HUKUM KRIMINAL

[INVESTIGASI] Cuci Uang Korupsi APD COVID-19

DEMOCRAZY.ID
April 30, 2024
0 Komentar
Beranda
HUKUM
KRIMINAL
[INVESTIGASI] Cuci Uang Korupsi APD COVID-19
[INVESTIGASI] Cuci Uang Korupsi APD COVID-19


[INVESTIGASI] Cuci Uang Korupsi APD COVID-19


KPK menemukan indikasi TPPU sebesar Rp 208 miliar dalam kasus korupsi APD. Dana ini diduga digunakan tersangka untuk membeli pabrik air, reagen PCR, hingga rumah sakit.


Satrio Wibowo bersikukuh tidak menurunkan harga alat pelindung diri yang dijual perusahaannya kepada pemerintah. Dalam negosiasi di ruang rapat lantai 4 gedung Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta Timur, Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) ini mematok harga satu setel APD senilai USD 60. Setara Rp 973.800 per setel dengan kurs Rp 16.230 per dolar AS pada saat itu.


“Yang bersangkutan (Satrio) kemudian pergi meninggalkan ruang rapat,” begitu yang tertuang dalam notula rapat yang dihadiri perwakilan BNPB, Kementerian Kesehatan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada Selasa, 24 Maret 2020.


Rapat diskors setelah Satrio pergi. Sekretaris Utama BNPB saat itu, Hermansyah, pun menyusul keluar. Dia lantas menghubungi Satrio via telepon. Dalam pembicaraan telepon ini, keduanya menyepakati harga Rp 816 ribu atau USD 50. Hanya, bagi pemerintah, harga itu masih terbilang mahal. Pengalaman Kemenkes, membeli APD dengan merek serupa yang ditawarkan PT EKI hanya Rp 375 ribu.


Kala itu keadaan sudah mendesak. Hawar COVID-19 sudah menelan banyak korban dan semakin tidak terbendung. Satu per satu tenaga kesehatan tumbang. Pengadaan APD harus segera dilakukan. Pemerintah butuh sekitar 5 juta APD untuk segera didistribusikan kepada tenaga kesehatan. Kalau tidak, sistem kesehatan di Indonesia bisa runtuh.


Walhasil, pemerintah pun mengiyakan penawaran Satrio. Namun harganya turun jadi USD 48,4 atau Rp 789.888 per setel. Dengan catatan, BPKP akan melakukan audit atas pembelian tersebut. Jika nantinya ditemukan ketidakwajaran harga, penyedia wajib mengembalikan sisa uang yang dianggap tidak wajar tersebut kepada pemerintah.


Penyedia harus menunjukkan bukti-bukti pendukung atas besaran harga yang ditawarkan, termasuk besaran keuntungan yang diambilnya.”


“Penyedia harus menunjukkan bukti-bukti pendukung atas besaran harga yang ditawarkan, termasuk besaran keuntungan yang diambilnya,” tulis notula tersebut.


Empat hari setelahnya, Kemenkes pun mengeluarkan surat pesanan 5 juta APD untuk PT EKI dan rekanannya PT Permana Putra Mandiri (PPM). PT EKI berperan sebagai penyedia, sedangkan PT PPM sebagai distributor. PT EKI tidak bisa mendistribusikan APD secara langsung lantaran tidak memegang izin penyalur alat kesehatan (IPAK). Untuk itu, mereka perlu menggamit kerja sama dengan PT PPM yang memiliki izin edar.


Sekitar 2,1 juta APD mulai didistribusikan pada Maret-April 2020. Sepanjang proses pengadaan tersebut, harga APD yang ditawarkan PT EKI dan PPM beberapa kali berubah karena adanya negosiasi ulang. Mulai Rp 789.888 menjadi Rp 718.808 per setel. Kemudian turun lagi menjadi Rp 366.850 per setel.


Pada awal Mei 2020, total nilai pengadaan untuk 2,1 juta APD tersebut adalah Rp 1,33 triliun. Dari total itu, Kemenkes baru membayar sebanyak 1,01 juta APD senilai Rp 719,81 miliar. Pembayaran atas pengadaan APD tersebut kemudian dihentikan setelah Kemenkes menerima laporan BPKP soal adanya ketidakwajaran harga yang ditawarkan kedua perusahaan.


Dalam hasil auditnya, BPKP menyebut ketidakwajaran harga dari pembelian APD tersebut sebesar Rp 615,17 miliar. Menurut BPKP, harga wajar untuk pembelian 2,1 juta APD hanyalah Rp 709,84 miliar. Lebih rendah Rp 9,97 miliar dari uang yang sudah digelontorkan pemerintah sebelumnya.


“Atas kondisi ini, direkomendasikan kepada PPK (pejabat pembuat komitmen) DSP (dana siap pakai) pada Pusriskes untuk memperhitungkan ketidakwajaran harga sebesar Rp 625.147.194.192 pada saat melakukan pembayaran kepada PT PPM atas penyerahan APD sebanyak 1.130.200 set,” begitu yang tertuang dalam hasil audit BPKP.


Temuan BPKP ini kemudian dibawa dalam rapat BNPB dan Kemenkes bersama sejumlah aparat penegak hukum, termasuk KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri. Ketiga institusi ini meminta Kemenkes menagih kelebihan bayar Rp 9,97 miliar kepada PT PPM agar temuan BPKP tidak berlanjut menjadi persoalan hukum.


Ketika ditagih, Direktur PT PPM Ahmad Taufik malah menolak mengembalikan uang tersebut. Taufik bilang akan mengembalikan uangnya kalau pemerintah sudah bayar lunas semua tagihan APD yang ditagihkan. Meski begitu, pemerintah sudah berupaya menunggu iktikad baik PT PPM mengembalikan uang tersebut selama 2 tahun. Namun PT PPM masih belum mengembalikan kelebihan bayar tersebut.


Walhasil, temuan BPKP ini ditindaklanjuti KPK ke ranah hukum. Pada Maret 2023, KPK mulai melakukan penyelidikan atas dugaan korupsi pengadaan APD. Kasus ini kemudian naik ke tahap penyidikan pada Oktober 2023. KPK langsung menetapkan tiga tersangka, yakni Ahmad Taufik, Satrio Wibowo, dan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes Budi Sylvana.


Sebagaimana temuan BPKP, KPK juga menyatakan kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 625,15 miliar. Dari total itu, KPK menemukan indikasi adanya tindak pidana pencucian uang (TPPU) Rp 208 miliar. Nilai ini didapat KPK dari hasil keuntungan yang dinikmati PT PPM dan PT EKI atas penjualan APD kepada Kemenkes.


Uang tersebut diduga telah dibagi-bagi di antara tiga tersangka, plus satu pengacara bernama Isdar Yusuf, dan empat orang saksi yang dipanggil KPK pada Senin, 22 April lalu. Dalam rilisnya pada hari yang sama, KPK menyebut empat saksi yang dipanggil adalah Direktur Utama PT DS Solutions International, Ferdian; Komisaris PT Nawamaja Silatama, Agus Subarkah; seorang dokter di salah satu rumah sakit Lampung, Afnizal; dan Direktur PT Tria Dipa Medika, Dewi Affatia.


Agus Subarkah diduga menerima uang Rp 15 miliar, Afnizal Rp 1 miliar, Dewi Rp 1 miliar, dan Ferdian Rp 1 miliar. Saat dimintai konfirmasi, juru bicara KPK Ali Fikri membenarkan bahwa keempat orang tersebut memang dipanggil terkait dugaan TPPU korupsi APD. Namun Ali enggan menyebutkan secara pasti berapa nilai yang diduga diterima oleh keempat saksi tersebut.


“Itu semuanya masih didalami. Pasti kami kejar dari aliran uang itu untuk mencari, menggali lebih jauh kemungkinan-kemungkinan tercapainya TPPU,” jelas Ali saat ditemui di kantornya pada Selasa, 23 April 2024.


Satrio Wibowo, saat ditemui detikX di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, mengakui memang telah mentransfer sejumlah uang kepada empat saksi tersebut. Plus kepada mantan pengacaranya sendiri, Isdar Yusuf. Tetapi uang tersebut ditransfer bukan dengan tujuan pencucian uang, melainkan murni urusan bisnis.


Uang Rp 15 miliar yang ditransfer kepada Agus adalah untuk membeli pabrik air. Rp 1 miliar kepada Ferdian untuk pembelian reagen PCR, Rp 1 miliar kepada Dewi untuk uang muka pembelian Rumah Sakit Tria Dipa, dan Rp 1 miliar kepada Afnizal dalam bentuk CSR karena dia dianggap berjasa menangani COVID-19. Sedangkan uang yang ditransfer kepada Isdar Yusuf murni sebagai bayaran jasa pengacara.


Satrio mengakui uang yang ditransfer kepada sejumlah orang ini didapat dari hasil keuntungan penjualan APD kepada pemerintah. Pernyataan ini kontras dengan dalih Satrio saat awal negosiasi harga APD dengan pemerintah pada Maret 2020. Saat itu, dia mengaku dengan harga USD 60 saja perusahaannya sama sekali tidak mendapatkan keuntungan. Namun, saat diwawancarai detikX, dia mengakui sudah mendapatkan untung Rp 20-25 miliar dari pembayaran APD senilai Rp 719,81 miliar.


“Harusnya Rp 80 miliar. Cuma, karena kasus ini, kita juga nggak dapat itu Rp 80 miliar,” terang Satrio saat ditemui pada Jumat, 26 April 2024.


Agus Subarkah membenarkan telah menerima Rp 15 miliar dari Satrio untuk pembelian pabrik air. Dia mengaku tidak tahu-menahu soal asal uang itu dari mana. Tetapi dia berjanji akan mengembalikan uang itu ke negara jika pabrik airnya sudah terjual.


“KPK juga tahu, saya sudah bilang demikian,” jelas Agus saat ditemui di kantornya di Bogor pada Jumat, 26 April 2024.


detikX sudah berupaya mengejar klarifikasi kepada empat orang lain yang diduga menerima uang dari Satrio. Pada Jumat, 26 April lalu, detikX mendatangi kantor PT DS Solutions International di Kelapa Gading untuk menemui Ferdian. Namun Ferdian sedang tidak di tempat. Surat permohonan wawancara sudah kami titipkan kepada resepsionis. Namun hingga kini Ferdian masih belum memberi tanggapan.


Upaya klarifikasi kepada Dewi Affatia, Isdar Yusuf, dan Afnizal juga sudah kami lakukan, tetapi menemui jalan buntu. Isdar sudah tidak lagi berkantor di Gedung Gondangdia Lama saat kami menyambangi kantornya pekan lalu. Seorang petugas keamanan di gedung tersebut bilang Isdar tidak lagi berkantor di sana sejak dua tahun lalu.


Demikian juga dengan Afnizal. Kontributor kami di Lampung tidak berhasil melacak keberadaan Afnizal untuk dimintai konfirmasi. Sementara itu, Dewi Affatia rupanya sudah tidak berkantor di RS Tria Dipa. Seorang staf bagian informasi di RS ini bilang Dewi sudah tidak lagi menjadi bagian dari manajemen RS Tria Dipa sejak Januari 2023.


“Untuk persisnya saya kurang tahu,” terang staf ini pada Jumat, 26 April lalu.


Sedangkan Budi Sylvana mengklaim sama sekali tidak menerima uang sepeser pun dari uang bancakan pengadaan APD ini. Dia justru merasa sudah bekerja dengan benar karena telah menghentikan pengadaan APD dari PT PPM dan PT EKI setelah adanya audit dari BPKP. Dia bahkan menantang KPK untuk membuktikan jika ada aliran uang yang masuk ke kocek pribadinya dari hasil penjualan APD tersebut.


“Menurut saya, nanti PPATK yang bisa menjawab aliran uang itu larinya ke mana,” jelas Budi saat ditemui di Pasar Festival, Jakarta Selatan, pada Selasa, 9 Januari lalu.


Sementara itu, Ahmad Taufik sama sekali tidak mau berkomentar terkait dugaan keterlibatannya dalam kasus pengadaan APD ini. Pengacara Ahmad Taufik untuk urusan perdata, Donal Fariz, mengatakan posisi kliennya saat ini sangat dilematis. Sebab, saat proses pengadaan itu kliennya sudah memesan total 5 juta APD untuk pemerintah sesuai dengan surat pesanan pada 28 Maret 2020. Tetapi pemerintah baru menyerap sekitar 2,1 juta.


“Sudah merugi karena barang nggak diserap malah dijadikan tersangka pula,” pungkas Donal kepada reporter detikX pekan lalu.


Sumber: DetikX

Penulis blog