'Kenapa Tim Hukum 01 Tidak Melaporkan Seluruh Peristiwa Pelanggaran Pemilu ke Bawaslu?'
Andai ada permohonan oleh Tim Hukum Nasional AMIN ke Mahkamah Konstitusi dalam rangka Sengketa Hasil Pemilihan Umum yang beratasnamakan pasangan pilpres 01 Anies Baswedan – Muhaimin, maka dalam berkas SHPU akan terlampir banyak bukti temuan berita dari saksi publik, bahkan temuan langsung dari THN atau temuan siapapun subjek hukumnya.
Terdapat puluhan bukti temuan pelanggaran yang berkelas sampah, bahkan ratusan pelanggaran kelas kakap yang pantas diberi kode A.1.
Kemudian, jika dalam permohonan atau gugatan tersebut, yang bisa diibaratkan sebagai jamu sehat dengan rempah-rempah, campur telor plus madu, lengkap dengan bukti sebanyak sesuai dalil posita dengan ratusan kali adanya pelanggaran lengkap beserta lampiran bukti-bukti keterangan ahli. Sehingga, substansi gugatan (Permohonan SHPU) tidak berkategori “unus testis nullus testis.”
Dan dalil posita yang terdapat dalam berkas penggugat THN. AMIN kepada tergugat KPU memuat banyak pelanggaran yang berkualitas hukum yang telah dilakukan oleh KPU, Bawaslu, pejabat publik, atau tim sukses kontestan Pilpres, bahkan mungkin termasuk oleh Presiden yang terlibat dalam pelanggaran aturan, serta pelakunya adalah kontestan Capres maupun Wapres-nya yang menang dalam Pilpres yang diselenggarakan oleh KPU. Bakal kontestan Pilpres yang menang akan menjadi pihak terkait dalam perkara ini.
Selain itu, meskipun bukti-bukti yang diajukan oleh pemohon pada SHPU melalui THN. 01 berdasarkan temuan publik atau temuan pihak-pihak pemohon, sebagai dasar gugatan, mencakup berbagai jenis pelanggaran, kecurangan, atau kejahatan yang dilakukan secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif (SMT), serta setiap posita memiliki alat bukti hukum yang memadai, termasuk berkas surat-surat, bukti elektronik video, serta saksi-saksi yang muncul dalam video, dan bahkan ahli yang memberikan keterangannya disertai bukti surat-surat yang menegaskan kredensialnya sebagai ahli terhadap berbagai jenis barang bukti, termasuk benda elektronik yang digunakan sebagai alat bukti.
Secara garis besar, segala yang terkandung dalam kronologis sebab dan akibat dalam posita tersebut dapat disajikan di hadapan persidangan oleh THN.01, bahkan, jika memungkinkan, para pelaku yang mengakui tuduhan pemohon juga dapat hadir di persidangan.
Tentunya, proses tersebut akan berjalan sesuai dengan hukum acara yang berlaku, termasuk hukum perdata formil MK dan HIR, tanpa adanya penyimpangan. Semua agenda, tanggapan, dan kesaksian dari kedua belah pihak akan terjadi di persidangan.
Bahkan, pihak terkait pasangan Capres-Cawapres yang telah dinyatakan menang dalam pemilihan presiden juga akan turut serta dalam persidangan.
Kemudian, saat tiba giliran tanggapan dari termohon atau KPU, akan disampaikan dengan kalimat yang sederhana namun tegas, menjadi sebuah konklusi, “Bahwa meskipun terdapat bukti ratusan pelanggaran yang tercantum dalam daftar bukti pemohon, namun kami selaku termohon tidak pernah melaporkan adanya pelanggaran tersebut kepada Bawaslu, oleh karena itu, kami tidak pernah menerima panggilan atau peringatan dari Bawaslu.”
Tiba giliran bagi pihak-pihak Terkait untuk menanggapi dengan sikap yang tegas.
Mereka menyatakan bahwa ratusan pelanggaran yang diakui oleh Pemohon tidak didukung oleh bukti adanya laporan yang pernah dibuat oleh Pemohon kepada Bawaslu atau DKPP.
Para Penggugat JR., yang di antaranya terdapat para Lawyer senior dan mungkin eks Hakim MK, seharusnya tidaklah seperti bebek yang harus diajari berenang.
Oleh karena itu, Pemohon JR. sedang berhalusinasi. Jika benar terdapat ratusan temuan pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), pastinya mereka akan memiliki bukti laporan yang diajukan ke Bawaslu atau DKPP. Estimasi isi vonis MK. terhadap SHPU.
Mengkonfirmasi bahwa UU Nomor 7 Tahun 2017 menetapkan bahwa proses penyelesaian hukum terkait pemilu, baik pelanggaran maupun sengketa proses, merupakan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Oleh karena itu, Majelis MK. menyimpulkan bahwa tidak perlu mendalami bukti-bukti yang disajikan oleh Pemohon. Terkait penyelesaian perselisihan hasil pemilu, sesuai Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 475 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017, MK. secara eksplisit mengatur bahwa keberatan yang dapat diajukan ke MK. hanya terkait hasil pemungutan suara.
Memang mungkin terjadi bahwa proses sengketa SPHU dari tanggapan dan argumentasi hukum yang disampaikan oleh para pihak (pemohon, termohon, dan terkait) dapat memicu MK. untuk membuat vonis yang menyentuh aspek hukum tersebut.
Dalam hal ini, MK. mungkin menyimpulkan bahwa UU RI Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memerlukan revisi atau perubahan, terutama pada pasal-pasal tertentu, dan bahwa perubahan tersebut harus dilakukan melalui jalur Judicial Review (JR), bukan melalui proses sengketa SPHU yang sedang berjalan.
Terkait acuan hukum SPHU yang diajukan yang mengacu pada UUD 1945, MK. mungkin menyatakan bahwa hal tersebut bukanlah kompetensi MK., melainkan kompetensi atau domain MPR RI.
Adalah disayangkan jika ada pelanggaran hukum yang terjadi dalam pemilu pilpres 2024 namun diabaikan oleh Tim Hukum masing-masing kontestan.
Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu dan kepada calon presiden dan wakil presiden yang dipilih, yang pada akhirnya dapat memudar dan hilangnya harapan menuju perubahan yang diinginkan oleh masyarakat.
Apakah Anies Baswedan, pemimpin harapan umat, telah menyadari hal-hal tertentu sebelumnya? Namun, yang pasti, pada akhirnya, rakyat akan bertanya, apa sebenarnya yang terjadi dengan Anies Baswedan? ***