DEMOCRAZY.ID - Pemilihan umum atau Pemilu pada tahun 2024 ini memang memberi warna berbeda.
Di satu hari yang sama, pemilih di Indonesia harus memiliki sejumlah nama calon legislatif termasuk juga calon Presiden dan Wakil Presiden.
Pada tahun 2014, Indonesia dikatakan menduduki urutan ketiga sebagai negara dengan praktik jual beli suara atau politik uang yang tertinggi.
Hanya kalah dibandingkan negara Uganda dan Benin. Apakah pada tahun 2024 ini, situasi Indonesia memburuk, politik uangnya menjadi peringat pertama dunia.
Khawatiran ini disampaikan Dosen Senior di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Burhanuddin Muhtadi.
Di media sosial twitternya ia membuat tweet berupa penelitiannya mengenai politik uang di Indonesia pada Pemilu 2024.
Burhanuddin Muhtadi menuliskan khawatirannya jika peringat praktik politik uang di Indonesia naik dibandingkan 10 tahun yang lalu, Pemilu 2014.
"Tahun 2014 tingkat politik uang kita menempati peringkat ketiga sedunia hanya kalah dibanding Uganda dan Benin. Saya khawatir pemilu 2024 membuat Indonesia menempati ranking pertama dalam praktik jual beli suara," ujarnya.
Dia pun menyertai kajiannya yang telah terbit di sebuah media berbahasa inggris.
10 Potret Tempat Tinggal Kurnia Meiga Sekarang yang Sangat Sederhana, Hartanya Habis Buat Berobat
Ia membukannya dengan mengisahkan seorang calon legislatif atau caleg PAN, Erfin Sudanto. Ia rela menjual salah satu ginjalnya guna membiayai kampanyenya.
Erfin mengaku jika menjual ginjal karena membutuhkan uang mencapai US$50.000 untuk kampanyenya.
Sebagian besar dari jumlah yang tersebut digunakan untuk “tips” guna mendapatkan dukungan pemilih.
"Politik uang telah lama menjadi bagian dari politik elektoral di Indonesia, khususnya dalam pemilu legislatif di mana puluhan ribu kandidat bersaing untuk mendapatkan kursi terbatas. Sebagian besar politisi menyesalkan meningkatnya tekanan terhadap mereka untuk terlibat dalam pembelian suara, dan menyatakan bahwa transaksi semacam itu telah menjadi bagian dari politik sehari-hari.." tulisnya.
Karena para pemilih meyakini siapa pun yang terpilih akan cepat melupakan konstituennya setelah Pemilu berlangsung.
Survei Indikator Politik pada 14 Februari 2024 terhadap 2.975 pemilih menungkapkan jika 46,9 persen di antaranya menganggap politik uang sebagai hal yang “normal ” .
Temuan lainnya yakni baik responden perempuan, pemilih muda, kelas menengah ke bawah, dan Muslim lebih cenderung menganggap pembelian suara dapat diterima.
Faktor pendidikan yang rendah juga meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap praktik jual beli suara karena mereka tidak menyadari bahwa politik uang juga merugikan keterwakilan politik.
Sementara bagi pemilih muslim, banyak kandidat yang menyelubungi persembahan mereka dalam terminologi agama, seperti menyebut mereka sebagai sedekah (sedekah).
Meski sedekah merupakan ajaran Islam yang penting, namun tidak dibenarkan juga dilakukan bagi jual beli suara politik.
"Pada tahun 2019, 67,2 persen responden menganggap politik uang tidak dapat diterima, namun pada tahun 2024, angka ini turun menjadi 49,6 persen," ujarnya dalam tulisan penelitian tersebut.
Sehiingga ia mengungkapkan banyak kandidat yang secara aktif melakukan pembelian suara, karena dapat mengubah hasil pemilu mereka secara signifikan.
Tahun 2014 tingkat politik uang kita menempati peringkat ketiga sedunia hanya kalah dibanding Uganda dan Benin. Saya khawatir pemilu 2024 membuat Indonesia menempati ranking pertama dalam praktik jual beli suara. Klik artikel terbaru saya di link di bawah. https://t.co/YKDOmCUNoA pic.twitter.com/Tx5KyTEX9X
— Burhanuddin Muhtadi (@BurhanMuhtadi) March 14, 2024
Sumber: Suara