutan suara tak mungkin terjadi.
Sedangkan opsi mendiskualifikasi peserta pemilu bisa dipilih jika menggunakan perspektif lain, yaitu bahwa MK merupakan pengawal konstitusionalitas pemilu.
“Dengan perspektif MK merupakan pengawal konstitusionalitas pemilu, diskualifikasi karena proses yang terjadi sebelum pemungutan suara bisa saja dilakukan,” kata Palguna kepada Tempo, Kamis, 25 April 2024.
Di kubu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, opsi diskualifikasi menjadi pembahasan serius. Meski peluangnya tak besar, mereka waswas jika pencoretan Gibran sampai terjadi.
Seorang petinggi Partai Gerindra pun meminta tim kuasa hukum Prabowo-Gibran menolak mentah-mentah jika opsi itu berkembang. Mereka juga mengkaji cara menutup celah diskualifikasi.
Kemungkinan diskualifikasi Gibran juga sempat dibahas dalam acara halalbihalal di kantor Dewan Pimpinan Pusat Golkar pada 15 April 2024.
Dua politikus partai beringin yang hadir dalam acara itu mengatakan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto meminta tim kampanye Prabowo-Gibran memikirkan antisipasi politik jika MK mendiskualifikasi Gibran.
Ketua DPP Golkar Dave Laksono enggan memberikan tanggapan soal pembicaraan di kantor partainya.
“Sudah tidak relevan membahas hal tersebut,” ujarnya kepada Tempo saat dihubungi pada Jumat, 26 April 2024.
Sekretaris Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, Nusron Wahid, membantah kabar bahwa kemungkinan diskualifikasi menjadi pembahasan serius dalam diskusi internal.
“MK bertugas mengadili hasil pemilu, bukan proses pelaksanaan pemilu,” kata Nusron melalui WhatsApp, Jumat, 26 April 2024.
(Selengkapnya di Majalah TEMPO, edisi Minggu, 28 April 2024)