DEMOCRAZY.ID - Sejumlah aktivis perempuan termasuk dosen dan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menggelar aksi Kampus Menggugat dalam peringatan Hari Kartini di Balairung UGM Yogyakarta Minggu 21 April 2024.
Salah satu peserta aksi yang merupakan Guru Besar Fakultas Ekonomi Budaya (FEB) UGM Wuri Handayani menyatakan kegiatan ini menjadi yang ketiga digelar civitas UGM, terutama kalangan dosen.
Kegiatan Kampus Menggugat ini menyorot kondisi demokrasi di penghujung kepemimpinan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang merupakan alumnus UGM.
"Aksi pertama, menjelang pelaksanaan Pemilu 7 Februari 2024, kita sudah mengingatkan Jokowi untuk kembali ke koridor demokrasi yang benar," kata Wuri.
Aksi pertama itu, kata dia, didasarkan pada keprihatinan atas manipulasi demokrasi di Indonesia yang sangat sistematis dan massif dengan digunakannya alat-alat negara untuk memenangkan pasangan calon presiden tertentu.
Manipulasi demokrasi jelang Pemilu 2024, kata Wuri, bisa dilihat dalam film documenter The Dirty Vote.
Ia pun mengingat penjelasan Pakar Hukum Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar alias Uceng sesaat setelah film menggemparkan itu dirilis jelang Pemilu.
"Saya ingat sekali kata-kata mas Uceng di bulan Februari lalu, bahwa UGM menjadi bagian dari 'kerusakan' demokrasi di Indonesia, sehingga sudah sewajarnya UGM juga bertanggung jawab untuk memperbaiki demokrasi dengan tidak hanya berdiam diri," kata Wuri.
Setelahnya, para dosen dan perwakilan mahasiswa UGM kembali menggelar aksi setelah pelaksanaan Pemilu 12 Maret 2024.
Saat aksi kedua itu para sivitas kembali berkumpul untuk menyuarakan Aksi Kampus Menggugat, Tegakkan Etika dan Konstitusi, Perkuat Demokrasi.
"Keprihatinan aksi kedua saat itu tentu saja didasarkan pada kecurangan yang terjadi selama pemilu presiden 2024," kata Wuri dalam aksi bertajuk Kartini Bangkit : Mengawal Putusan MK untuk Demokrasi Indonesia itu.
Pada waktu itu, kata dia, DPR sudah memulai hak angket yang walaupun pada akhirnya partai juga melempem dan DPR memulai panitia khusus atau pansus.
"Sekali lagi, Mas Uceng saat itu menawarkan adanya pengadilan rakyat di UGM," kata dia.
Praktek pengadilan rakyat atau International People Tribunal ini pernah dilakukan oleh pegiat hak asasi manusia (HAM) di Den Haag November 2015 terkait peristiwa PKI 1965 yang sulit dibawa ke pengadilan resmi karena kendala pembuktian dan terdakwa.
Namun saat itu, panel hakim pengadilan rakyat dapat menyimpulkan bahwa memang terjadi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965.
Lantas, aksi ketiga sivitas UGM kembali digelar bertepatan Hari Kartini atau menjelang titik akhir sengketa Pilpres.
"Ada yang mengatakan bahwa suara perempuan adalah suara dari surga. Bahkan, ada salah satu buku yang berjudul 'Bila Perempuan Bersuara, Delapan Penjuru Bergema," kata Wuri.
"Maka, kami para perempuan di sini bersuara untuk mengetuk hati para hakim MK karena keputusan MK merupakan penjaga gawang terakhir konstitusi," kata Wuri.
Pihaknya berharap delapan hakim MK pada Senin 22 April 2024 tidak hanya memutuskan berdasarkan koridor Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Namun juga melihat fakta-fakta yang disampaikan, melihat proses pemilu secara keseluruhan, tidak hanya pada hasil.
"Termasuk juga mempertimbangkan amicus curiae yang sudah disampaikan oleh berbagai pihak," kata Wuri.
Keputusan MK ini, kata Wuri, akan menjadi preseden bagi proses pemilihan kepala daerah atau pilkada selanjutnya.
"Bagaimana kita akan mendapatkan pemimpin daerah ke depannya, oleh karena itu, kami bersuara agar para hakim MK dapat menegakkan keadilan substansial yang didasarkan pada keyakinan, akal sehat dan nurani serta kewenangan untuk menegakkan kebenaran demi kepentingan terbaik Indonesia," kata dia.
Dalam acara itu hadir juga sejumlah aktivis juga guru besar perempuan UGM. Seperti Wiendu Nuryanti, Okky Madasari, Endang Semiarti, dan Sri Wiyanti Eddyono. Ada juga Suci Lestari Yuana, Nur Azizah dan perwakilan mahasiswa, Antonella.
Sumber: Tempo