Masa Depan Gaza Usai Resolusi Gencatan Senjata, Israel 'Lumpuh'? - DEMOCRAZY News
GLOBAL

Masa Depan Gaza Usai Resolusi Gencatan Senjata, Israel 'Lumpuh'?

DEMOCRAZY.ID
Maret 27, 2024
0 Komentar
Beranda
GLOBAL
Masa Depan Gaza Usai Resolusi Gencatan Senjata, Israel 'Lumpuh'?

Masa Depan Gaza Usai Resolusi Gencatan Senjata, Israel 'Lumpuh'?


DEMOCRAZY.ID - Titik terang terkait resolusi gencatan senjata Gaza dalam forum Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai menemui nampak. 


Forum itu pada Senin (25/3/2024) meloloskan resolusi menuntut gencatan senjata segera di Gaza selama bulan suci Ramadan.


Resolusi ini lolos setelah Amerika Serikat (AS) abstain dan 14 anggota dewan lainnya semuanya mendukung resolusi gencatan senjata itu. Tepuk tangan merebak di ruangan setelah pemungutan suara.


Resolusi ini juga menandai jeda dari serangan Israel yang telah menewaskan lebih dari 32.000 orang di Gaza. 


Israel menyerbu wilayah itu setelah militan pimpinan penguasa Gaza, Hamas, menyerang Negeri Yahudi pada 7 Oktober, menewaskan 1.200 orang dan menyandera 250 orang.


Pemungutan suara ini merupakan sebuah kejutan bagi Israel, yang melihat sekutunya, AS, lebih memilih abstain daripada memveto tindakan tersebut. 


Para pejabat Israel mengecam resolusi tersebut, dengan mengatakan bahwa mereka tidak berniat menghentikan tembakan.


Duta Besar Israel untuk PBB Gilad Erdan mengatakan resolusi tersebut gagal menuntut gencatan senjata tanpa "mengondisikan" pembebasan tawanan di Gaza, Ia juga mengatakan bahwa resolusi tersebut merusak upaya untuk menjamin pembebasan para sandera.


"Ini merugikan upaya-upaya ini karena memberikan harapan kepada teroris Hamas untuk mendapatkan gencatan senjata tanpa membebaskan para sandera. Semua anggota dewan... seharusnya memberikan suara menentang resolusi yang tidak tahu malu ini," katanya.


Di sisi lain, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membatalkan kunjungan delegasi Israel ke Washington, yang diminta AS untuk membahas kekhawatiran atas usulan invasi Israel ke Rafah, sebuah kota di Gaza selatan yang padat.


"Abstain AS jelas merupakan kemunduran dari posisi AS yang konsisten, dan akan merugikan upaya perang Israel dan upaya untuk membebaskan sandera yang masih ditahan oleh Hamas," kata kantor perdana menteri.


Resolusi 'Mencekik' Israel?


Setelah resolusi tersebut disahkan, para pejabat AS berusaha keras untuk mengatakan bahwa resolusi tersebut tidak mengikat. 


Juru bicara Departemen Luar Negeri Matthew Miller berulang kali mengatakan dalam konferensi pers bahwa resolusi tersebut tidak mengikat, sebelum mengakui bahwa rincian teknisnya harus ditentukan oleh pengacara internasional.


Senada dengan itu, juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih John Kirby dan duta besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield secara terpisah menegaskan bahwa resolusi tersebut tidak mengikat.


Namun hal berbeda disampaikan Duta Besar China untuk PBB, Zhang Jun. Ia menyebut resolusi tersebut memang mengikat.


Hal serupa juga disampaikan Wakil juru bicara PBB Farhan Haq, yang mengatakan resolusi DK adalah hukum internasional, "sehingga resolusi tersebut mengikat seperti halnya hukum internasional."


Para ahli mengatakan apakah suatu resolusi mengikat tergantung pada redaksi yang digunakan, karena bahasa yang ambigu memberikan ruang untuk interpretasi. 


Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah resolusi tersebut termasuk dalam Bab VI piagam PBB (yang dianggap tidak mengikat) atau Bab VII (mengikat).


"AS, yang menganggap tradisi hukum memiliki interpretasi yang lebih sempit, berpendapat bahwa tanpa penggunaan kata memutuskan atau membangkitkan Bab VII dalam teks, resolusi tersebut tidak mengikat," kata Maya Ungar, seorang analis yang memantau Perkembangan Dewan Keamanan PBB di International Crisis Group (ICG), sebuah wadah pemikir yang berbasis di Brussels.


"Negara-negara anggota lainnya dan pakar hukum internasional berargumentasi bahwa terdapat preseden hukum terhadap gagasan bahwa suatu tuntutan secara implisit merupakan keputusan dewan."


Ungar mengatakan bahwa Washington memberikan interpretasi yang sempat untuk mengambil garis tipis antara mengkritik dan mendukung Israel.


"Dengan berargumentasi bahwa resolusi tersebut tidak mengikat, nampaknya AS membuat perhitungan bahwa mereka dapat membuat pernyataan publik dengan tidak memveto tanpa menghadapi terlalu banyak reaksi dari Israel."


Israel Termarjinalkan?


Sekutu Israel di Barat, khususnya AS, telah lama melindungi Israel dari kecaman di PBB. Dukungan mereka terlihat sepenuhnya setelah serangan yang dipimpin Hamas pada tanggal 7 Oktober, ketika banyak negara mendukung Israel di DK dan Majelis Umum PBB.


Namun ketika perang di Gaza berlarut-larut dan jumlah korban tewas di sana meningkat, dukungan tersebut mulai berkurang. 


Bahkan beberapa sekutu Israel yang paling berkomitmen telah menghentikan dukungannya, meninggalkan AS sebagai satu-satunya pendukung Israel di PBB selama beberapa bulan terakhir.


"AS tidak sepenuhnya mengisolasi Israel. Argumen mereka tentang sifat tidak mengikat memperjelas hal ini," kata Ungar dari ICG.


"Tetapi ini adalah kebijakan terjauh dari Israel yang ingin dilakukan AS sejauh ini di PBB."


Para pejabat pemerintahan Biden percaya bahwa Israel berisiko menjadi termarjinalkan jika krisis kemanusiaan di Gaza memburuk atau berlanjut dalam jangka waktu yang lama.


Di sisi lain, hubungan dengan pemerintahan Biden memburuk ketika Israel berjanji untuk terus melanjutkan potensi serangan ke Rafah, tempat 1,4 juta warga Palestina berlindung. Gedung Putih telah memperingatkan tindakan tersebut.


Wakil Presiden Kamala Harris mengatakan akhir pekan lalu bahwa invasi tersebut adalah sebuah "kesalahan" dan menolak mengesampingkan konsekuensi terhadap Israel jika invasi tersebut terus dilakukan.


Keputusan Netanyahu untuk membatalkan pertemuan resmi di Washington sebagai protes atas abstainnya AS telah membuat para pejabat Amerika bingung. 


Juru Bicara Gedung Putih John Kirby mengatakan AS "sangat kecewa karena mereka tidak akan hadir" namun menegaskan bahwa sikap abstain tersebut bukanlah perubahan kebijakan Washington terhadap Israel.


"Dia (Netanyahu) memulai pertarungan dengan Washington, pada saat yang paling buruk dimana perdana menteri Israel mana pun dapat melakukan pertarungan dengan Washington," kata Yossi Mekelberg, rekan rekan program Timur Tengah dan Afrika Utara di lembaga pemikir Chatham House di London.


Sumber: CNBC

Penulis blog