DEMOCRAZY.ID - Mahkamah Konstitusi (MK) punya kewenangan untuk membatalkan hasil Pemilu dikarenakan dalam prosesnya terdapat kekeliruan.
Hal tersebut ditegaskan oleh mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie terkait proses perkara perselisihan hasil pemilu yang saat ini sedang berjalan di MK.
Jimly menjelaskan, dalam UUD 1945 dijelaskan MK menangani, mengadili dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilu.
Namun dalam penjelasan kewenangan tersebut ada yang membuat kesimpulan jika tentang hasil maka berpatokan kepada angka perolehan suara.
"Jadi MK itu berwenang memutus yang menang jadi kalah, yang kalah jadi menang. Bukan hanya angka. Jadi memutus satu soal perhitungan suara. Kedua mengenai keabsahan kursi untuk siapa, dan itu tidak selalu menyangkut angka," ujar Jimly di program Rosi KOMPAS TV, Kamis malam (4/4/2024).
Jimly menambahkan, MK yang bisa memutus perselisihan hasil pemilu tidak selalu menyangkut angka, dapat melihat faktor-faktor apa saja yang terjadi dalam hasil pemilu.
Hal itu bisa menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara. Namun putusan MK dalam sengketa Pilpres tetap menyangkut soal hasil, bukan tentang proses.
Sebab jika barpatokan pada proses Bawaslu RI lah yang menjadi pemutus perselisihan tersebut.
"Proses bukan ranahnya MK, tapi persoalannya apakah betul MK tidak bisa membuat keputusan gara-gara prosesnya keliru maka hasilnya tidak benar. MK bisa menetapkan yang menang jadi kalah, kalah jadi menang karena terbukti prosesnya tidak diikuti why not, bisa saja," ujar Jimly.
Mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini memberi contoh, jika Bawaslu yang berfungsi untuk mengadili sengketa mengenai calon tetapi tidak berbuat apa-apa, bisa menjadi sebuah bukti yang memenangkan Pilpres harus menjadi kalah.
"Argumen itu bisa dipakai. Jadi kembali lagi MK itu mengenai hasil. Hasil itu dua, mengenai perhitungan suara dan mengenai posisi, siapa yang berhak siapa yang tidak," ujar Jimly.
"Fokus objectum litis tentang hasil, bukan tentang prosesnya itu. Bahwa dalam prosesnya ada yang keliru dan mempengaruhi hasil bisa saja. Asal argumennya meyakinkan hakim," sambung Jimly.
Bukan Diskualifikasi
Lebih jauh Jimly menjelaskan, MK tidak berwenang mendiskualifikasi peserta pemilu. Menurutnya pihak yang mendiskualifikasi peserta pemilu adalah Bawaslu.
Karena hal tersebut menyangkut tentang proses pencalonan, pendaftaran peserta pemilu.
Jimly mengingatkan, MK pernah melakukan kesalahan mendiskualifikasi peserta pemilu. Hal itu terjadi saat sengketa Pilkada di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah pada 2010.
Kala itu pasangan calon bupati dan wakil bupati, Ujang Iskandar-Bambang Purwanto yang juga incumbent menggugat kemenangan Sugianto Sabran-Eko Sumarno ke Mahkamah Konstitusi (MK).
MK kemudian mengabulkan permohonan dan mendiskualifikasi pasangan Sugianto-Eko.
Jimly menjelaskan, saat itu putusan MK tidak dijalankan karena masih ada sengketa yang diajukan pihak pemenang Pilkada ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Di PTUN gugatan dikabulkan dan pihak yang kalah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN).
PT TUN juga mengabulkan dan menguatkan putusan tingkat pertama. Tak mau berakhir kubu Ujang-Bambang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
"Sampai MA dimenangkan, sehingga putusan MK yang menurut UUD bersifat final, mengikat menurut konstitusi dimentahkan. Gara-gara apa, gara-gara salah," ujar Jimly.
Sumber: Kompas