POLITIK

Ahli Ekonomi UI: Catatan Analisis Statistik Membuktikan Dampak Bansos

DEMOCRAZY.ID
April 11, 2024
0 Komentar
Beranda
POLITIK
Ahli Ekonomi UI: Catatan Analisis Statistik Membuktikan Dampak Bansos

Ahli Ekonomi UI: Catatan Analisis Statistik Membuktikan Dampak Bansos


DEMOCRAZY.ID - NARASI yang disampaikan saksi ahli Ekonom UI Vid Adrison pada sidang lanjutan di Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (01/04/2024) patut dicermati.


Ada kondisi yang tidak tersampaikan secara utuh, entah karena keterbatasan waktu atau keterbatasan kajian.


Paparan saksi ahli “Dampak dari Bansos terhadap Perolehan Suara Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden 02”, memiliki tiga implikasi yang perlu diurai, yaitu mulai dari kondisi awal data, kebijakan bantuan, baru kemudian dampak langsung maupun tak langsung.


Kondisi awal


Pada kondisi normal, hubungan antara kandidat dengan pemilih tidak sepenuhnya stabil, karena semakin kritis pemilih, semakin mampu membaca konsistensi kebijakan dari tokoh yang dipilihnya. Sehingga, akan ada pihak yang menjadi loyalis, pragmatis, atau oportunis.


Terbukti setiap survei elektabilitas ada massa mengambang dan non-partisan. Perilaku memilihnya akan mengevaluasi tokoh incumbent atau memilih wajah baru pada pemilu berikutnya.


Perilaku pemilih telah dianalisis sejak tahun 1937, yang ditandai dengan terbitnya buku “Political Behavior: Studies in Election Statistics” karya Herbert Tingsten, membahas tentang kecenderungan dalam memilih saat pemilu.


Jika teori ini digunakan untuk menjembatani teori “Political Budget Cycle” yang diutarakan saksi ahli pada sidang PHPU, maka yang perlu diuji adalah apakah seseorang yang menerima bantuan memiliki peluang lebih besar untuk memilih kandidat pasangan calon tertentu.


Sehingga, data yang digunakan adalah data individu penerima bantuan dan pilihannya di bilik suara. Tujuannya untuk menyelesaikan hipotesis bahwa seorang penerima bantuan akan memutuskan apakah memilih calon tertentu atau tidak.


Bukan bantuan tunggal


Bantuan yang diterima pemilih ternyata juga tidak tunggal, karena pemberi bantuan bukan hanya pemerintah.


Implikasinya, data yang digunakan perlu dipisahkan, mana pemilih yang hanya dapat bansos, hanya dapat bantuan lain, atau pemilih mendapatkan keduanya. Tujuannya, untuk memastikan bahwa keputusan yang dipilih adalah benar dampak bansos.


Sayangnya, bantuan sosial yang digunakan saksi ahli juga tidak utuh. Saksi ahli belum memperhitungkan bantuan sosial tambahan, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) El Nino, BLT Desa, BLT Mitigasi Risiko Pangan, dan Bantuan Pangan Beras.


Implikasinya, proporsi belanja bansos yang dipersangkakan adalah bansos rutin Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang justru disalurkan oleh Kementerian Sosial.


Sementara itu, ada bantuan lain yang tidak diperhitungkan, yaitu dari pemberian pasangan capres-cawapres lain, dari caleg DPR maupun DPD.


Sebagai gambaran dari hasil survei pasca-pencoblosan Indikator Politik Indonesia, pada pemilu ini ada 18,4 persen responden yang mengaku menerima serangan fajar.


Sebarannya, 21,1 persen tim Ganjar-Mahfud, 20,8 persen tim Prabowo-Gibran, dan 16,9 persen tim Anies-Muhaimin. Sisanya tidak menjawab atau tidak tahu siapa pemberinya.


Dampaknya, perilaku seseorang dalam menentukan keputusan memilih calon 02, terganggu oleh variabel bantuan lain yang sebaiknya diuji juga dampaknya.


Dampak langsung


Dampak langsung bantuan sosial adalah peningkatan pendapatan, sayangnya tidak semua bantuan tersebut digunakan untuk konsumsi.


Secara teori, ada tiga perilaku penerima bansos yang bakal terjadi, yaitu ditabung, membayar hutang, dan konsumsi. Sehingga, tidak semua penerima bansos keluar dari garis kemiskinan.


Implikasinya, penurunan kemiskinan akibat bansos yang disampaikan saksi ahli, memiliki celah masalah.


Perubahan konsumsi sebenarnya dapat dilihat dari hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas), bahwa peningkatan konsumsi penduduk miskin yang penerima bansos sangatlah rendah.


Sebagai gambaran dari Susenas 2021-2022, peningkatan konsumsi penduduk miskin yang menerima bansos tunai meningkat sekitar Rp 29.000 per bulan, sementara yang tidak miskin mengalami peningkatan pengeluaran signifikan, lebih dari Rp 70.000 per bulan.


Hal ini menyiratkan bahwa orang yang tidak miskin jauh lebih diuntungkan.


Konsekuensinya, angka kemiskinan tidak cukup menjadi proksi penduduk penerima bansos. Lebih-lebih lagi, penerima bantuan sosial merata pada seluruh penduduk miskin, tidak peduli apakah penduduk tersebut memilih calon 01, 02, atau 03.


Hal ini sesuai dengan hasil exit-pool Litbang Kompas, bahwa penerima bansos merata di ketiga kandidat.


Saat saksi ahli menggunakan data tingkat kemiskinan sebagai proksi penerima bansos, implikasinya mengesampingkan kondisi awal perilaku pemilih yang sebenarnya tidak tercermin seluruhnya pada data.


Dampaknya, analisis statistik yang dihasilkan tidak objektif dan jika dipaksakan maka membentuk framing seakan-akan bansos berdampak langsung perolehan suara capres-cawapres tertentu.


Dampak tak langsung


Selanjutnya, ada dua kondisi dampak tidak langsung pemberian bantuan sosial menjelang elektoral, yaitu pada kondisi ideal dan tidak ideal.


Pada kondisi ideal, asumsi bahwa pemberian bansos akan berdampak positif dan signifikan pada perolehan suara calon yang didukung petahana, jika data yang digunakan adalah data Keluarga Penerima Manfaat (KPM) bansos dan peluang dari penduduk untuk memilih salah satu capres-cawapres yang dipersangkakan.


Sayangnya, angka kemiskinan merupakan cerminan masalah multidinemsi. Sehingga banyak dependensi atau faktor penyebab yang tidak diperhitungkan, bukan sekadar menerima bansos atau tidak.


Terbukti, tingkat kemiskinan yang tinggi dan rendah tak mampu memenangkan pasangan Prabowo-Gibran.


Menurut catatan BPS pada Maret 2023, Provinsi Aceh memiliki tingkat kemiskinan tertinggi nomor 6, dengan tingkat kemiskinan 14,45 persen, tidak dimenangkan oleh pasangan Prabowo-Gibran.


Sementara, Bali dengan tingkat kemiskinan terendah sebesar 4,25 persen, justru dimenangkan oleh pasangan Prabowo-Gibran.


Sehingga, ada pengabaian asumsi lain yang seharusnya dilibatkan pada analisis yang dilakukan oleh saksi ahli.


Tambahan informasi yang disampaikan oleh saksi ahli, terkait masyarakat dengan penghasilan rendah dan berpendidikan rendah cenderung bersifat myopic atau hanya melihat dalam jarak pendek merupakan dampak langsung bukan kondisi eksternalitas.


Jangka pendek, penduduk akan menerima seluruh pemberian, baik bantuan sosial maupun uang dari peserta pemilu, untuk memenuhi kebutuhan harian. Bukan pada keputusan memberikan suara pada salah satu paslon tertentu.


Sementara, hasil survei pascapemilu (post-election survey) ini dilakukan LSI pada 19-21 Februari 2024, yang menunjukkan bahwa sebagian besar penerima bansos adalah pemilih Prabowo-Gibran, justru mengesampingkan fakta bahwa ada 13,1 persen penerima bansos yang memilih Ganjar-Mahfud dan 17,6 persen adalah pemilih Anis-Muhaimin.


Jika asumsi keterangan ahli bahwa bantuan sosial berdampak pada suara pasangan capres dan cawapres, maka kedua pasangan selain pasangan 02 juga menerima dampak tidak langsung secara positif (externalitas positif) pada perolehan suara.


Terakhir sebagai pengingat, setiap angka statistik memiliki banyak sisi yang perlu didalami, perilaku apa yang terjadi sebelum dan sesudah kejadian itu terjadi.


Karena angka apapun yang dihasilkan, bisa dilihat dengan cara yang menguntungkan maupun merugikan, bahkan tanpa harus mengubah apa pun pada datanya.


Tentu tulisan ini bukan maksud untuk menggurui, namun mengingatkan kembali bahwa angka statistik seperti dua mata pisau. 


Berbahaya jika digunakan untuk framing politik tertentu, dan bermanfaat jika dijadikan acuan pengambilan kebijakan.


Tanpa sudut pandang yang objektif, pembaca angka berpotensi menjadi mutant statistics.


Seperti halnya yang disampaikan Enrico Giovani, Kepala Divisi Statistic Organization for Economic Co-operation and Development, pada “Statistics and Politics in a Knowledge Society”, yang menulis “Even correct data can be incorrectly interpretated, resulted in what some call as mutant statistics.”


Sumber: Kompas

Penulis blog