DEMOCRAZY.ID - Universitas Islam Indonesia menyampaikan pernyataan sikap terkait kondisi politik dan demokrasi Indonesia setelah Pemilu dan Pilpres 2024 pada 14 Februari.
Pernyataan sikap ini disampaikan bersama oleh Profesor Ilmu Media dan Jurnalisme Prof. Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si; Profesor Ilmu Hukum Prof. Dr. Ridwan, S.H., M.Hum; Perwakilan Pimpinan Jurusan/Program Studi, Ketua Jurusan/Program Studi Hubungan Internasional Karina Utami Dewi, S.IP., M.A.
Kemudian Perwakilan Alumni, Jurnalis Tempo Pito Agustin Rudiana; Wakil Dekan Bidang Sumber Daya Fakultas Hukum Dr. Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.H; Dosen Jurusan Arsitektur Dr. Ir. Revianto Budi Santosa, M.Arch; Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) UII M. Rafsan Jzani dan Rektor UII Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D.
Pernyataan sikap dibacakan oleh Fathul Wahid. Fatul mengatakan sejak awal pemerintahan Presiden Jokowi, tanda-tanda kematian demokrasi sudah terasa. Namun, saking halusnya tanda tersebut, tidak banyak yang merasakannya.
"Penciptaan segregasi sosial sejak 2014 hingga sekarang dengan label kadrun vs kampret terbukti menjadi sarana ampuh untuk melumpuhkan struktur demokrasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikebiri. Pengkritik pemerintah dibawa ke meja hijau dan bahkan dijebloskan ke balik jeruji besi. Aktor masyarakat sipil dibayar menjadi loyalis sok sejati," kata Fathul.
UII menjelaskan, upaya membunuh demokrasi lainnya adalah tindakan "main kasar konstitusional".
Sebagai contoh, amandemen terhadap UU KPK, UU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dan UU MK serta pengesahan UU Cipta Kerja yang seakan-akan dilakukan secara konstitusional.
"Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah manipulasi jalur dan mekanisme konstitusional. Kasarnya permainan itu dilanjutkan dengan memunculkan gagasan ‘tiga periode’ dan perpanjangan masa jabatan presiden tanpa pemilu," kata Fathul.
UII menyebut, tindakan paling kasar adalah mengintervensi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meloloskan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden.
"Ini adalah serangan terhadap independensi lembaga peradilan sekaligus pengkhianatan terhadap amanat Reformasi 1998," jelas Fathul.
UII menegaskan, demokrasi sebagai kesepakatan publik yang suci telah mati di tangan Jokowi. Ini merupakan fakta pahit setelah Indonesia melewati 26 tahun reformasi.
"Banyak ahli dan lembaga independen tepercaya menilai bahwa Pemilu 2024 merupakan yang terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Kami sepakat," kata Fathul.
UII menambahkan, di permukaan, Pemilu 2024 tampak damai dan aman.
Namun, di balik itu, Pemilu 2024 telah dimanipulasi oleh elite politik yang bekerja sama dengan kelompok oligarki untuk memperdaya masyarakat demi dukungan politik elektoral.
"Pemilu, sebagai salah satu pilar utama demokrasi, telah ambruk dan sekadar menjadi sarana pelanggengan kekuasaan politik dinasti Presiden Jokowi," jelas Fathul.
Melihat situasi di atas, UII sebagai kampus yang lahir sebelum kemerdekaan Indonesia, didirikan oleh para pembesut Republik ini, dan menjadi pelantang Reformasi 1998, memiliki tanggung jawab moral dan historis untuk terus berjuang menegakkan Indonesia agar berjalan di atas dasar Konstitusi dan menghormati hak asasi manusia.
Oleh karena itu, UII menyatakan hal-hal berikut:
1. Menuntut seluruh penyelenggara negara untuk menjunjung tinggi etika berbangsa dan bernegara, menghormati hak dan kebebasan warga negara, dan mengembalikan prinsip independensi peradilan.
2. Mengingatkan pejabat negara bahwa mereka memiliki tugas konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa demi tercapainya masyarakat yang sejahtera, beradab, adil, dan makmur.
3. Mendorong partai politik untuk menjaga independensinya sehingga berdaya dalam menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dan mampu menjalankan perannya untuk membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
4. Mendesak partai politik yang kalah dalam Pemilihan Presiden 2024 ini untuk menjadi oposisi penyeimbang yang berpegang teguh pada etika berbangsa dan bernegara, serta menjunjung tinggi Konstitusi dan hak-hak asasi manusia dengan menggunakan hak angket dan mencari langkah politik dan hukum lainnya sebagai penghukuman terhadap Presiden Jokowi yang terbukti mengkhianati Reformasi 1998 dan telah melakukan praktik korupsi kekuasaan secara terbuka.
5. Mengajak seluruh elemen masyarakat untuk kembali sadar dengan memboikot partai politik yang menjelma menjadi penghamba kekuasaan dan uang serta terang-terangan mengkhianati tugas utamanya sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.
6. Meminta lembaga-lembaga negara sesuai tugasnya seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) untuk mengusut semua kecurangan pemilu, termasuk yang dilakukan Presiden Jokowi, pada masa sebelum, ketika, dan sesudah pemungutan suara. Pemilu harus menjadi sarana menghasilkan pemerintahan yang absah (legitimate).
7. Menyerukan kepada aktivis masyarakat sipil untuk melakukan pembangkangan sipil dan menolak menjadi bagian dari kekuasaan yang direbut dengan berbagai muslihat tuna etika. Secara khusus, kami menyeru para tokoh kritis nasional untuk bersatu dan membuat oposisi permanen melawan rezim politik dinasti yang menjadi predator pemangsa dan pembunuh demokrasi di Indonesia.
"Pernyataan sikap ini digerakkan oleh hati nurani kami dan kesadaran anak bangsa yang melihat praktik berbangsa dan bernegara yang semakin jauh dari nilai-nilai keadaban," tutup Fathul.
Sumber: Kumparan