'Fiksi Hukum atau Legis Fictio Corneliae, Seorang Jokowi Asumsi Dihukum Seumur Hidup 3 Kali'
Oleh: Damai Hari Lubis
Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
Makna dari asas hukum presumptio iures de iur adalah bahwa setiap individu, tanpa memandang latar belakang atau pendidikan formalnya, dianggap memiliki pengetahuan tentang hukum yang berlaku dan konsekuensi pelanggarannya. Dengan kata lain, semua orang dianggap mengetahui dan harus mematuhi hukum.
Ketika kita membandingkan prinsip ini dengan jabatan fungsional dan struktural Jokowi sebagai kepala negara dan pemerintahan tertinggi Indonesia, prinsip equality tetap berlaku.
Meskipun Jokowi menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, dia juga diharapkan mematuhi dan tunduk pada hukum seperti warga negara biasa.
Dengan demikian, meskipun Jokowi memiliki kedudukan yang tinggi dan kuasa yang besar dalam pemerintahan, prinsip hukum menyatakan bahwa tidak ada yang dikecualikan dari kewajiban untuk mematuhi hukum.
Ini menegaskan bahwa keadilan dan kesetaraan di hadapan hukum adalah prinsip yang mendasar dan harus dipegang teguh oleh semua, termasuk pemimpin negara.
Oleh karena itu, dalam konteks tanggung jawab hukum atas perilaku kesalahan yang dilakukan oleh Jokowi dan para pejabat pemerintahannya, adalah suatu keharusan.
Setiap pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur negara di bawah kepemimpinannya memerlukan pertanggungjawaban hukum yang tegas.
Dalam hal ini, prinsip kausalitas hukum berlaku, di mana Jokowi sebagai pemimpin harus bertanggung jawab atas tindakan para bawahannya.
Kaitannya dengan perkara Sengketa Hasil Pemilihan Umum (SHPU) Pilpres 2024, di mana Jokowi diminta hadir sebagai saksi atau memberikan keterangan di persidangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), hal ini juga merupakan bagian dari proses mencari keadilan dan kebenaran hukum.
Jika ada dugaan keterlibatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh Jokowi dalam konteks pemilihan umum tersebut, maka kehadiran atau keterangan dari Jokowi di persidangan sangatlah penting untuk memastikan keadilan dan kebenaran hukum terwujud.
Dalam konteks ini, legalitas hukum harus dijunjung tinggi tanpa terkecuali. Jokowi harus hadir atau dipaksa hadir di persidangan MK sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, kecuali jika ada alasan yang sah yang menghalanginya.
Hal ini diperlukan untuk menjaga integritas hukum, memastikan keadilan, serta menegakkan supremasi hukum dalam sistem demokrasi.
Kausalitas hukum terhadap hakim yang enggan memanggil dan menghadirkan Jokowi ke persidangan adalah perilaku yang dapat dikategorikan sebagai penghalang terhadap keadilan (obstruction of justice) sesuai dengan Undang-Undang dan Konstitusi Republik Indonesia.
Hakim tersebut seharusnya dipanggil oleh Komisi Etik Mahkamah Konstitusi untuk mempertanggungjawabkan tindakannya yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip legalitas.
Tindakan tersebut, yang diduga dipengaruhi oleh pertimbangan subjektif seperti rasa segan atau tidak nyaman, merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hukum acara formil yang diatur dalam sistem konstitusi yang berlaku.
Sementara itu, tanggung jawab hukum Jokowi dan para aparatur negara serta pejabat publik lainnya, termasuk komisioner-komisioner di lembaga publik dan negara lainnya, adalah untuk mematuhi dan menjalankan hukum serta konstitusi dengan itikad baik dan tanpa diskriminasi.
Mereka harus bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan yang mereka ambil, serta memastikan bahwa kepentingan masyarakat dan keadilan diutamakan dalam setiap langkah yang diambil.
Jokowi, sebagai pemimpin tertinggi negara, memiliki tanggung jawab khusus untuk memastikan bahwa pemerintahannya beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip hukum, transparansi, dan akuntabilitas.
Dia harus memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil oleh pemerintahannya memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, serta tidak melanggar aturan dan hukum yang berlaku.
Para komisioner dan pejabat publik lainnya juga memiliki tanggung jawab yang sama untuk menjalankan tugas mereka dengan itikad baik, integritas, dan kejujuran.
Mereka harus bekerja untuk kepentingan masyarakat dan negara, serta tidak terlibat dalam tindakan yang melanggar hukum atau etika.
Pada akhirnya, semua pihak yang terlibat dalam proses hukum dan pemerintahan harus sadar akan tanggung jawab hukum mereka dan bekerja untuk menjaga integritas dan independensi lembaga-lembaga negara, serta memastikan bahwa keadilan dan kebenaran hukum selalu terwujud.
Menurut Pasal 52 KUHP UU No.1 Tahun 1946, hukuman yang dapat diberikan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran hukum adalah dapat ditambah sepertiga dari ancaman hukuman yang terberat.
Ketika kita mempertimbangkan estimasi hukuman terhadap Jokowi, jika dikaitkan dengan penegakan hukum dari perspektif masyarakat hukum, mengingat banyaknya perilaku penyimpangan yang dilakukan oleh Jokowi, bisa jadi sanksi hukum yang diberikan akan sesuai dengan berbagai pelanggaran hukum yang dilakukannya.
Sanksi tersebut dapat berkisar dari tindakan pelanggaran terhadap hukum yang terkait dengan karakter pembiaran hukum hingga tindakan delik (disobedience) yang dilakukan oleh Jokowi.
Dalam konteks ini, jika kita mengasumsikan lamanya sanksi hukuman untuk setiap pelanggaran, pembiaran, atau delik yang dilakukan oleh Jokowi, dan menghubungkannya dengan faktor usia rata-rata manusia, Jokowi bisa dihukum seumur hidup hingga tiga kali sejak usia 40 tahun.
Namun, dalam kasus yang ekstrim, apabila negara ini memegang teguh supremasi hukum (rule of law) secara proporsional, melalui proses yang adil dan kesetaraan di hadapan hukum, vonis mati juga dapat menjadi pilihan.
Penting untuk diingat bahwa hukuman yang diberikan haruslah sesuai dengan beratnya pelanggaran yang dilakukan, serta mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan dan proporsi dalam penerapannya. Meskipun demikian, penegakan hukum yang tegas dan adil tetap menjadi fondasi utama dalam menjaga integritas sistem hukum sebuah negara. ***