DEMOCRAZY.ID - Lapangan rumput nan hijau di tengah kampus Universitas Columbia di Manhattan, New York, itu biasanya mengundang mahasiswa untuk bercengkrama atau melahap buku di bawah sinar matahari.
Tapi beberapa pekan terakhir, Buttler Lawn menjadi episentrum aksi demonstrasi menuntut gencatan senjata permanen di Jalur Gaza, yang menginspirasi gerakan serupa di universitas lain di Amerika Serikat.
Eskalasi berawal pada Kamis, 18 April silam, ketika Rektor Columbia Nemat Minouche Shafik mendatangkan pasukan anti huru-hara kepolisian New York untuk membubarkan paksa kampung tenda yang didirikan demonstran. Buntutnya, polisi menahan lebih dari 100 mahasiswa.
"Saya mengambil keputusan darurat karena situasi yang sangat serius," tulis Shafik, dan menyatakan "penyesalan mendalam," dalam sebuah email yang disebar ke seluruh anggota universitas.
Meski begitu, pihak universitas tetap menskors mahasiswa yang ditahan. Sejak itu, tenda-tenda kembali bermunculan di halaman kampus.
Solidaritas dosen dan pegawai kampus
Senin (22/4) lalu, ratusan pegawai universitas melakukan aksi walk-out sebagai solidaritas bagi protes mahasiswa.
Buntutnya, manajemen universitas mengumumkan, separuh kegiatan pembelajaran akan dilaksanakan secara virtual hingga akhir tahun ajaran.
Para mahasiswa memprotes tingginya angka korban sipil Palestina akibat gempuran militer Israel di Jalur Gaza.
Menurut kementerian kesehatan di bawah Hamas di Gaza, angka korban jiwa mencapai 34.000 orang. Dana Anak-anak PBB, UNICEF, melaporkan setidaknya 13.000 warga sipil yang tewas merupakan anak-anak.
Operasi militer Israel mengemban misi anti-teror dan pembebasan sekitar 240 sandera yang ditahan di Jalur Gaza sejak serangan teror Hamas pada 7 Oktober 2023 lalu, yang menewaskan 1.200 orang.
Namun, perang yang dikobarkan Israel menciptakan situasi yang oleh organisasi bantuan digambarkan sebagai bencana kemanusiaan.
Saat ini, penduduk sipil di Gaza mengalami kekurangan makanan, air dan obat-obatan. Situasi menjadi kian genting, ketika Israel bersikeras melancarkan serangan darat ke Rafah.
"Kami menuntut agar suara kami didengar demi mengakhiri pembantaian masal warga Palestina di Gaza," tulis Columbia University Apartheid Diverst, sebuah kelompok mahasiswa pro-Palestina, di Instagram, Senin silam.
"Universitas kami ikut terlibat dalam kekerasan ini dan sebab itu kami protes."
.Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Protes meluas di kampus-kampus
Dalam beberapa hari terakhir, protes pro-Palestina di kampus Columbia meluas ke universitas lain. Di Universitas New York yang berdekatan, jumlah demonstran membengkak dengan datangnya ratusan mahasiswa lain pada hari Senin.
Di sana, protes berakhir ricuh ketika otoritas kampus juga mendatangkan aparat keamanan, yang kemudian menangkap beberapa mahasiswa.
Universitas Harvard di Boston mengambil langkah dini menutup pelataran utama kampus pada hari Senin. Adapun tenda dan meja hanya bisa digunakan di lapangan setelah mendapat izin.
Di Universitas Yale di Connecticut, polisi hari Senin kemarin menahan 45 demonstran yang lalu didakwa dengan tindak pidana ringan.
Semua sudah dibebaskan dengan syarat wajib mematuhi undangan datang ke pengadilan, kata kepolisian.
Protes di lembaga pendidikan elit AS juga menyebar di banyak kampus lain.
Tuduhan antisemitisme
Protes pro-Palestina di kampus-kampus AS ditengarai ikut ditunggangi ideologi antisemit. Manajemen Universitas New York, misalnya, mengabarkan adanya "yel-yel intimidatif dan sejumlah insiden antisemit," dalam aksi demonstrasi.
Rektor Columbia, Shafik, mengatakan perundungan antisemitisme juga terjadi di kampusnya. "Perselisihan hanya semakin meruncing dalam beberapa hari terakhir," kata dia.
"Ketegangan ini dieksploitasi dan diamplifikasi oleh individu-individu yang tidak berkaitan dengan Columbia dan datang ke kampus untuk mengusung agendanya sendiri."
Kelompok mahasiswa menolak tuduhan antisemitisme yang diarahkan secara umum kepada aksi demonstrasi. Menurut mereka, insiden disebabkan aksi perorangan.
"Kami menolak dengan tegas setiap bentuk kebencian dan mewaspadai individu yang bukan berstatus pelajar berusaha mengganggu solidaritas yang dibangun para mahasiswa kami, baik beretnis Palestina, umat muslim, Arab, Yahudi, berkulit hitam dan semua rekan pro-Palestina yang mewakili keragaman di negeri ini," tulis koalisi mahasiswa di akun Instagramnya.
Israel tidak populer di mata generasi muda
Protes mahasiswa yang meluas diyakini mencerminkan penolakan kaum muda AS terhadap respons Presiden Joe Biden kepada aksi Israel di Jalur Gaza dan wilayah pendudukan di Tepi Barat.
Secara historis, AS adalah sekutu dan pemasok senjata terbesar bagi Israel. Tapi jumlah korban sipil Palestina yang tinggi dan derasnya protes di dalam negeri mendorong Washington menyurutkan dukungannya.
Namun, desakkan Gedung Putih kepada Israel untuk memperluas zona aman dan membuka akses bantuan kemanusiaan dianggap tidak cukup.
Para mahasiswa menuntut pemerintah AS mendesakkan gencatan senjata permanen di Jalur Gaza dan menghentikan bantuan militer bagi Israel.
Sumber: Detik