DEMOCRAZY.ID - Warga mulai menyoroti kinerja dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulawesi Utara (Sulut), terkait penanganan kasus kecurangan Pemilu 2024 di Kota Bitung, dalam hal ini pergeseran ribuan suara antar sesama caleg Partai Golkar di tingkat DPRD Provinsi Sulut dan DPR RI.
Hal ini tak lepas dari tak adanya tindakan dari pihak KPU dan Bawaslu Sulut dalam penanganan kasus, di mana hal itu sangat berbeda dengan kasus pergeseran suara yang terjadi di Kabupaten Minahasa Utara (Minut).
Padahal menurut warga, kejadian di Minut hanya satu Kecamatan saja dengan jumlah suara yang digeser hanya 48 suara, sementara di Kota Bitung terjadi di hampir seluruh Kecamatan dengan jumlah pergeseran suara yang mencapai ribuan suara.
"Kami menduga jika KPU dan Bawaslu Sulut sudah masuk angin terkait kasus pergeseran suara di Kota Bitung. Indikasi ini kuat, karena kasus yang besar ini didiamkan, sementara di Minut yang hanya kecil dibesar-besarkan," ujar sejumlah warga di Ranowulu, Kota Bitung.
Tak hanya warga, Partai Golkar yang merupakan korban dari kasus pergeseran suara ini, juga mempertanyakan kredibilitas dari pihak KPU dan Bawaslu, yang seolah ingin melepas tanggung jawab, padahal tindakan ini masuk dalam kategori pidana pemilu.
Bidang Hukum dan HAM, Partai Golkar Sulawesi Utara (Sulut), Apler Bentian, mengatakan jika permasalahan ini sudah ditemukan saat pleno Kecamatan kemudian dibawa lagi ke Pleno Kota Bitung, serta kembali disampaikan pada Pleno Provinsi.
"Ada ribuan suara yang digeser. Pertama pergeseran suara ibu Cindy Wurangian caleg DPRD Provinsi ke caleg lain. Begitu juga suara dari Ketua Golkar Sulut, ibu Christiany Eugenia Paruntu ke caleg lain. Dan itu banyaknya ribuan suara. Tapi, sampai sekarang, tidak ada kejelasan kasus itu," ujar Apler.
Yang lebih membingungkan, dengan cepat pihak KPU memproses 4 PPK yang dipecat dengan tuduhan pelanggaran etik, padahal sesuai undang-undang Pemilu itu adalah pelanggaran pidana pemilu yang harus dihukum masuk penjara.
"Seolah sudah selesai, yang diproses hanya 4 PPK dan disidang etik kemudian dipecat. Padahal ini murni kasus pidana pemilu. KPU dan Bawaslu kemudian diam. Ada apa dengan penyelenggara," kata Apler.
Apler mewakili Partai Golkar pun meminta KPU dan Bawaslu Sulut all out menuntaskan kasus tersebut. Menurutnya, harus diselidiki juga penyelenggara di Kota Bitung.
"Bagi saya tidak mungkin PPK bekerja sendiri. Dugaan saya pasti ada arahan pimpinan. Tidak mungkin PPK bekerja sendiri. Bahaya demokrasi di Sulut apabila dibiarkan. Persoalan ini bukan etik. Persoalan ini masalah tindak pidana pemilu yang sudah terjadi," ujarnya.
"Perbuatan pidananya sudah terjadi, tapi kenapa kok dengan gamblang Bawaslu Sulut menyatakan perasaan itu hanya etik. Kami sangat kecewa. Bentuk kekecewaan kami, kami akan laporkan kasus ini ke DKPP. Kami akan melaporkan dalam waktu dekat ini," kata Apler kembali.
Sementara, pihak KPU sendiri beralasan jika permasalahan di Bitung sudah ada tindakan dengan pemecatan 4 PPK.
"PPK sudah akui makanya sudah diberhentikan di 4 Kecamatan," kata Komisioner KPU Sulut, Lanny Anggrainy Ointu.
Namun demikian, Lanny beralasan jika tidak ada urgensi untuk memeriksa lebih lanjut terhadap komisioner KPU Kota Bitung, mengingat tidak ada pengakuan dari mereka.
"Hasil klarifikasi tidak ada satu pun PPK yang akui ketua langsung. Saya turun langsung tapi tidak bisa menduga," kata Lanny saat dihubungi.
Sementara, Komisioner Bawaslu Sulut, Zulkifli Densi, mengakui jika kasus tersebut diproses di Bawaslu Bitung.
"Sementara diproses sesuai locusnya di Bitung. Di register di Bawaslu Bitung," kata Zulkifli singkat.
Sumber: Kumparan