'Program Makan Siang Gratis Prabowo-Gibran, Kebijakan Salah Arah'
Dalam diskusi pubulik “Salah Arah Kebijakan Makan Siang Gratis” yang diselenggarakan Next Policy di kawasan Cikini Jakarta Pusat pada Jumat (22/3/2024), menegaskan rencana kebijakan makan siang gratis yang merupakan program unggulan pasangan Prabowo-Gibran sebenarnya cenderung salah arah.
Menurut Direktur Eksekutif Next Policy, Grady Nagara, terdapat kekeliruan mendasar dalam perencanaan kebijakan tersebut.
“Ada kekeliruan yang sangat mendasar dalam rencana kebijakan makan siang gratis Prabowo-Gibran. Secara teknokratis, rencana kebijakan tersebut masih sangat prematur karena minimnya riset dan keterlibatan para pakar,” ujar Grady
Grady menegaskan rencana kebijakan itu berpotensi pada impor pangan skala besar dan melemahkan ketahanan pangan Indonesia. “Ketahanan pangan kita itu lemah,” katanya.
Dia mengungkapkan, komposisi makan siang gratis bergantung pada komoditas seperti beras, daging, dan susu yang selama ini masih impor. Paling tidak untuk menyasar 82,9 juta penerima manfaat, per tahunnya butuh 6,7 juta ton beras, 1,2 juta ton daging ayam, 500 ribu ton daging sapi, sampai 4 juta kiloliter susu.
“Ya itu, potensi impor besar-besaran bisa terjadi jika desain kebijakan tidak mempertimbangkan dimensi diversifikasi pangan,” tutur dia.
Di Brasil, misalnya, anggaran makan siang gratis di sana mewajibkan 30 persen mengambil pasokan dari petani lokal.
“Kita kan tidak terlihat akan seperti itu. Yang ada, potensi impor skala besar justru bisa mematikan para petani kita yang kebanyakan tidak memiliki lahannya sendiri,” kata dia.
Sedangkan menutut peneliti Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Shofie Azzahrah menegaskan beban fiskal yang sangat besar jika kebijakan ini dipaksakan melalui skema APBN.
“Anggaran makan siang gratis mencapai maksimal 450 triliun per tahun. Angka ini bahkan melampaui anggaran ketahanan pangan dan kesehatan yang nilainya hanya 114,3 dan 187,5 triliun rupiah”, kata Shofie.
Dia mengatakan, dalam hitungannya, program makan siang gratis akan menambah defisit anggaran sebesar 797 triliun.
Angka defisit ini sendiri sudah ada di rasio defisit APBN terhadap GDP sebesar 3,81 persen. Tanpa skenario pembiayaan berkelanjutan.
“Ini sangat berbahaya bagi kesehatan fiskal ke depan yang akan merugikan publik,” kata dia.
Sementara itu, Policy and Advocacy Manager Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Clarissa Magdalena, mengatakan bahwa program makan siang gratis ini masih belum jelas.
“Program makan siang gratis ini memang masih sangat simpang siur. Bagaimana ekosistemnya dibentuk? Apakah sudah memenuhi standar gizi memadai? Bagaimana program ini diposisikan dalam sistem kesehatan nasional?” kata Clarissa
Clarissa juga mengatakan Program Makan Siang Gratis belum cukup untuk bisa dikatakan efektif mengatasi stunting.
“Yang kita perlukan adalah evaluasi terhadap sistem dan tata kelola kesehatan. Stunting itu adalah masalah kompleks yang harus dievaluasi dengan melihat secara keseluruhan tata kelola kesehatan, dan tidak cukup hanya dengan menggunakan program tunggal seperti program makan siang gratis,” kata dia.
Masyarakat sipil saat ini harus mengawasi dan memberikan masukan dengan ketat. Mumpung program ini masih belum keluar sebagai kebijakan teknis,” kata Clarissa.
Jangan sampai program ini dipaksakan tanpa studi yang mendalam karena sangat berisiko. ***