DEMOCRAZY.ID - Kepala Staf Kepresidenan Jenderal TNI (Purn) Moeldoko menegaskan tuduhan soal kecurangan Pemilu 2024 tidak perlu disikapi dengan cara jalanan, melainkan bisa melalui instrumen hukum negara.
"Karena kita negara hukum, jangan diselesaikan dengan cara-cara jalanan begitu," kata Moeldoko di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (13/3/2024), menjawab usulan pengadilan rakyat untuk menyikapi dugaan kecurangan Pemilu 2024.
Moeldoko kembali menekankan Indonesia merupakan negara hukum yang telah dilengkapi sejumlah instrumen hukum dan penyelenggara, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Mahkamah Konstitusi.
"Proses-proses itu yang harus kita dukung," tuturnya.
Sebelumnya, pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar menyerukan pembentukan pengadilan rakyat.
Hal tersebut disampaikan Uceng di acara gerakan Kampus Menggugat yang berlangsung di Balairung UGM, Bulaksumur, Sleman, DIY, Selasa (12/3). Lalu apa yang dimaksud dengan pengadilan rakyat tersebut?
"Saya ingin mengajak begini, hari ini DPR sudah memulai (hak) angket, DPD sudah memulai pansus, apa yang akan dimulai oleh kita akademisi terkhusus UGM? Apa? Maka harus kita pikirkan langkah yang lebih konkret, saya kira salah satu tawaran dan saya minta bisakah nanti ini dilakukan di UGM adalah kita akan membuat yang namanya pengadilan rakyat," kata dosen FH UGM ini.
Pengadilan rakyat, kata Uceng, penting ketika lembaga negara tidak serius mengadili, tidak serius menjatuhkan sanksi, penghukuman, maka rakyat harus mengambil itu dan melakukan pengadilan rakyat.
"Kita punya banyak contoh di negara lain. Ada puluhan negara yang sudah pernah melakukan pengadilan rakyat," kata pemain film "Dirty Vote" ini.
"Mari, mungkinkah pengadilan rakyat kita lakukan, mungkinkah UGM akan memfasilitasi pengadilan rakyat itu, saya kira ini akan harus, dan inilah yang akan membuat UGM melunasi tagihan sekian lama dari perjuangan yang harus dilakukan," bebernya.
Kata Uceng, UGM dan universitas di Indonesia memiliki kapasitas untuk melakukan pengadilan rakyat. Saat ini tinggal kemauan untuk melakukannya.
Dalam gerakan Kampus Menggugat itu, civitas academica UGM mengundang civitas dan alumni di berbagai universitas dan elemen masyarakat untuk bersama-sama mengembalikan etika dan konstitusi yang terkoyak selama lima tahun terakhir.
Perlakuan Jokowi
Lanjut Uceng, ada tiga kesempatan yang saat ini bisa diambil.
"Pertama, apa kesempatan paling utama yang harus kita sadari, perlakuan Jokowi seperti ini, itu menguatkan kembali oposisi yang lama mati, itu harus disambut oleh kita semua," kata Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) FH UGM 2008-2017 ini.
"Anda bisa bayangkan, sekian lama oposisi dibonsai, sekian lama oposisi didomestikasi, tidak bisa apa-apa. Hari-hari ini adalah pertanda ketika oposisi itu kembali bangkit. Baru pertama kali lagi setelah 9 tahun 4 bulan ada rombongan ratusan universitas menyampaikan hal yang sama tentu selain UGM, itu harus disyukuri dan itu harus kita pergunakan dengan baik. Oposisi bangkit itu lah tanda demokrasi insyaAllah akan menuju lebih sehat," bebernya.
Yang kedua, menurut Uceng, arus kekuatan demokrasi yang tidak demokratis saat ini adalah pertanda kita semua harus membangun ulang arus demokrasi itu.
"Kita harus mengembalikan arusnya ke dasar utamanya, itu panggilan kita semua, itu yang kedua buat saya, panggilan kita semua bahwa jangan biarkan demokrasi menuju arus yang terbalik. Arus itu tetap harus kembalikan ke jalan yang tepat," beber pria kelahiran Makassar ini.
"Yang ketiga saya mau bilang begini, dari semua persoalan ini mungkin bisa dimenangkan oleh MK, MK membuat keputusan yang sangat brutal pada saat itu, nanti tengah pemilu nanti MK akan lakukan menjadi brutal juga kita tidak pernah tahu, tapi hari ini kita akan meyakini kesempatannya bahwa demokrasi bukan tidak pernah kalah tapi demokrasi itu adalah membutuhkan perjuangan," pungkasnya.
Sumber: Kumparan