DEMOCRAZY.ID - Kementan dan Kemenhan menyatakan, panen raya jagung itu berlangsung di Desa Tewai Baru, Kecamatan Sepang, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Kepala Balai Penerapan Standar Instrumen Pertanian (BPSIP) Kalimantan Tengah, Akhmad Hamdan mengatakan kegiatan ini merupakan komitmen pemerintah dalam memperkuat ketahanan pangan khususnya jagung sebagai komoditas strategis nasional.
"Kami berkomitmen untuk meningkatkan skala produksi jagung nasional. Kami selalu mengatakan bahwa ketahanan pangan adalah pertahanan negara. Jadi kami mempersiapkan apa yang menjadi harapan masyarakat," ungkap Hamdan melalui keterangan tertulis yang diterima VOA, Selasa (12/3).
Ia menjelaskan, hasil ubinan yang diambil dari tiga lokasi lumbung pangan (food estate) menunjukkan bahwa rata-rata hasil produksi jagung di sana mencapai 5,6 ton per hektare atau masuk dalam kategori tinggi karena dihitung berdasarkan pongkol kering.
"Semua yang berkolaborasi ini penuh semangat dan melakukan penanaman berkelanjutan untuk memperkuat posisi pangan bangsa," imbuhnya.
Masih dari lokasi yang sama, Hamdan menambahkan bahwa kegiatan ini dilanjutkan dengan tinjauan lahan singkong dan komoditas lain yang tumbuh subur hampir di semua lahan.
"Singkong di sini tumbuh subur dan kami yakin ke depan akan memenuhi semua (kebutuhan) makanan masyarakat," jelasnya.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah Bayu Herinata meragukan dan mempertanyakan klaim panen raya jagung itu.
Bayu menjelaskan, berdasarkan tinjauan terakhir ke lahan tersebut pada pertengahan Januari 2024 lalu, tidak banyak jagung yang bisa dipanen.
Selain itu, katanya, jagung yang bisa dipanen pada saat itu bukanlah jenis yang bisa dikonsumsi langsung, melainkan yang kemungkinan akan digunakan sebagai bibit untuk ditanam kembali.
“Di Januari itu kondisi jagungnya (yang dipanen) juga tidak semua, mungkin tidak sampai 10 hektare lahan jagung yang ditanam siap untuk dipanen. Jadi kalau dibilang lahan yang di panen itu berada di Gunung Mas, dan produktivitas sebanyak itu yakni 5,6 ton itu menjadi pertanyaan sebenarnya karena tidak memungkinan,” ungkap Bayu.
Lebih jauh, Bayu menjelaskan ,faktor utama lahan lumbung pangan di Gunung Mas ini mustahil untuk membuahkan produksi yang tinggi dan baik, adalah karena kondisi lahan yang tidak sesuai untuk pertanian.
Seperti diketahui lahan lumbung pangan yang luas di Gunung Mas ini sebelumnya merupakan hutan yang dibabat habis.
Pemerintah, ujarnya, kemudian menggunakan tanah subur dari luar Kalteng dan media tanam lainnya untuk mulai menanam berbagai komoditas, seperti jagung, dengan menggunakan pupuk yang cukup banyak untuk mencapai produktivitas yang cukup tinggi.
“Jadi yang sebelumnya kami temukan di November (2023) itu dengan polybag dicoba ditutupi dengan melepas polybag-nya dan diuruk lagi. Jadi kelihatannya seperti ditanam langsung di lahan yang ada, padahal di uruk dengan tanah yang lain,” jelasnya.
Bayu menekankan apabila pemerintah memaksakan untuk terus menanam di lahan lumbung pangan ini, maka akan berujung pada pemborosan, mengingat anggaran pengeluaran tidak sebanding dengan hasil yang ditargetkan.
Ia mencontohkan, hal ini sudah terbukti di beberapa lahan lumbung pangan lainnya di Kalteng yang terfokus pada padi.
Pemerintah sebelumnya telah mengolah lahan gambut tipis di sana untuk dijadikan sawah. Namun, baru 20 tahun kemudian pemerintah bisa menjalankan praktik tersebut.
Tidak hanya itu, produktivitas yang dihasilkan dari lahan itu sebanding sawah yang tanahnya memang sesuai dan subur.
“Kalau pemerintah tetap memaksakan menanam singkong, jagung di lahan food estate yang kondisi lahannya berpasir bahkan berbatu, itu terlalu banyak biaya yang harus dikeluarkan, dan dikucurkan dari APBN. Sedangkan produktivitasnya tidak akan maksimal dan lagi-lagi tidak akan menjawab kebutuhan pangan apalagi kedaulatan pangan yang terus-terusan disampaikan oleh pemerintah,” tegasnya.
WALHI, menurut Bayu, merekomendasikan untuk mengembalikan sistem pemenuhan pangan ke pola pertanian yang sudah dijalankan masyarakat setempat.
“Menurut kami rekomendasinya harus mendukung sistem atau pola pertanian yang sudah ada di masyarakat. Hari ini di Kalteng sistem pertanian berladang yang seharusnya didukung dan diatur dalam kebijakan yang ada. Siapa yang boleh , siapa yang tidak boleh, dimana wilayahnya. Kalau perlu, mereka harus diperkuat (pengetahuan) pola pertaniannya supaya tidak terlalu merugikan atau merusak lingkungan,” tuturnya.
“Harus diberikan insentif, atau subsidi, pengetahuan yang harus diperkuat dan dikembangkan. Jadi buka memaksakan suatu konsep baru yang orientasi komoditasnya skala luas. Dan lagi-lagi itu bukan ditujukan untuk kebutuhan masyarakat yang ada di sini, tapi untuk ke luar dan juga ekspor,” pungkasnya.
Sumber: VOA