DEMOCRAZY.ID - Pascaputusan Mahkamah Konstitusi ramai juga loyalis dan relawan memperbincangkan mau kemana arah politik Anies Rasyid Baswedan 5 (lima) tahun ke depan.
Loyalis dan relawan sepakat. Anies Rasyid Baswedan mesti punya panggung politik. Tentu saja untuk menjaga agar Anies Rasyid Baswedan tetap leading hingga digelarnya pesta demokrasi lima tahunan di tahun 2029.
Bagaimana agar Anies Rasyid Baswedan tidak kehilangan mementum di Pilpres 2029? Banyak isu yang menjadi percakapan dikalangan loyalis dan relawan Anies Rasyid Baswedan.
Loyalis dan relawan menyarankan agar Anies Rasyid Baswedan mengambil sikap oposisi. Tidak bergabung ke dalam Pemerintahan Prabowo Subianto.
Bahkan salah satu tokoh relawan yang juga Tim Hukum Anies-Muhaimin menyebut Anies-Muhaimin sebagai pengkhianat bila menjadi menterinya Prabowo Subianto.
Belum tentu juga pengkhianat. Tergantung niat dan misi merapat ke Prabowo-Gibran. Utamakan untuk berprasangka baik.
Cari seribu alasan untuk tetap berprasangka baik bila terjadi perbedaan pilihan politik; oposisi atau menteri?
Ini sejalan dengan pernyataan Anies Rasyid Baswedan terutama saat masa kampanye maupun ketika acara debat presiden beberapa waktu lalu.
Pernyataan Anies Rasyid Baswedan yang populer tentang oposisi dan kembali viral dua hari terakhir, “Yang menang di dalam pemerintahan, yang kalah di luar.”
Oposisi bukan hanya sekadar berbeda dan berada di luar pemerintahan. Oposisi mesti punya kekuatan ril politik.
Misalnya ketua umum partai parlemen. Oposisi sebagai check and balances terhadap rezim yang sedang berkuasa.
Sebut saja PDIP yang menjadi oposisi selama SBY berkuasa. Demikian pula PKS 10 tahun menjadi oposisi Jokowi. Ada kemungkinan juga PDIP menjadi oposisi Prabowo-Gibran.
Lalu apa itu oposisi? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) oposisi adalah partai penentang dewan perwakilan dan sebagainya yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa
Anies Rasyid Baswedan tidak berpartai. Bukan pula ketua umum partai yang memiliki perwakilan di DPR.
Secara riil Anies Rasyid Baswedan tidak punya kekuatan politik untuk menjadi oposisi Prabowo Subianto karena bukan ketua umum partai yang memiliki perwakilan di DPR.
Apalagi kekuatan riil politik Anies Rasyid Baswedan sudah terlebih dahulu menyeberang mendukung Prabowo-Gibran. Dimulai Partai NasDem. Lalu diikuti PKB dan PKS.
Ketiga Partai Koalisi Perubahan telah berlabuh bersama koalisi partai pendukung Prabowo-Gibran. Mungkin pula NasDem, PKB dan PKS akan dapat jatah menteri di kabinet Prabowo-Gibran.
Jangan pula kita bilang bahwa Partai NasDem, PKB dan PKS telah berkhianat karena ada kadernya menjadi menterinya Prabowo-Gibran.
Tujuan bikin partai memang untuk mendapatkan kekuasaan dan bagaimana menggunakan kekuasaan untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Jangan samakan relawan dengan partai yang punya target politik tertentu karena punya hasrat berkuasa. Sementara relawan adalah orang-orang yang berjuang secara sukarela dan tulus tanpa pamrih.
Anies Rasyid Baswedan tanpa dukungan partai politik parlemen tidak akan efektif menjadi oposisi.
Misalnya veto terhadap RUU APBN maupun RUU (Rancangan Undang-undang) tidak akan berjalan bila partai Koalisi Prabowo-Gibran menjadi gemoy pasca NasDem, PKB dan PKS ikut bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju.
Mungkin oposisi yang dimaksud, Anies Rasyid Baswedan sebagai bagian dari civil society memberikan tausiyah kebangsaan, meluruskan jalan bila rezim yang berkuasa terlihat bengkok agar kembali lurus untuk menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Terlalu kritis terhadap kekuasaan kita bisa ambil ibra (pelajaran) dari Imam Besar Habib Rizieq Shihab. Jutaan massa yang menjemput kepulangan Imam Besar Habib Rizieq Shihab dari Arab Saudi di Soekarno Hatta Internasional Airport tak terlihat sama sekali saat Imam Besar Habib Rizieq Shihab ditangkap dan dikriminalisasi.
Semua pendukungnya diam. Tak kuasa melawan saat Imam Besarnya ditangkap dan dipenjara hingga hari ini. Jutaan massa bagai buih ditengah lautan seperti kata Rasulullah shallallahu alaihiwasallam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hampir-hampir bangsa-bangsa (kafir) saling mengajak untuk memerangi kalian, sebagaimana orang-orang yang akan makan saling mengajak menuju piring besar mereka”
Seorang sahabat bertanya: “Apakah disebabkan dari sedikitnya kita pada hari itu?”
Beliau menjawab: “Tidak, bahkan pada hari itu kalian banyak, tetapi kalian buih, seperti buih di lautan. Dan Allah akan menghilangkan rasa gentar dari dada musuh terhadap kalian. Dan Allah akan menimpakan wahn (kelemahan) di dalam hati kalian”
Seorang sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah wahn itu?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Cinta dunia dan takut menghadapi kematian.” (HR. Abu Dawud no. 4297)
Belajar dari Imam Besar Habib Rizieq Shihab tentu kita tak mau menjadi pendukung palsu baik terhadap Imam Besar Habib Rizieq Shihab maupun terhadap Anies Rasyid Baswedan. Cuma garang di media sosial tapi miskin aksi di lapangan. Aksi DPR, KPU dan MK buktinya.
Oposisi macan ompong. Peran civil society yang dimainkan Anies Rasyid Baswedan belum bisa menjadi pressure apalagi daya dobrak untuk meluruskan kekuasaan menghadirkan keadilan karena Anies Rasyid Baswedan bukan ketua umum partai parlemen.
Pengalaman selama 10 tahun terakhir ini khususnya terhadap Presiden Jokowi, oposisi hanyalah parlemen jalanan yang belum punya daya tekan terhadap kekuasaan. Bahkan seringkali dicuekin karena isu dan jumlah massa parlemen jalanan tidak solid dan kurang “nendang”.
PDIP dan PKS saja boleh dibilang gagal menjadi penyeimbang kekuasaan di parlemen. Kalah suara di parlemen. Beberapa RUU yang dinilai tidak pro rakyat gagal mereka tolak seperti omnibus law dan minerba.
Lalu dengan kekuatan politik apa andai Anies Rasyid Baswedan mengambil jalan sebagai oposisi untuk mengimbangi rezim Prabowo Subianto?
Suara pemilih Anies-Muhaimin yang berjumlah 40,9juta atau 24,95 persen tidak bisa menjadi kekuatan ril politik Anies Rasyid Baswedan untuk menekan kekuasaan. Karena jumlah pemilih sebanyak itu tidak terorganisir dalam satu organisasi. Sulit dikontrol dan dikendalikan. Selain terpencar dalam berbagai tempat juga belum punya isu yang mampu menyatukan mereka dalam kekuatan massa seperti Aksi 212 yang disatukan oleh isu penistaan agama oleh Ahok.
Simpul relawan Anies Rasyid Baswedan yang konon berjumlah ribuan itu belum terkelola dengan baik. Penulis tidak yakin jaringan simpul relawan yang ribuan itu solid, terstruktur dan terorganisir hingga ke desa atau kelurahan.
Jangan-jangan itu hanya klaim sepihak pimpinan simpul relawan yang tak jarang penulis temui hanya beranggotakan tak lebih dari 10 orang alias L4 (lo lagi lo lagi).
Belum lagi tipikal politik Anies Rasyid Baswedan yang dikenal santun, soft dan menghindari konfrontasi langsung bila berbeda pandangan politik dengan pihak lain.
Bagi yang paham tipikal politik Anies Rasyid Baswedan rasanya bila oposisi yang dimaksud pendukungnya parlemen jalanan atau konfrontasi langsung dengan kekuasaan rasanya bukan Anies banget. Anies dikenal dengan politik santun, soft dan mengedepankan adab itu lebih mengutamakan oposisi yang berbeda pandangan politik secara damai, solutif, pro rakyat dan menyejukkan.
Wallahua’lam bish-shawab
Bandung,
18 Syawal 1445/27 April 2024
Tarmidzi Yusuf, Kolumnis